LOGINRaras langsung masuk kedalam kamar usai keluar dari kamar pria tampan yang mungkin adalah Tuan Muda Max.
Yuni yang berdiri didepan pintu kamarnya dengan tatapan heran menatap Raras yang terlihat aneh usai dari kamar Tuan Muda "Kenapa tu anak?" Yuni menggeleng heran kemudian masuk kedalam kamarnya sendiri. Setiap Art dirumah ini memiliki kamar sendiri, meskipun kecil tapi sejauh ini Yuni nyaman dan majikannya juga baik. Kamar dengan ranjang single dan lemari kecil serta kipas angin tergantung di dinding, sederhana tapi para pekerja sangat nyaman. Mereka tak pernah direndahkan atau dibedakan soal makanan, apa yang majikan makan maka mereka juga akan memakan hal yang sama meskipun para Art akan makan di meja makan belakang. Sementara Raras. Sesampainya di kamarnya yang berada di bagian belakang rumah besar itu, Raras langsung menutup pintu pelan. Ia bersandar di baliknya, menunduk sambil menepuk-nepuk dadanya sendiri yang masih berdetak cepat. “Ya Allah…” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti bisikan, “kenapa tadi deg-degan banget sih?” Ia berjalan pelan ke arah ranjang, lalu duduk di tepinya. Matanya menerawang kosong, wajahnya masih terasa panas. Bayangan tadi saat sang majikan menahan tubuhnya, wajah mereka yang begitu dekat, dan tatapan tajam itu, semuanya berputar ulang di kepalanya seperti cuplikan film yang tak mau berhenti diputar. “Duh, Raras…” ia menutup wajah dengan kedua tangan. “Baru juga kerja di sini, udah kayak pemeran utama drama Korea aja.” Wajahnya memerah semakin dalam. Ia teringat bagaimana napas mereka nyaris bersentuhan, dan bagaimana suara Max yang berat itu membuatnya refleks salah tingkah. “Tapi mbak Yuni benar, Dia tampan!” Ia spontan menertawakan pikirannya sendiri. Kepalanya ia jatuhkan ke bantal sambil meringis. “Gimana kalau dia pikir aku sengaja terjatuh? Ya Allah, malu banget…” Ia menendang-nendang ujung selimut dengan gemas, lalu memeluk bantal di dada. “Udah, udah. Lupa! Lupain Raras!” katanya pada diri sendiri, tapi pipinya masih bersemu merah. Namun semakin ia mencoba melupakan, semakin jelas wajah Max muncul di kepalanya, alis tegasnya, mata dalamnya, dan cara dia berkata “Lain kali hati-hati.” Nada suaranya terngiang lagi, membuat Raras menutup wajah dengan bantal sambil mengerang pelan. “Ya Tuhan… kalau tiap hari begini, bisa-bisa aku kena darah tinggi bukan karena pekerjaan, tapi karena jantungku yang nggak kuat.” Suara kipas angin tua di sudut kamar berputar pelan, menambah keheningan sore itu. Di luar, terdengar samar tawa para asisten rumah tangga lain yang sedang bercengkerama di dapur. Tapi di kamar kecil itu, Raras hanya bisa memandangi langit-langit dan menghela napas panjang. Ia sadar satu hal bahwa ia baru saja merasakan sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Dan sayangnya, itu datang dari sosok yang seharusnya hanya ia panggil… Tuan. Astaga apa yang ia pikirkan. "Jangan berpikir terlalu jauh Ras, Fokus aja dengan pekerjaan kamu" Raras tak mengerti kenapa ia mendadak kepedean seperti ini. Ini bukan dirinya kan? ---------- Maxime baru saja selesai mandi, ia duduk diujung ranjang sebelum pintu kamar berdetak. "Nak ini mama" Maxime tersenyum kala mendengar suara sang mama. Kedua ibu dan anak itu malah sibuk mengobrol dan melupakan Tuan besar yang menunggu di meja makan. Sementara Di meja makan Menu makan malam telah terhidang di atas meja makan keluarga Yudhanegara, menebar aroma lezat di udara. Ruang makan megah itu diterangi lampu kristal besar di langit-langit tinggi, memantulkan cahaya keemasan pada meja marmer putih yang panjang. Di sekelilingnya berdiri kursi kulit krem berukir halus, sementara dari dinding kaca besar tampak taman belakang dengan cahaya lampu taman yang lembut. Di atas meja, hidangan tersaji lengkap, steak wagyu dengan saus lada hitam, roasted duck orange glaze, mashed potato truffle, serta menu rumahan kesukaan Tuan Besar juga sayur asem dan sambal bajak pedas manis. Aroma santan, mentega, dan rempah berpadu harmonis, membuat suasana semakin hangat. Tuan Besar Hutomo Yudhanegara duduk di kursi utama, tegap dan berwibawa. Ia melirik jam antik di dinding menunjukkan pukul setengah delapan malam. “Harusnya mereka sudah turun,” gumamnya. Ia tahu, istrinya