"Jadi kamu sudah mantap hati?" tanya Tania ketika Rizal mengajaknya bertemu dan menceritakan semua."Insyaallah. Keluarga kami juga udah ketemu dan lamaran," jelas Rizal."Alhamdulillah aku ikut senang. Akhirnya kamu menemukan pendamping hidup," ucap Tania bahagia."Memang benar kata orang. Obat patah hati itu cuma jatuh cinta lagi," kata Rizal sembari tertawa. "Dari dulu juga dibilangin begitu. Kamu aja yang ngeyel," kata wanita itu kesal. Tania selama ini hanya diam ketika gosip-gosip di luar santer terdengar. Apalagi ketika dia baru bergabung di rumah sakit dan semua orang menganggapnya ganjen menggoda Rizal, karena telah bersuami. "Tapi makasih banget tetap mau jadi sahabat aku.""Kalau nanti udah nikah, baiknya kita gak usah terlalu akrab kayak gini. Kasihan Dokter Syifa," saran Tania. "Aku tetap mau kita begini. Jadi teman sharing," pinta Rizal tulus."Tapi jangan suka nyentuh. Gak baik dilihat sama istri kamu."Rizal mengangguk. Mereka lalu membicarakan tentang beberapa kas
"Bismillahirrahmanirrahim."Semua orang serentak mengangkat tangan dan mendengarkan petugas KUA memanjaatkan doa. Acara hari ini begitu sakral sehingga tamu yang hadir begitu khusyuk mendengarkan. "Apa semua sudah siap?""Sudah, Pak.""Kalau begitu kita mulai sekarang."Rizal mengangguk dengan cepat, padahal dalam hati begitu berdebar. Sejak tadi tangannya berkeringat. Lelaki itu gugup setengah mati. "Ananda Muhammad Rizal Pratama. Aku nikahkan engkau dengan putriku Syifa Maharani dengan mahar sebuah cincin berlian dan uang 3500 dollar tunai.""Saya terima nikahnya Syifa Maharani, putri kandung bapak dengan mahar sebuah cincin berlian dan uang 3500 dollar tunai!""Para saksi apakah sah?""Sah!""Alhamdulillah. Baarakallaahu laka, wa baarakallahu 'alaika, wa jama'a bainakuma fii khaiir."Doa untuk kedua mempelai dibacakan. Semua orang mengangkat tangan dan mendengarkan itu dengan khusyu'.Mereka juga mengaminkan agar kedua mempelai mendapat limpahan berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
Syifa menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di rumah sakit dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Ibu kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Rizal membawa seorang ART pilihan mamanya. Lelaki itu tak mau Syifa terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Syifa lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Syifa tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan."Apa jangan-jangan--"Syifa benar-benar lupa bahwa
Rizal menatap wajah cantik yang masih terlelap di sampingnya. Semalam dia begitu bersemangat hingga membuat Syifa kelelahan. Lelaki itu sudah memesan kamar hotel selama tiga hari agar mereka lebih leluasa berduaan. Setelahnya, terserah Styifa mau tinggal di mana. Di rumah orang tuanya sendiri atau di tempat mertua.Sebagian tabungannya habis untuk biaya pernikahan. Rizal berencana ingin membuka praktik malam, sehingga memerlukan banyak dana untuk mempersiapkannya. Lelaki itu tak tahu jika papanya sudah menyediakan satu rumah untuk mereka. "Bangun dong, Cantik. Udah jadi istri kok malas," goda Rizal sembari mencubit pipi Syifa. Laki-laki itu tergelak ketika melihat sang istri menggeliat dan menepis tangannya."Jangan ganggu," ucap Syifa yang masih setengah sadar dengan mata terpejam.Tawa Rizal menggema di kamar. Itu membuat Syifa terbangun dan mengucek matanya."Astagfirullah," ucap wanita itu kaget ketika melihat kondisi mereka."Kamu kenapa?" tanya Rizal heran."Kita--""Udah nikah,
