Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.
“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.
Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara sebelum ia bisa menemukan jalannya kembali. Tapi sekarang, penjelasan Adnan membuka kenyataan baru yang lebih rumit.
Zahira mencoba menarik napas dalam-dalam, tetapi dadanya tetap sesak, seperti tertahan oleh rasa takut dan tanggung jawab yang tiba-tiba menjulang. Kewajiban sebagai istri. Nafkah batin. Kalimat-kalimat itu berputar di kepalanya, menghantui setiap detik yang berlalu. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri, namun rasanya sulit.
Adnan berjongkok di depannya, menyentuh lembut tangannya, mencoba menarik perhatian Zahira dari dunia yang sedang berputar di dalam pikirannya. "Aku mengerti kalau ini berat," suaranya pelan, penuh pengertian, tetapi Zahira tetap terdiam. Matanya tak bisa bertemu pandang dengan Adnan, seolah semua yang baru ia dengar terlalu menyakitkan untuk dihadapi langsung.
Ruang di sekeliling mereka semakin mengecil, sementara perasaan Zahira seakan terperangkap dalam badai yang tak kunjung reda.
“Masss, tapi aku gak cinta sama Mas Adnan,” ungkap Zahira .
Mendengar itu Adnan tidak marah , justru ia tersenyum Adnan sudah tidak kaget bagaimanapun perkenalan dan pertemuan mereka sangat singkat bagaimana mungkin Zahira yang dibayang-bayangi masa lalu bisa langsung jatuh cinta pada Adnan justru itu terdengar lebih aneh.
Adnan mengerti dan Adnan akan berusaha memperjuangkan cinta nya, karna nasib rumah tangga nya dengan Zahira ada pada dirinya.
“Mas tau kamu belum mencintai Mas, karna rasanya akan lebih aneh kalau kamu langsung jatuh cinta sama saya, perkenalan dan pertemuan kita sangat singkat. Kita perlu waktu untuk saling mengenal, pelan-pelan saja ya, asal kamu mau membuka hati Mas akan memperjuangkan rumah tangga kita,” jelas Adnan.
“Tapi aku ingin rujuk dengan Mas Zayyan,” ucap Zahira.
“Kita lihat saja nanti apa beberapa bulan setelah pernikahan ini keinginanmu tetap sama atau berubah,”ucap Adnan.
“Mas, aku gak siap menunaikan kewajibanku sebagai seorang istri,” ungkap Zahira .
“Its oke gak papa, kamu jangan terbebani dengan itu. Kita jalan pelan-pelan Mas cuman mau kamu mau membuka hati untuk Mas, gimana?” tanya Adnan .
“Mas kalau aku ingin tetap pada pendirianku kembali dengan Mas Zayyan gimana?”
“Biar waktu yang menjawab tapi kamu harus menjalankan persyaratan-persyaratan yang Mas jelaskan sebelum kamu ingin kembali rujuk dengan Zayyan.”
Zahira pun mengangguk, didalam hatinya ia ingin sekali rujuk kembali dengan Zayyan, tapi ia juga tak ingin melanggar aturan agama yang sudah jelas mendetail bagaimana jika dirinya ingin kembali menikah dengan mantan suami yang sudah mentalak tiga dirinya.
“Kamu sekarang istirahat aja, besok kita langsung berangkat ke Bandung,” ucap Adnan .
Mendengar itu Zahira tak kalah kaget, sang ibu memang mengatakan bahwa dirinya harus ikut Adnan yang bekerja di Bandung, tapi Zahira tak menyangka jika sang suami mengajak dirinya ke Bandung begitu cepat.
“Mas, ko besok aku belum beresin barang-barang aku malah aku masih nunggu surat resignku keluar dari perusahaan biar bisa dapet pesangon,” jelas Zahira.
“Semua barang kamu sudah di kirim ke alamat Mas di Bandung, ibu yang sudah membereskan semua, dan masalah pekerjaan kamu, kamu tidak menerima pesangon juga gak masalah, innsyaallah nafkah dari Mas nanti bisa mencukupi kamu,” ucap Adnan.
