Sore menjelang malam, rumah besar itu kembali ramai. Tuan dan nyonya besar sudah kembali kerumah.
Di dapur Raras membantu Bik Jani bersama Yuni dan Ratna yang ia panggil mbak untuk memasak menu makan malam. Udang tepung dan berbagai menu lainnya. "Semoga kamu betah disini ya ras" Ucap Ratna yang berdiri disamping Raras Raras yang sedang memotong bawang menoleh kemudian tersenyum. "Kalau ada yang gak paham atau dipertanyakan, tanya aja sama Bibik atau sama mbak Yuni atau Ratna" Bik Jani ikut bicara "Kamu itu cantik banget dek, aku penasaran loh sedari tadi mau nanya. kamu ada keturunan bule ngak sih? cantik banget kamu" Yuni gak berhenti memuji Raras dan itu membuat Raras menggeleng heran. "Aku gak cantik ah mbak, cantikan juga mbak" Yuni tertawa mendengarnya. "Kamu benar dek, mbak cantik. Sangking cantiknya mbak ditinggal selingkuh " Tawa Yuni terdengar sumbang dan pilu. Raras jadi gak enak hati mendengarnya, gadis itu mendekati Yuni memegang pundaknya kemudian merangkulnya. "Maaf mbak, aku gak maksud menyinggung hati mbak" Yuni tersenyum kemudian menatap Raras dengan ekspresi yang kembali ceria. "Santai dek" "Raras itu kalau bibik gak salah ada keturunan Belanda dari kakeknya, Abang sama adiknya bening banget kayak artis luar negeri" Puji Bik Jani Raras hanya diam tersenyum canggung. "Wah pantes, kalau mbak secantik kamu mungkin mbak gak akan jadi Janda" Yuni tertawa tapi tawa wanita itu membuat Raras dan yang lain merasa iba. "Mbak, juga sangat cantik. Hanya pria yang gak bersyukur yang berani menyakiti hati perempuan" Raras sudah merasa sangat dekat dengan Yuni meskipun mereka baru saja kenal. "Kamu benar" Yuni tersenyum Ratna dan Jani saling pandang, Kedua wanita muda itu memiliki luka masing-masing. "Udah, mendingan kalian beresin kamar Tuan Muda, sebentar lagi dia pulang, sudah lama dia dinas di luar kota" Ratna bersuara memecah suasana yang tiba-tiba berubah mellow. Kedua wanita muda itu pun menurut dan meninggalkan kedua wanita yang tak lagi muda itu. ******* Sementara Di tempat berbeda Maxime dan Asistennya baru saja menyelesaikan pekerjaannya, sepulang dari luar kota. Keduanya tak sempat pulang karena harus menyelesaikan pekerjaan di kantor. Baru saja hendak Memasuki mobil, ponsel Max berdering. "Hm, ada apa?" Dengan malas pria itu terpaksa mengangkat ponselnya "Mana lu bro?" "Kantor" "Gue udah mutusin buat tinggal dirumah bareng kalian, kesepian gue sendiri di apart" "Up to you" Max mematikan ponselnya begitu saja tanpa aba-aba "Sapa boss?" Tanya Rangga yang mulai menjalankan mobil. "Gak penting" Jawab Max asal. Rangga hanya diam, boss nya itu terlihat sangat lelah. Mobil mulai keluar meninggalkan area gedung perusahaan. Sore menjelang malam di ibu kota adalah waktu di mana langit berubah warna perlahan dari jingga ke ungu, lalu meredup dalam biru tua yang basah oleh cahaya lampu kota. Jalan-jalan dipenuhi kendaraan yang bergerak lambat, klakson bersahutan seperti paduan suara lelah dari rutinitas panjang. Asap knalpot menari bersama hembusan angin lembap, sementara cahaya lampu jalan mulai menyala satu per satu, menciptakan garis-garis kuning di sepanjang aspal yang mulai gelap. Di trotoar, orang-orang berjalan tergesa, menenteng tas, menatap ponsel, dan sesekali melirik ke arah langit yang seolah masih menahan sisa senja. Tukang ojek online berderet di pinggir jalan, menunggu pesanan, sementara aroma gorengan dari warung pinggir jalan bercampur dengan wangi kopi sachet dan debu sore. Kota ini tak pernah benar-benar berhenti. Bahkan ketika matahari tenggelam di balik gedung-gedung tinggi, kehidupan tetap berdetak dengan lampu-lampu yang menggantikan cahaya siang, dan langkah-langkah manusia yang tak pernah benar-benar pulang dari kesibukan. Rangga dan Max tentu sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, meski terkadang melelahkan tapi ini adalah rutinitas yang harus mereka lakukan. Tiga puluh menit akhirnya mereka sampai dirumah mewah keluarga Yudhanegara. Max bergegas keluar dari mobil, ia butuh mandi dan istirahat. Ia tidak tau dikamarnya seorang gadis terlihat membersihkan kamar mandi, tadinya ia bersama dengan rekannya yang tak lain Yuni tapi Janda muda itu tiba-tiba dipanggil Nyonya besar. "Rumah orang kaya luas banget, bikin capek bersihin nya" Raras sangat fokus membersihkan kaca Kamar mandi hingga tak sadar Max memasuki kamar. Pria itu mengernyitkan alis bingung melihat pintu kamar mandi terbuka. "Apa itu bibik?" Max berjalan mendekati kamar mandi tapi ia terpaku kala melihat gadis asing berdiri dengan wajah tersenyum kearah kaca sembari membersihkan kaca. 