Pov Larissa."Pergi saya bilang!"Aku bergeming melihat tatapan tajam Ika pada Wisnu. Jujur saja aku sedikit kaget, mengingat Ika dan Wisnu selalu mesra tiap kali kami bertemu.Ada apa sebenarnya?Alisku menaut, memperhatikan Ika yang memandang Wisnu dengan tatapan penuh kebencian."Ada apa ini, Nu. Ika?" Ibu Asih menatap bingung kearah anak dan menantunya. Sorot matanya meminta penjelasan."Bu ... tolong. Aku tidak mau dia ada disini," ucap Ika dengan suara tertahan sambil menoleh pada Ibu Hanum, wajahnya memelas dengan mata berkaca-kaca."Ini ada apa, besan?" Ibu Asih nampak semakin bingung."Nu ..." kali ini tatapan matanya beralih pada Wisnu. Wisnu hanya diam, menatap Ika dengan sorot penuh penyesalan."Dek ..."Ika bahkan memalingkan wajah, seolah tak sudi melihat suaminya."Wisnu, Ibu harap kamu keluar. Kasihan Ika," ucap Bu Hanum dengan tatapan sedih.Wisnu menghela nafas berat, sebelum beranjak dari tempatnya dia masih menatap Ika dengan mata merah berkaca-kaca."Dek, maaf. Ak
Setahuku Hella disini tidak ada sanak saudara selain Rissa, apa iya Rissa mau menampungnya kembali?Aaargghh!Meremas rambut dengan kuat, kepalaku kini berdenyut-denyut memikirkan nasib Hella.Gusar ... kakiku melangkah mengelilingi ruangan pengap dan lembab ini, kegelisahan dihati membuat aku ingin melempar apa pun yang ada didalam ruangan."Bisa diam ga sih, Rud. Bapak pusing denger kakimu, berisik!" gerutu Bapak.Membuang nafas dengan kasar melalui mulut, mencengkram jeruji besi dengan erat.Pikiran benar-benar kacau, sungguh aku tak ingin terlalu lama tinggal didalam neraka ini."Ibu kemana sih, ga kasih kabar sama sekali!" geramku. Kepala benar-benar terasa panas, hati semeraut tak tentu arah.Rissa ... kau benar-benar membuatku gila!Bapak yang sedang tiduran beringsut duduk, menyenderkan tubuh ditembok kusam yang penuh dengan coretan."Rud ..." panggil Bapak, membuat aku sedikit menoleh."Apa?" jawabku acuh."Sini, duduk!" Bapak menepuk sisi tikar disampingnya. Dengan malas aku
Biar bagaimana pun, aku tidak ingin dirugikan. Aku tidak mau tangan kotor lelaki tua itu kembali melukaiku.Saat keadaan mulai tenang, aku putuskan untuk pulang setelah melaksanakan sholat magrib, tak lupa menyelipkan beberapa lembaran uang seratus ribuan pada Ibu mertua. Ibu sempat menolak, namun aku bersikeras aku tidak mau Ibu kesulitan jika mau membeli sesuatu mengingat saat ini adalah tanggal tua."Makasih, Riss." mata Ibu masih berkaca-kaca, senyumnya terlihat tulus saat menatap kearahku."Ibu jaga kesehatan," ucapku."Iya. Kamu hati-hati, titip salam sama Dila. Ibu kangen sama dia," sahut Ibu. Aku hanya mengangguk, menoleh kearah Ika yang masih terlelap lalu keluar ruangan.Didepan pintu aku lihat ada Wisnu yang duduk terpekur, tatapan matanya terlihat kosong wajah sedihnya masih jelas terlihat.Ingin menegur, aku sungkan. Namun karna dia sudah terlanjur melihatku, akhirnya aku hanya menyunggingkan senyum seraya melewatinya."Pulang, Mbak?" tanyanya sambil memaksakan senyum."I
Kurebahkan tubuh diatas pembaringan, menarik nafas dalam-dalam sambil meregangkan otot kaki dan tangan. Hari yang sangat melelahkan, aku ingin tidur lebih awal malam ini.Dila sudah terlelap disampingku, merapatkan selimut ditubuhnya aku pun ikut terpejam disisinya.Bismillah ... buatlah malam ini aku terlelap ya Rabb.Sebelum adzan subuh, berkumandang mata sudah terbuka. Meraih gawai melihat media sosial untuk mencari sedikit hiburan. Setelah puas scroll tidak jelas aku langsung beringsut menuju toilet sekalian untuk membersihkan tubuh.Baru saja melepas mungkena, suara gawai terdengar nama Ibu tertera didalam layar melakukan panggilan.Hhhh ... lelah juga hati ini terus-terusan ditelpon dengan Ibu."Iya, Bu?" meski malas, panggilannya tetap aku jawab."Sudah bangun, Riss?" Ibu bertanya."Sudah. Ini baru saja selesai sholat subuh." jawabku. "Ika gimana?""Ika sudah lebih baik," jawab Ibu. Bibirku membulat, ikut senang mendengar keadaan Ika."Mmm ... hari ini jadi ke kantor Polisi kan
