Irene masih mengamati punggung Jennie yang perlahan menghilang di antara kerumunan banyak orang. Perempuan dengan dress hitam motif ini masih menyesap es cokelatnya dengan tenang. Dia tidak terburu-buru untuk pergi dari cafe ini. Masih banyak waktu, dan ia ingin mengekplor kota New York. Ini masih terlalu siang, dan cuaca sangat panas. Irene mencari destinasi wisata atau tempat hits di sini dengan bermodalkan ponsel. Zaman semakin canggih, dan tranportasi umum di New York pun cukup memadai, sehingga cukup memudahkan Irene untuk tidak mati kebingungan di kota ini. Setelah membayar bill dan memberikan tips sebesar 20% dari harga yang dibayar kepada pelayan, Irene perlahan beranjak dari tempatnya. Berjalan sejauh 20 menit menuju New York Time Square. Tempat ini selalu ramai seperti yang ia lohat di televisi. Akan tetapi, keindahan tempat ini kurang memikat kala mentari masih menyinari. Mungkin, jika Irene pergi pada malam hari, suasananya akan berbeda. Orang-orang berjalan terlalu cepa
"Bagaimana, apakah ada yang mendaftar?" Mino pasti bercanda. Walau menggunakan namanya, dengan adanya data tertulis sebagai Sekretaris perusahaan Next In, sudah tentu banyak wanita yang berbaris menginginkan. Mau bagaimanapun juga perusahaan Next In juga bisa menjadi daya tarik bagi mereka yang ingin mencari pasangan. Memijat pangkal hidungnya, Albert sungguh tidak tahu harus bagaimana dia menyortir 100 berkas yang masuk ke dalam email. "Ada seratus berkas yang masuk. Kau pilihㅡ""Sortir terlebih dahulu. Aku tidak mungkin membaca semuanya," potong Mino. Dia kembali menyibukan dengan dokumen kantornya. Albert memberikan tatapan kau pikir aku memiliki waktu untuk menyortir berkas ini? Tetapi, dia tahu watak atasannya ini. Sehingga dia hanya menghela napas dan kembali ke ruangannya tanpa mengatakan sepatah katapun. Dia melihat setiap profile wanita yang 'mendaftar' untuk menjadi 'calon istri'nya. Dari 100 orang, hanya beberapa orang yang menarik perhatian Albert. Itupun, 6-8 poin y
Sebenarnya mencari kebenaran sama dengan mencari kematian. Diantara kedua hal tersebut, tidak ada yang memberikanmu sedikit rasa sakit. Kematian selalu dibenci karena kebanyaka manusia tidak ingin berjumpa dengan nya. Sementara kebenaran selalu dihindari karena akan membuat terluka banyak pihak; entah apakah sebuah kebenaran untuk hal baik, ataukan kebenaran yang sesungguhnya, tidak ada yang tidak memberikan luka. Hidup bersama single parent, Irene tidak pernah sekalipun meragukan alasan ibunya untuk pergi. Akan tetapi, entah apakah memang suratan takdir yang berkata, saat pertama kali kedatangannya ke sini, ia sudah disuguhkan dengan beberapa jejak kecil. Lalu, beberapa saat setelahnya, dia menjadi dokter pribadi sementara menggantikan dokter Hans ke rumah keluarga Levebvè. Belum lagi dengan ekspresi dari keluarga itu yang semakin menaruh rasa curiga. Apakah ini yang dinamakan sebaik apapun bangkai ditutupi, baunya akan tercium juga? Entahlah. Semua terasa samar bagi Irene. Selama
Mino sedang mengunjungi salah satu departement store yang berada dibawah kukungan Next In. Albert berdiri tepat di belakang seraya mendorong kursi roda. Kepemimpinan ayahnya benar-benar membuktikan bahwa Next In mampu merambah ke berbagai industri. Sehingga, kini ia yang kewalahan sendiri. Terkadang, dia harus lembur di kantor tanpa pulang ke rumah. Berjalan bersama sepuluh manager departement store disekelilingnya, Mino mendengarkan secara perlahan apa yang berusaha mereka sampaikan. Dia bahkan tidak mampu melihat di mana lokasi Albert berdiri sekarang. Biasanya pria itu selalu berada di sampingnya, kini terdesak ke belakang mereka. Beberapa di antara mereka bahkan mencoba mendorong kursi roda Mino dengan tujuan mendapatkan 'perhatian' khusus dari pemimpin mereka. Mereka juga mengelilingi D's Department Store. Sesekali para manager itu menunjuk tangan mereka. Mino hanya mangut-mangut seraya berusaha mencerna apa yang coba kesepuluh manager ini sampaikan. Sebab, dalam seni berbahasa