Zahira masih tampak duduk sambil merenung, beberapa kali ponselnya berbunyi jelas ia tau siapa yang menghubungi dirinya, Zayyan akhir-akhir ini memang menjadi sangat sering menghubungi dirinya, biasanya Zahira akan selalu bersemangt saat mendapat panggilan dari Zayyan, tapi untuk kali ini ntah mengapa ia sangat malas menangkat telepon tersebut.
“Itu ponsel kamu dari tadi bunyi, kenapa gak diangkat?” tanya Adnan.
“Gak ahh males,” jawab Zahira singkat.
“Mau nya apa? kalau mau malam pertama tunggu nanti malam ya sekarang kan masih siang,” goda Adnan.
“Mass Adnan jangan macem-macem ya, udah aku mau istirahat aja cape banget dari subuh udah bangun make up lanjut nerima cukup banyak tamu,” ujar Zahira sambil naik ke atas tempat tidur, ia bahkan menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Ia jadi takut dekat dengan suaminya bisa-bisa Adnan terus menangih haknya sebagai seorang suami dan Zahira belum siap untuk itu.
***
BERSAMBUNG
Di balkon kecil yang diterangi cahaya temaram, Adnan mengisyaratkan Zahira untuk bergabung dengannya. Tak lama, ia muncul dengan segelas jus di tangan, langkahnya tenang saat menyerahkan minuman itu pada Adnan. Dengan gerakan sederhana namun penuh perhatian, ia menghirup jus segar yang dingin, tidak ada jejak asap rokok atau aroma kopi yang biasanya mengisi udara malam. Hanya kesegaran buah yang menyatu dengan kesejukan malam.Keheningan menyelimuti mereka, sesekali angin malam menyapu lembut wajah Zahira, membuat rambutnya sedikit bergetar. Di antara desah angin yang lembut, tak ada suara lain. Tapi keheningan itu tak terasa canggung, melainkan penuh arti, seakan mereka berdua terhubung dengan cara yang lebih dalam tanpa perlu kata-kata.Akhirnya, Adnan meletakkan gelasnya di meja kecil di sampingnya. Dengan tatapan penuh kasih, ia menoleh pada Zahira, suaranya memecah keheningan, membawa percakapan yang sudah lama ingin ia mulai.“Gimana betah gak di Ban
Zahira masih bersandar di tempat tidur, matanya terpaku pada layar ponsel yang menampilkan adegan film yang sejak tadi ia tonton. Sesekali ia membenarkan posisi duduknya, mencoba mencari kenyamanan di antara tumpukan bantal. Angin sore yang sejuk menyelinap masuk melalui celah jendela, membuat suasana kamar semakin tenang.Namun, ketenangan itu tiba-tiba buyar ketika terdengar suara mesin mobil berhenti di halaman. Telinga Zahira menangkap bunyi yang familiar—mobil yang ia tahu benar adalah milik Adnan. Matanya langsung teralih dari layar, alisnya mengerut. "Jam tiga?" gumamnya, kebingungan. Pagi tadi, Adnan bilang akan pulang sekitar jam enam, tapi kini sudah ada di rumah lebih awal.Kaget bercampur dengan rasa gugup menyerbu dadanya. Sekilas, Zahira melirik ke arah dapur yang kosong, belum ada tanda-tanda kegiatan masak-memasak di sana. Ia teringat bahwa sejak tadi ia hanya sibuk menonton, membiarkan waktu berlalu tanpa memikirkan apa yang harus disiapkan untuk Adnan. Buru-buru ia m
Cahaya pagi baru saja merayap masuk melalui celah tirai ketika Zahira, dengan gerakan pelan, merebahkan tubuhnya kembali di atas ranjang. Udara segar selepas Subuh terasa nyaman, namun kepalanya masih dipenuhi oleh perasaan yang bergejolak. Selimut ditariknya hingga menutupi setengah wajah, mencoba meredam kegelisahan yang sempat membuatnya terjaga semalaman.Bagi Zahira, jarak antara mereka terasa begitu dekat, meskipun tak ada sentuhan. Hal itu justru membuat dadanya terasa sesak. Meskipun sudah beberapa hari berlalu sejak pernikahan mereka, Zahira masih merasakan ketidaknyamanan yang sulit diabaikan.Ia memejamkan mata, mencoba menenangkan pikirannya. Namun, bayangan semalam—saat Adnan berbaring hanya beberapa inci darinya—terus menghantui. Setiap gerakan kecil dari Adnan, bahkan hanya desah napasnya, membuat tubuh Zahira kaku. Ia belum terbiasa dengan kehadiran Adnan di sampingnya, rasa risih itu masih kuat, meski ia tak ingin mengakuinya.Zahira menghela napas panjang di bawah sel