Syifa menguap berulang kali. Entah kenapa akhir-akhir ini dia sering mengantuk. Badannya terasa lemas dan gampang lelah. Bahkan di rumah sakit dia tidak semangat bekerja."Bik, aku tidur dulu, ya," pamitnya kepada ART yang sejak tadi membersihkan ruang tamu. Wanita itu meregangkan kedua tangan lalu kembali menguap sembari mengucek mata."Ibu kenapa, sakit?" tanya wanita paruh baya itu.Sejak menempati kediaman sendiri, Rizal membawa seorang ART pilihan mamanya. Lelaki itu tak mau Syifa terlalu lelah karena sedang program hamil. Lagipula wanita itu masih bekerja sehingga tidak mungkin mengurus rumah. "Gak tau, Bik. Badan pegel semua," jawabnya Syifa lemas."Mau datang bulan kali. Bibik juga biasanya gitu."Syifa tersentak ketika mendengar kata-kata itu. Wanita itu buru-buru berjalan menuju kamar, lalu mengambil ponsel dan melihat tanggal. Dia tidak pernah membuat catatan khusus, tetapi harusnya saat ini sudah mendapatkan tamu bulanan."Apa jangan-jangan--"Syifa benar-benar lupa bahwa
Hari berganti, tak terasa waktu cepat berlalu. Setelah mengetahui kehamilanya, Syifa kini lebih banyak beristirahat di rumah. Wanita itu masih bekerja seperti biasa. Hanya saja jam kerjanya dikurangi. Syifa hanya masuk tiga hari dalam satu minggu. Itupun hanya berjaga di ruangan dan sementara waktu tidak meng-handle IGD. Rizal tak mau istrinya kelelahan karena akan berakibat kepada kehamilan. "Kita mau ke mana?""Notaris. Aku mau serah terima sertifikat rumah.""Kok lama baru selesainya?""Dari developer-nya begitu. Papa juga kan belinya perumahan biasa. Jadi gitulah," jelas Rizal.Sesampainya di kantor notaris, mereka menunggu karena masih ada tamu. Rizal dengan pelan mengusap perut istrinya yang sudah mulai membesar. Lalu memijat pelan dahi Syifa karena wanita itu merasa pusing. "Silakan masuk Bapak dan Ibu."Ruangan lima kali enam meter itu terlihat cukup nyaman walau tak terlalu luas. Mereka langsung disambut dengan ramah karena memang sudah ada janji. "Langsung saja ya, Pak. S
Rizal mondar-mandir di depan ruang operasi dengan gelisah. Sudah dua jam dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Mereka memang terbiasa dengan kejadian seperti ini sejak awal kuliah bahkan mungkin hingga menutup mata nanti. Namun, ketika itu terjadi kepada orang yang dikenal, rasanya tetap berbeda."Keluarga Ibu Tiara?" tanya Fauzan, dokter bedah yang menangani tindakan Syifa. "Cuma ada gue sebagai perwakilan. Keluarganya belum tau," jawab Rizal."Lu yang bawa dia?" tanya Fauzan heran."Iya. Pas mau pulang gue lihat ada kecelakaan. Jadi gue bawa.""Lu kenal?""Pasien gue yang baru aja sembuh dari tabrakan. Sekarang kecelakaan lagi," jelas Rizal."Astagfiirullah dia kritis. Masuk ruang instensif sampai pulih."Rizal tertegun dan mengusap wajah, tak dapat membayangkan bagaimana kondisi Tiara sekarang. Dia menarik napas lega, mengucap syukur bahwa nyawa gadis itu bisa diselamatkan, sekalipun kemungkinan akan cacat. "Lu mau pulang atau nunggu di sini?" Fauzan memijat kepalanya yang tega
Lima hari sudah berlalu. Belum ada tanda-tanda perkembangan dari Tiara. Wanita itu masih tak sadarkan diri di ruang intensif. Berbagai selang menempel di tubuhnya. Rizal dan Fauzan bergantian menjenguknya."Mau ke rumah sakit lagi?" Syifa merapikan kerah baju suaminya yang nampak berantakan. Sejak kejadian itu, Rizal jarang ada di rumah. Sepulang dari rumah sakit, lelaki itu akan mandi dan mengganti pakaian, lalu makan jika lapar dan pergi lagi.Orang tua Tiara akan meneleponnya jika belum memberikan kabar. Rizal akan buru-buru datang tanpa menghiraukan istrinya. Rasa kasihan karena kondisi keuangan Rahmat yang terbatas, membuat lelaki itu tak tega."Sebentar aja.""Memang dia siapanya kamu, sih? Kok pake bela-belain besuk," sungut Syifa tak terima. Wanita itu merasa heran karena suaminya nbegitu repot mengurus orang yang tidak mereka kenal. "Jangan begitu, kasihan mereka gak mampu," bela Rizal.Melihat sikap Rizal yang seperti itu, Syifa menjadi sedikit kecewa. Ada rasa sedih yang m