"Kalau Bapak tidak percaya sama saya, Bapak tanyakan langsung dengan Ika. Saya yakin, Ika sangat mengerti perasaan saya saat ini." desis Rissa dengan wajah misterius."Apa maksudmu?" Bapak yang terdiam akhirnya mengeluarkan suara, menatap lekat pada Rissa.Bukan menjawab, Rissa malah mendengkus dengan senyum menyerigai dan tatapan mengerikan.Ada apa ini, kenapa perasaanku mendadak tidak enak.Kenapa Rissa bawa-bawa, Ika?Apa Rissa merencanakan hal buruk pada Adikku?Awas saja!"Apa maksudmu, Riss?" Bapak kembali bertanya, wajahnya menegang dengan tatapan lurus pada Rissa.Rissa kembali mendengkus, kali ini disertai kekehan kecil.Sungguh, menyebalkan sekali dia!"Yakin, Bapak mau tahu?" Rissa mencondongkan wajah, menatap Bapak lebih dekat."Ya. Ada apa?" Bapak mulai terlihat gusar, pun dengan diriku.Rissa menarik nafas, menyandarkan tubuh disisi kursi. Nafasnya terhembus panjang, seolah sedang melepas penat yang begitu dalam."Wisnu ..." Rissa menjeda kalimat, bisa aku lihat dia men
Persendianku begitu lemas, pupus sudah harapan untuk hidup kembali bersama Rissa. Rissa tersenyum miring saat meraih map dari tangan Bapak, sementara Bapak masih tertunduk enggan menengok kearahku. Melihatnya aku semakin muak, Bapak benar-benar mempermainkan aku. Aku masih ingat betul, dimana saat Bapak mengajari tentang mendidik istri yang mulai membangkang. Aku bahkan masih ingat, dimana Bapak berbicara agar aku memukul Rissa, jika Rissa mulai tak patuh padaku. Aku merasa dipecundangi! "Pak ..." suara familiar terdengar, aku menoleh lemas. Terlihat Ibu datang sambil menenteng plastik belanjaan. "Bu," Bapak sangat bersemangat, dia langsung mendekati Ibu dan memeluknya. Mata Ibu terlihat berkaca-kaca, sedetik kemudian air matanya mengalir dengan deras. Entah mengapa aku tak terharu sama sekali, yang ada aku malah semakin jengah melihat keduanya. "Rissa, trimaksih Nak. Maaf sudah merepotkanmu," lirih Ibu dengan tatapan lembut. Rissa hanya mengangguk, sambil tersenyu
"Ya Alloh ..."Jaya yang begitu cemas langsung berlari tunggang langgang keluar rumah, meminta pertolongan."Nayaa ... Ferdi!" seru Jaya ketakutan didepan rumah tetangganya. Gedoran pintu terdengar bertubi-tubi, membuat siempunya rumah keluar dengan jalan terpogoh-pogoh."Ada apa, Pak? Kenapa?" tanya Ferdi setengah sadar, jantungnya berdegup kencang, kaget dengan gedoran keras yang terasa menghujam dadanya."Tolong saya," Jaya menatap gemetar tetangganya. "Istri saya pingsan, nafasnya tidak ada!" ucap Jaya ketakutan setengah mati, hatinya bagai diremas-remas. Takut hal buruk menimpa pada Hanum."Astagfirulloh ..." Ferdi terperangah, rasa cemas kini mulai bergelayut didadanya."Kenapa, Mas?" Naya yang keluar dari kamar menatap Ferdi dan Jaya bergantian."Ayok, kita bawa kerumah sakit, Pak." ucap Ferdi tanpa menjawab pertanyaan istrinya."Kamu tunggu disini aja, Mah. Aku mau kerumah Bu Hanum." titah Ferdi pada istrinya.Dengan langkah tergesa keduanya memasuki rumah, menerobos masuk ked
Jaya mematung ditempatnya, menatap nanar kearah Ika yang memandang Wisnu dengan tatapan bengis. Emosi Ika kembali tersulut, melihat Wisnu yang menggeleng lemas dengan pandangan tak nyaman menatap Jaya. Seolah mengisyaratkan agar Ika tak banyak bicara pada Bapaknya."Kenapa? Kau malu?" cibir Ika. Wisnu menundukkan kepala diiringi nafas panjang.Malu? Ya. Itu benar. Wisnu sangat malu, dia merasa terhina dihadapan mertua. Pun Wisnu cemas, takut kalau Jaya akan menyeret dan menghajarnya ditempat. Meski semua itu memang pantas dia dapatkan."Setelah Dokter mengizinkan aku pulang, secepatnya aku akan menggugat cerai." ucap Ika. Wisnu seketika mendongkak, tak menjawab hanya menyorot Ika dengan tatapan penyesalan.Sungguh, hatinya teramat gusar. Mengingat Wisnu, yang masih sangat mencinta Ika.Ingin sekali menjelaskan bahwa dia hanya main-main. Tapi rasanya percuma, hanya akan kembali memicu emosi Ika."Ka ..." Jaya membuka suara. Ika menoleh, wajahnya terlihat datar namun sorotnya terlihat p