'Siapa gadis ini?' Banyak pertanyaan muncul dalam benak Maxime, Apa pembantu baru? Tapi gadis ini sangat cantik, kulit putih. Astaga Maxime menggelengkan Kepalanya. "Kau siapa?" Suara bass Max membuat Raras kaget, ia menoleh ke asal suara. Gadis itu hampir terpleset karena lantai yang licin. Tapi. Max dengan sigap menahan tubuh Raras, adegan slow mo ini persis drama romantis dalam televisi yang pernah Raras tonton. Mereka saling tatap. Untuk beberapa detik, waktu seolah berhenti bekerja. Tatapan Raras bertemu dengan mata tajam milik Max tampak gelap, dalam, tapi juga memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan. Nafas Raras tercekat, dadanya terasa hangat sekaligus sesak. Ia bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang berdegup tak karuan, seperti genderang yang dipukul tanpa irama. Max, di sisi lain, masih memegang bahu Raras, jarinya terasa hangat di kulit gadis itu. Hidung mereka hanya berjarak beberapa senti. Napas keduanya saling beradu di udara yang tiba-tiba terasa lebih berat dari sebelumnya. Suara detak jam dinding terdengar begitu jelas di antara mereka, disusul helaan napas pelan dari Raras yang tak tahu harus menunduk atau tetap menatap. Sementara Max entah kenapa, tidak segera melepaskan. Ada sesuatu di wajah gadis itu yang membuatnya terpaku. Matanya jernih, polos, dengan pipi yang sedikit memerah karena gugup. “Aku…” suara Raras nyaris bergetar, “Aku Pembantu baru tuan dan cuma… bersihin kamar, Tuan.” Max mengerjap, seolah baru sadar dari lamunan. Ia cepat-cepat menarik tangannya dan berdeham kecil untuk menutupi canggungnya. “Lain kali hati-hati. Lantai di sini memang sering licin,” ucapnya datar, tapi suaranya terdengar sedikit lebih pelan dari sebelumnya. Raras menunduk dalam-dalam, pipinya masih panas. “Iya, Tuan. Maaf…” Max menatap punggung gadis itu yang buru-buru mundur sambil merapikan serbet di tangannya. Bibirnya terangkat samar, nyaris tak terlihat. "Dia?" Sementara Raras melangkah cepat meninggalkan ruang tamu, dadanya masih berdetak kencang. Ia tak tahu apakah barusan itu nyata atau hanya halu… tapi satu hal pasti jantungnya belum mau tenang. Raras malu, Dan apakah pria itu Anak sulung nyonya besar? Tampan. Astaga Raras, mikir apaan sih?Sore menjelang malam, rumah besar itu kembali ramai. Tuan dan nyonya besar sudah kembali kerumah. Di dapur Raras membantu Bik Jani bersama Yuni dan Ratna yang ia panggil mbak untuk memasak menu makan malam. Udang tepung dan berbagai menu lainnya. "Semoga kamu betah disini ya ras" Ucap Ratna yang berdiri disamping Raras Raras yang sedang memotong bawang menoleh kemudian tersenyum. "Kalau ada yang gak paham atau dipertanyakan, tanya aja sama Bibik atau sama mbak Yuni atau Ratna" Bik Jani ikut bicara "Kamu itu cantik banget dek, aku penasaran loh sedari tadi mau nanya. kamu ada keturunan bule ngak sih? cantik banget kamu" Yuni gak berhenti memuji Raras dan itu membuat Raras menggeleng heran. "Aku gak cantik ah mbak, cantikan juga mbak" Yuni tertawa mendengarnya. "Kamu benar dek, mbak cantik. Sangking cantiknya mbak ditinggal selingkuh " Tawa Yuni terdengar sumbang dan pilu. Raras jadi gak enak hati mendengarnya, gadis itu mendekati Yuni memegang pundaknya kemud
Hari pertama yang cukup baik bagi Raras, masakannya ternyata disukai majikan barunya. Bik Jani juga banyak membantunya, wanita itu sangat baik sekali. Disini Raras bertemu Yuni, ia juga pekerja dirumah konglomerat ini sama seperti Jani dan Raras. Yuni, seorang janda muda, bercerai dari suaminya karena sang suami selingkuh. Janda muda itu berusia sekitar dua puluh tujuh tahun. Siang itu setelah majikan mereka pergi bekerja dan sibuk dengan rutinitas aktivitas masing-masing. Raras duduk bersama Yuni di meja belakang khusus buat para pekerja. Menikmati segelas coklat dingin dan seblak yang baru saja dibuat Yuni untuk mereka berdua. "Semoga betah disini ya dek" Yuni menyeruput Coklat sembari menatap Raras. Senyum Raras terkembang di wajah cantiknya, ia menganggukkan kepalanya. "Kamu cantik banget loh dek, gak cocok jadi Art tapi cocok jadi nyonya, mungkin bisa jadi nona muda rumah ini" Yuni cekikikan menutup mulut dengan wajah yang berbinar. Raras hanya tersenyum