Setelah delapan jam perjalanan yang melelahkan, Adnan dan Zahira akhirnya tiba di Bandung. Adnan memilih untuk tidak banyak beristirahat selama perjalanan, mengarahkan mobil mereka menuju sebuah kompleks perumahan yang tampak aesthetic dan modern. Ketika mobil membelok ke dalam, Zahira mengamati sekeliling dengan rasa kagum.Mobil mereka perlahan masuk ke dalam pekarangan sebuah rumah yang desainnya elegan namun minimalis. Pagar besi yang tinggi dengan garis-garis bersih dan taman kecil di depan rumah menambah kesan rapi dan tertata. Adnan mematikan mesin mobil dan keduanya turun, meregangkan badan yang kaku.Zahira melangkah mendekati pintu depan, menatap pada rumah yang dipenuhi dengan panel kaca besar dan batu alam. Cahaya sore yang hangat menyorot lembut, menciptakan bayangan yang menari di permukaan halus tersebut. Adnan mengikuti dari belakang, membawa tas-tas mereka dengan perasaan campur aduk antara kelelahan dan lega karena telah tiba.Dengan langkah yang masih sedikit goyah
Adnan duduk di tepi tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang diterangi lampu lembut di sudut ruangan. Udara terasa dingin, namun bukan itu yang membuat dadanya terasa sesak. Di sisi lain kamar, Zahira berdiri memunggungi Adnan, sibuk membereskan sesuatu yang tidak jelas apa, seperti menghindari tatapannya. Hening menyelimuti mereka berdua, seolah ada sekat tak terlihat yang terbentang di antara mereka.Adnan tahu, malam ini seharusnya menjadi malam yang penuh kenangan, malam yang akan mereka simpan dalam ingatan. Tapi kenyataan berbeda. Dia bisa merasakan jarak yang terasa begitu nyata dari cara Zahira menjauh, bahkan tanpa sepatah kata pun.“Zahira ...” Suaranya pelan, hampir berbisik. Ia mencoba memecah keheningan yang begitu pekat.Zahira hanya terdiam, jemarinya terus bergerak seakan sibuk, tapi tidak ada satu pun barang yang benar-benar dipegangnya. Setelah beberapa saat, dia berbalik, menatap Adnan dengan mata yang penuh keraguan.“Aku ... aku tidur di sofa saja malam ini,
Zahira duduk di ujung tempat tidur, tangannya meremas ujung pakaiannya dengan gemetar. Adnan berdiri di hadapannya, wajahnya serius namun lembut, berusaha memilih kata-kata dengan hati-hati. Zahira tak bisa lagi mendengar suara Adnan setelah satu kalimat menyentuh telinganya, kalimat yang menggetarkan hatinya seperti gemuruh yang tiba-tiba menyerbu dada.“Kita harus menjalani pernikahan ini sepenuhnya, sebagai suami istri,” kata Adnan, suaranya tegas namun seolah bergaung di telinga Zahira. Talak tiga. Kata itu terasa seperti palu yang menghantam dadanya. Napasnya mendadak terasa berat, seperti ada beban besar yang menghimpitnya. Jantungnya berdebar kencang, dan hawa di sekitarnya mendadak terasa sesak.Pikiran Zahira melayang pada nasihat Pak Penghulu tadi, kata-kata yang ia abaikan namun kini kembali terngiang dengan tajam. Matanya menatap lantai, tetapi pikirannya berputar liar. Bagaimana mungkin? Baru beberapa jam lalu, ia merasa ini hanya sekadar formalitas, langkah sementara seb