“Kita buat laporan ke polisi. Bilang ada perampokan yang terjadi di rumah Om Reinhart. Tapi yang bikin laporan harus Misty, karena selama ini Cuma Misty yang memang sering bolak-balik ke rumah Om Reinhart dan berhubungan dengannya. Apalagi dengan memakai status Misty yang selama ini menjadi kurir pengantar makanan Om Reinhart, aku rasa nggak akan jadi bahan kecurigaan polisi. Mungkin Misty hanya akan dimintai keterangan. Beda dengan kita. Kalau kita yang melapor urusannya bisa panjang. Polisi bisa mencurigai kita.” Azzalyn menjelaskan panjang lebar.“Masuk akal juga apa yang kau katakan, Azzalyn. Apa kau mau melakukannya Misty?” tanya Rudi sambil menoleh ke arah gadis yang pipinya tampak basah karena menangis.“Sebenarnya Misty takut sama polisi. Tapi demi mengetahui keberadaan Om Rein, Misty akan melakukannya.” Ujar Misty mantap.“Bagus. Tapi kapan sebaiknya kita melapor?” “Sekarang juga, Om. Kalau tunggu besok pagi atau siang, keburu tetangga Om Reinhart menyadari kalau ada yan
“Halo, Rudi. Kenapa kau terkejut seperti itu melihatku datang? Apa aku tak boleh main-main ke sini? Kamu jangan lupa, aku mantan bos mu.” Riska berkata dengan santai sambil melihat-lihat dan memegang barang pajangan di lemari. Sementara Rudi menjadi semakin merasa was-was. Entah apa maksud kedatangan Riska ke rumahnya kini, setelah kejadian semalam. Apa Riska benar-benar sudah tahu tentang Reinhart?“Maaf. Aku hanya tak menyangka. Sebab setahuku sudah lama sekali sejak terakhir kali kau main ke sini. Aku jadi terkejut. Entah ada angin apa sampai tiba-tiba kau ada di ruang tamu ku sekarang.” Sindir Rudi, berusaha untuk tetap tenang. Ia tak mau terpancing akal bulus perempuan licik di hadapannya ini.“Entahlah. Aku sendiri juga nggak tahu pasti alasanku datang kemari. Aku hanya merasa.... Nggak enak hati.” Kata Riska dengan nada seperti mengejek.Rudi berdehem. Berusaha untuk bersikap senormal mungkin. Selagi Riska belum memergokinya secara langsung kalau ia bersekutu dengan Azzaly
“Ada pesan untuk Kak Bintang, Om? Biar nanti aku sampaikan.” Ujar Dwita dengan santainya. Ia tak menyadari kalau apa yang ia lakukan adalah sesuatu yang sangat tidak sopan. Yaitu mengangkat telepon orang lain, saat pemilik handphone sedang tidak ada di tempat.“Nggak usah. Biar nanti aku telfon lagi. Lagian ngapain kamu sembarangan ngangkat telfon di HP Bintang? Kamu siapanya emang? Pacarnya? Jadi anak jangan lancang, Dwita. Kamu nggak boleh seenaknya berbuat seolah-olah kalau barang orang lain adalah barang kamu juga.” Omel Rudi. Dia memang paling tak suka dengan sifat anak perempuan Krisna itu. Terlalu manja, egois dan arogan. Berbeda dengan Abyl yang cenderung lebih kalem dan tahu sopan santun.“Apaan sih Om? Tahu-tahu marah aja. Om juga emang siapanya Kak Bintang sih? Sampai ngomel-ngomel nggak jelas, cuma karena aku angkat telfon di HP nya!” Dwita menjawab dengan sengit. Dia memang tak suka ditegur, meski oleh orang yang jauh lebih tua sekalipun.“Kamu itu ya, kalau dikasih ta
Azzalyn sempat diam tak merespon saat Bintang mengatakan kalau mereka hampir mendapatkan titik terang soal pembunuhan Paman Bandi. Pikirannya campur aduk. Rasa terkejut karena tak menyangka dan senang menjadi satu.“Halo, Azzalyn. Kamu masih di sana?” Tanya Bintang saat ia tak mendengar jawaban dari Azzalyn.“Iya aku di sini Bintang,” Azzalyn seakan tersadar dan langsung menjawab. “Jadi bagaimana? Informasi apa yang udah kamu dapat soal pembunuhan Paman? Siapa yang memberitahumu?” Tanyanya lagi, penasaran.“Ceritanya panjang. Nanti kita omongkan saat dalam perjalanan aja. Aku juga udah nelfon Om Rudi tadi. Jadi kalau kalian sudah siap, sebentar lagi aku ke sana. Tapi sebelum menjemput kalian, aku akan menjemput Koma dulu.”“Jadi nama orang suruhan Om Rudi yang mau bantu kita itu namanya Koma?” tanya Azzalyn.“Iya. Kalau gitu udah dulu ya. Aku mau turun sekarang.” “Iya, hati-hati di jalan.” Kata Azzalyn, dan langsung memutuskan sambungan telepon mereka.“Kak Bintang udah mau je