Nara pasti sedang di lantai atas, memanggil putra sulung mereka sambil berbincang sebentar. Itu sudah jadi kebiasaan mereka, makan malam keluarga selalu dimulai setelah Nara memastikan Max berada di meja makan bersama mereka dan berhenti sejenak bekerja. Ruang makan terasa tenang, hanya diisi suara lembut pendingin udara dan detak jam. Aroma sandalwood dari diffuser menenangkan suasana. Tuan Besar menatap meja makan yang tertata sempurna. “Menu masakan malam ini luar biasa,” katanya pelan. “Tinggal menunggu pewaris keluarga turun.” Beberapa menit kemudian, langkah kaki terdengar dari tangga. Maxime Yudhanegara muncul dengan kaos hitam dan wajah tenang. Di belakangnya, Nyonya besar menuruni tangga dengan senyum hangat. “Maaf menunggu, lama pa” ujar Max tersenyum hangat. Tuan Besar mengangguk. “Tak apa. Mari kita makan.” Suara sendok dan garpu mulai terdengar. Di bawah cahaya kristal yang berpendar lembut, keluarga Yudhanegara menikmati makan malam tampak sempurna dari luar, menyimpan cerita yang belum terucap di balik keheningan meja marmer itu. Nara juga sibuk menyantap makanannya hingga selesai makan, barulah ia bertanya keberadaan Art barunya. "Bik, Raras mana?" Max dan Hutomo ikut menoleh ke Nara. "Kayaknya lagi dibelakang nyonya, tadi sibuk beberes dapur" Nara menganggukkan kepala tapi Maxime ikut bersuara. "Bik, mulai besok Art baru itu yang bertugas membersihkan kamarku dan menyiapkan keperluanku" Ucap pria itu. "Baik Tuan Muda nanti saya juga akan bicara dengan Yuni dan Ratna untuk bisa bekerja sama" "Tidak, hanya gadis itu saja" Hutomo dan Nara saling tatap, mereka tak ingin bertanya terlalu jauh. Dalam benak mereka mungkin putra mereka suka dengan kinerja Art cantik itu. Sementara Nara duduk sendiri didalam kamar, ia baru saja bertukar kabar dengan keluarganya di kampung mengenai keadaannya di kota. Di dalam hati terselip rindu akan keluarganya tapi ini semua harus ia lakukan demi menghindari hal yang bukan keinginannya. Semua pekerjaan malam ini telah selesai dikerjakan dan semua pekerja telah kembali ke kamar masing-masing. Lelah melamun dan menahan rindu, Raras tertidur dengan tubuh meringkuk di ranjang sementara Di kamar lain Max duduk melamun di balkon. Ia menyesap Rokok sembari menatap Luasnya langit malam. "Sudah lama berlalu dan aku masih belum bisa melupakan kamu" lirih nya, sorot matanya menerawang jauh. Tidak ada yang bisa menebak isi pikiran Tuan Muda itu, Apakah ia masih memikirkan Alin Ludwig? Gadis cantik pemilik hatinya beberapa tahun silam dan berprofesi sebagai desainer. Apakah ia belum move on?Pertemuan hari itu dengan Max adalah pertemuan terakhir bagi Raras karena seperti yang ia dengar pria itu ada perjalanan bisnis keluar negeri katanya satu minggu. Ini adalah weekend, tuan dan nyonya dua hari yang lalu pergi ke sebuah anak cabang perusahaan dk daerah kecil Indonesia. Rumah besar keluarga Yudhanegara terasa hening hari itu. Tak ada suara langkah Tuan Muda Maxime yang biasanya terdengar dari lantai dua, juga tak ada suara lembut Nyonya Nara memanggil Bik Jani dari ruang makan. Yang tersisa hanya dentingan sendok di dapur dan suara samar angin yang menyusup lewat jendela tinggi ruang tengah. Langit di luar terang, tapi suasana di dalam rumah justru terasa teduh, nyaris dingin. Aroma pengharum ruangan tercium wangi bercampur dengan debu halus yang berterbangan di antara cahaya matahari yang menembus tirai. Ruang tamu yang megah dengan sofa berwarna gading tampak rapi dan tak tersentuh, seperti museum kecil yang kehilangan penghuninya. Raras berjalan pelan melewa
Raras tampak cantik dengan gaun putih tanpa lengan, rambutnya di ikat dengan pita membuat gadis itu tampak menawan dalam visual yang sederhana. Yuni ternganga melihat penampilan Raras, cantik? tentu saja tapi ini serius Raras pakai putih untuk ke pasar? "Kenapa mbak?" "Dek, kami serius pakai putih ke Pasar?" Raras menggaruk tengkuknya, Ia tak membawa banyak baju jadi hanya ini yang tersisa. "i... iya mbak" Yuni menghela nafas pasrah. "Ya udah deh, buruan ntar kita terlambat" Yuni menarik lembut tangan Raras keluar dari rumah menuju mobil yang sudah menunggu di depan rumah majikan mereka. Seorang pria muda berdiri didepan mobil, dengan senyum sok tampan apalagi setelah melihat keberadaan Raras Supir muda itu, tak henti memperhatikan Raras sedikitpun "Sok ganteng lo" celetuk Yuni "Emang ganteng gue" Raras hanya tersenyum melihat interaksi keduanya "Senyum neng Raras cantik banget" Raras tersenyum canggung, pria ini memang suka sekali menggodanya. "B