Maxime Yudhanegara bukanlah nama asing di kalangan pengusaha muda di negara ini. Di usia tiga puluh empat tahun, ia sudah berhasil membawa perusahaan keluarganya ke level yang lebih tinggi. Perusahaan kosmetik yang dulu hanya beroperasi dalam lingkup kecil, sebuah usaha rumahan yang dirintis oleh kakeknya puluhan tahun lalu kini berkembang menjadi salah satu brand kecantikan lokal ternama dengan pasar yang menjangkau hampir seluruh Indonesia bahkan luar negeri. Meski banyak yang melihatnya sebagai sosok sempurna muda, mapan, tampan, dan karismatik. Maxime tahu betul bahwa apa yang ia capai tidak datang dengan mudah. Ada kerja keras yang tak pernah henti, ada malam-malam panjang tanpa tidur, ada juga tanggung jawab besar yang menempel erat di pundaknya sejak ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarga. Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar meninggi, Maxime sudah berada di kantor pusat perusahaannya. Gedung berlantai puluhan itu berdiri megah di pusat kota, dikelilingi gedung
"Bik, bangun udah sampai" Bik Jani bangun dan membuka mata tanpa drama sama sekali. Ia menguap kemudian menatap sekitar. "Udah sampai toh?" "Udah, ayo turun" Bik Jani menoleh ke belakang dan membangunkan Raras. "Nduk, bangun kita udah sampai" Raras langsung membuka mata, ia menatap ke sekitar dengan pandangan linglung. Malam begitu pekat, namun lampu-lampu jalan perkotaan masih menyala terang. Suara mesin mobil yang perlahan berhenti membuat jantungnya berdebar. Gadis itu baru sadar kalau ia sudah benar-benar jauh dari kampungnya. “Ndak, ayo turun. Kita udah sampai,” ujar Bik Jani sembari menepuk pelan lengan Raras. Pintu mobil dibuka dari luar oleh seorang pria muda cukup ramah. Ia sopir pribadi keluarga majikan Bik Jani, wajahnya tegas namun ramah. Raras hanya mampu menunduk, menahan rasa canggung. Bukan hanya karena laki-laki itu asing baginya, melainkan juga karena tempat ini benar-benar jauh dari kehidupannya yang sederhana. Begitu melangkah turun, pandangan R
Malam itu, rumah sederhana keluarga Raras berubah menjadi lautan ketakutan. Angin malam berhembus dingin, tapi hawa panas amarah juragan Warto jauh lebih menusuk dada semua orang yang ada di dalam rumah termasuk ibu. Lelaki itu berdiri dengan dada membusung, wajahnya memerah, urat-urat di lehernya menonjol, matanya melotot bagai harimau kelaparan yang kehilangan buruannya. “Di mana anak mu?! Di mana calon istri ku?!” teriaknya dengan suara menggelegar, membuat dinding kayu rumah bergetar. Tongkat kayu yang selalu menemaninya dihantamkan keras ke lantai, menimbulkan suara menggetarkan jantung. Ibu Raras yang sudah berumur separuh baya hanya bisa berlutut di sudut ruangan. Air matanya jatuh tanpa henti, membasahi gamis biru yang ia kenakan. Ia menangis, bukan hanya karena takut pada juragan yang berangasan itu, tetapi juga karena hatinya teriris melihat putrinya harus berlari menyelamatkan diri dari pernikahan yang dipaksakan, dari pria seperti juragan mata keranjang ini. “Ma
"Lari nak, pergilah" Bisik seorang wanita dengan kulit kuning langsat pada gadis cantik dengan kulit putih dan bibir merah bak delima. "Gak buk, Raras gak mau" "Dengarkan ibuk nak, pergilah dari sini demi keselamatanmu" ibu terlihat bersimbah air mata tapi gadis dua puluh satu tahun itu masih tetap menggeleng. "Dengarkan ibu Raras!" Wanita paruh baya itu berteriak keras, nafasnya tersengal menahan amarah Raras Sekarini namanya, Terlahir dari keluarga sederhana namun bahagia menjadi sebuah syukur bagi Raras. Tapi semua tak seindah yang ia harapkan. Saudara laki-laki tertuanya merantau ke luar negeri dan tak ada kabar sampai sekarang, Raras terlahir sebagai anak tengah dan perempuan Satu-satunya, ia memiliki Adik laki-laki yang sekarang masih Sma. Ibunya hanyalah seorang ibu rumah tangga dahulu tapi sekarang? tidak lagi tepatnya semenjak ayahnya di jebloskan ke penjara oleh juragan Warto. Ibu harus mengantikan ayah di sawah dan kebun milik mereka. Juragan itu bisa