Waktu menunjukkan hampir pukul setengah delapan malam. Suasana rumah makan yang tadinya tak terlalu ramai, kini terlihat hampir penuh. Mungkin karena memang ini sudah masuk jam makan malam.“Nggak usah terlalu terburu-buru. Makan pelan-pelan aja,” ujar Bintang sambil tersenyum saat melihat Misty yang terlihat mengunyah makanannya dengan cepat.“Misty emang gini kalau makan, Kak. Bukan karena buru-buru, tapi emang udah terbiasa makan cepat.” Sahut Misty sambil mengelap bibirnya yang berminyak karena lauk ayam goreng yang tadi ia pesan.“Biar aja dia makan cepat. Kenyataannya, memang dia kan yang paling akhir selesai makan?” Dengan santainya Koma mengatakan itu di depan Misty.Misty yang disindir merasa tersinggung. Ia masih kesal dengan sikap Koma sebelumnya yang sama sekali tak menyambut uluran tangan saat di dalam mobil tadi. “Aku paling terakhir selesai makan karena pesananku yang datang paling belakangan. Lagian kamu tadi bilang nggak lapar, nggak mau makan. Tapi pesan duluan
Mobil semakin melaju dengan kencang, seolah sedang berpacu dengan waktu. Tampak wajah Misty dan Koma yang cemberut karena dipaksa untuk duduk bersebelahan di kursi belakang. Sementara Azzalyn duduk di depan bersama Bintang, karena mereka memang berniat untuk membicarakan masalah pembunuhan Paman Bandi.“Dwita yang memberitahuku, kalau beberapa bulan yang lalu ada salah satu anak buah kepercayaan Mamanya yang disuruh pulang kampung. Namanya Harjiman.” Sampai di sini kalimat Bintang berhenti. Seolah sedang menunggu respon dari Azzalyn.“Bukankah Jiman itu adalah nama anak buah Paman Bandi yang waktu itu kita curigai karena ia tak datang lagi saat Paman Bandi turun melaut waktu kejadian itu?” Tanya Azzalyn memastikan. Bintang mengangguk. “Dan Dwita bilang, Harjiman itu dulunya adalah seorang anggota pasukan khusus di kepolisian. Ia punya banyak keahlian, salah satunya adalah sebagai perakit dan penjinak bom.”“Jadi kemungkinan besar memang dia.” Ujar Azzalyn. “Apa Dwita bilang dia p
“Menurutku yang membuat setumpuk baju terjatuh di lantai itu adalah Om Reinhart sendiri. Mungkin dia sudah menyadari kalau ada yang mengawasi rumahnya begitu kalian keluar. Dan dengan cepat dia ke kamar, membuka lemari dan mengeluarkan tas atau apa pun itu, yang aku tebak sudah lama ia persiapkan jauh-jauh hari, takut kalau terjadi hal-hal seperti ini. Jadi dia sudah mempersiapkan semua hal-hal penting yang bisa dia ambil dan bawa kapan pun hanya dengan sekali gerakan. Jadi, saat ada orang yang mengetahui keberadaannya di sini dan berusaha untuk membahayakan hidupnya, Om Reinhart sudah mempersiapkan segalanya dan lari sebelum orang-orang itu menangkapnya. Menurut tebakanku, dia lari lewat pintu belakang, karena itu kalian lihat pintu itu tadi dalam keadaan tak terkunci. Dan kemudian ia melompat keluar pagar dengan tangga yang ada di tembok belakang.”Begitu detail penjelasan Koma. Membuat ketiga orang di depannya memandang kagum. Ternyata dia memang bukan orang yang bisa diremehkan s
Reinhart sama sekali tak berani bersuara. Ia benar-benar merasa sangat ketakutan. Sementara bunyi ketukan di pintu depan masih terdengar, meski tak sekuat tadi.“Kok kayak nggak ada orangnya ya? Apa udah check out?” Reinhart menajamkan telinga, berusaha untuk menangkap dan mengenali suara siapa yang ada di luar.Suara ketukan terdengar lagi. Kali ini disertai panggilan.“Permisi Pak. Apa Bapak ada di dalam? Anu, di lobi ada yang cari Bapak.”Reinhart mulai berani mendekat ke arah pintu. Setelah memastikan kalau yang berada di depan itu adalah pegawai hotel, Reinhart membuka pintu kamarnya.“Ya. Ada apa?” tanya Reinhart.“Di lobi ada yang cari Bapak. Kemarin Bapak ada pesan kan? Kalau ada anak perempuan bernama Misty yang cari Bapak, kami diminta untuk memberitahu terlebih dulu ke sini.”“Iya. Mereka ada berapa orang?”“Tiga orang Pak. Yang satunya laki-laki.”“Yang dua orang itu, ada nyebutin namanya nggak?”“Ada Pak. Mbak Azzalyn sama Pak Bintang namanya.”Reinhart berna