Pagi itu kantor pusat Yudhanegara, perusahaan kosmetik ternama warisan keluarga, sudah sibuk sejak jam delapan. Lantai atas ruang Ceo yang ditempati Maxime sebagai pemimpin, tercium dengan lembut aroma parfum premium hasil produksi terbaru mereka. Dinding kaca transparan menampilkan pemandangan kota, sementara meja kerja besar dari marmer putih tertutup oleh tumpukan berkas, proposal, dan sampel produk. Maxime berjalan masuk dengan langkah tenang, jasnya rapi, ekspresi wajahnya kembali datar seperti biasa. Sekilas, tak ada yang tahu bahwa pikirannya sempat melayang pada seseorang di rumah tadi pagi. Begitu duduk, ia langsung membuka map laporan keuangan, matanya menyapu cepat angka-angka dan tanda tangan yang harus ia bubuhkan. “Agenda pagi ini, meeting dengan tim riset jam sembilan, lalu investor Jepang jam sebelas,” lapor Rangga yang berdiri di samping. “Baik. Siapkan semua laporan yang mereka minta.” “Sudah di meja, Tuan.” Tanpa basa-basi, Maxime mulai menandatangani be
Raras membeku. Tangannya masih menggenggam ujung dasi yang belum sempat ia rapikan. Ucapannya barusan… apa dia nggak salah dengar? “Kamu... cantik.” Suara berat itu kembali terngiang di telinganya, membuat jantungnya serasa berhenti berdetak sesaat sebelum berdebar dua kali lipat lebih cepat. “Tu—Tuan bercanda, ya?” Raras mencoba tertawa kecil, kikuk. Ia menunduk, pura-pura sibuk meluruskan dasi yang dari tadi malah belum benar. Tapi tangannya gemetar hebat. Maxime tidak menjawab. Pria itu justru terus memandangi wajah Raras dari jarak yang terlalu dekat. Hanya sejengkal, hingga Raras bisa merasakan hembusan napas hangatnya di pipi. “Tidak semua orang berani menatapku seperti itu,” ujar Maxime pelan, nada suaranya datar tapi menekan, membuat udara di antara mereka seolah menegang. Raras menelan ludah. “Sa-saya tidak bermaksud menatap, Tuan... saya cuma—” “Sudah,” potong Maxime singkat. Ia mengambil jas dari kursi, memakainya tanpa mengalihkan pandangan dari Raras. “Pergi
Pagi yang berbeda Di alami Raras di kediaman mewah tempat ia bekerja. Para pekerja bangun pagi sekali dan mengerjakan tugas mereka masing-masing. Raras sudah mandi ketika adzan subuh berkumandang kemudian melanjutkan untuk membantu para mbak dan bik jani yang sedang sibuk di dapur. "Raras, mending kamu bersihkan kamar Tuan muda, Siapkan air hangat, baju kerjanya dan bangunkan dia" Ujar Ratna Raras diam mendengarkan, Ia meringis dan sebenarnya enggan untuk bertemu pria itu karena masih malu dengan kejadian kemarin. Ingin rasanya dia menolak dan bertukar tugas dengan Yuni atau yang lain tapi Raras tak se pemberani itu untuk berani mengungkapkan isi pikirannya apalagi ia orang baru disini. "Eh malah bengong, sana pergi" Ratna menyenggol lengan Raras yang terlihat diam dan melamun. Raras tersentak kaget kemudian mengangguk pasrah. Ya ampun! kakinya berat banget rasanya. Ini kenapa kakinya seperti terbenam dalam lumpur hisap atau ada magnet yang membuat ia sulit berg
Pagi di kampung itu terasa sendu meski mentari sudah menanjak tinggi. Embun masih menempel di ujung rumput, ayam berkokok dari kejauhan, dan suara gamelan bambu dari rumah tetangga terdengar samar di antara hembusan angin lembap. Di rumah sederhana milik keluarga Raras, udara pagi dipenuhi aroma kopi hitam dan suara isak tertahan. Ibu Raras duduk di kursi dalam rumahnya, masih dengan mata sembab dan wajah letih. Di pangkuannya tergenggam selendang biru milik Raras, selendang kesayangannya sejak kecil. Sudah dua hari Raras pergi, tapi rasanya seperti berbulan-bulan bagi sang ibu. Walau semalam anaknya sempat menelpon, kerinduan itu tak berkurang sedikit pun. “Katanya baik-baik saja, tapi Ibu masih kepikiran, kakak kamu…” ucapnya pelan, suaranya serak dan bergetar. “Kota itu besar, Nak. Ibu takut Raras bingung di sana.” Sang putra bungsu yang masih berseragam SMA, menatap ibunya dengan lembut. Ia baru saja meletakkan sepiring tempe goreng di meja. “Sudahlah, Bu. Mbak Raras sama B