Jika Cheval Blanc merupakan wine terbaik yang pernah Mino cicipi hingga menjadi addictive, maka tidak salah bagi Mino memuji bahwa wajah perempuan di hadapannya ini sangat cantikㅡbegitu jelita hingga ketitik di mana Mino begitu kencanduan bak morfin; tak ada henti-hentinya ia memandangi wajah tersebut hingga membuat sang empunya tersipu karenanya. Wajah Irene yang merona nyatanya semakin membuat Mino tidak bisa melepas tatapan matanya. Baru kemudian Mino menyesali penampilannya kali ini. Jika dia tahu bahwa Irene adalah gadis baik dan penuh dengan wibawa, dia jelas akan melepas piercing nya dan datang dengan penampilan yang lebih menarik. "Tㅡtolong jangan menaㅡmenatap ku seperti itu, Albert." Mino tersenyum kecil. Mungkin karena ketidak hati-hatian Mino pada sekitar, dia tidak sengaja menyenggol gelas yang berada di dekatnya. Membuat isi di dalam gelas tersebut berceceran ke meja dan jatuh ke lantai. Ekspresi Mino yang terkejut tanpa sadar menjadi sebuah daya tarik bagi Irene. Per
"Terima kasih telah mengantarkan aku kembali, Albert." Mino menatap apartemen di depannya, dan Irene secara bergantian. Memberikan senyuman, "Itu adalah hal yang harus diperlukan. No worries, baby."Irene dan Mino sama-sama terkejut mendengar ucapan diakhir kalimat. Mino merutuki mulutnya yang tidak bisa di rem tepat waktu, sementara Irene yang awalnya terkejut perlahan mampu mengendalikan ekspresinya. Gadis itu memberanikan diri untuk berjalan mendekat. Berdiri tepat di hadapan Mino, dan berjinjit. Sebelum, memberikan sebuah kecupan manis pada pipi sisi kanan. "Terima kasih untuk hari ini," ucap Irene. Nadanya sangat cepat seolah tidak ingin Mino mendengarkan kalimatnya sebelum, berlari masuk ke dalam apartement. Meninggalkan Mino di belakang yang terpaku. Mata Mino hanya terpaku pada punggung Irene yang kian menghilang, dia sejatinya hanya memandang kosongㅡotak dan tubuhnya seolah membeku ketika bibir dingin Irene menyentuh kulit pipi bagian kanan. Kinerja tubuhnya memang patut d
Hari ini kegiatan Irene di rumah sakit sangat melelahkan. Entah mengapa hari ini banyak sekali pasien yang datang ke rumah sakit daripada hari biasa. Perempuan dengan seragam rumah sakit dan jas putih ini berlarian dari satu bangsal ke bangsal lain. Seperti biasa, jam istirahat Irene selalu mampir ke ruangan dokter Hans. Istri dokter Hans selalu mengingatkan Irene untuk datang berkunjung dan makan siang bersama. Sehingga, perempuan itu mau tidak mau harus mengikuti saran nyonya Hans. "Akhirnya kau datang." Irene memberikan senyuman terbaiknya. "Selamat siang dokter Hans, bagaimana dengan anak koas hari ini?" "Melelahkan," sahut pria paruh baya itu. Memijat keningnya dan menghela napas, "Mereka cukup merepotkan karena masih pemula." "Benar. Namun, jika dipoles sedikit lagi, mereka bisa menjadi berlian." Dokter Hans mengangkat bahu, "Itu kembali pada pribadi masing-masing peserta." Dokter Hans membantu Irene membuka bekal yang diberikan dari istrinya, dan perlahan mulai menyantap
Albert membawa Mino ke rumah sakit terdekat. Dia dan Irene sedang menunggu di ruang tunggu Unit Gawat Darurat. Sesekali ia melirik Irene yang tampak menggila. Bukankah itu hanya akting sakit yang payah? Tapi tampaknya Irene tidak berpikir demikian. Mereka seharusnya bisa langsung masuk, tapi tampaknya Mino punya pemikirannya sendiri sehingga meminta agar Albert dan Irene tidak perlu menemani di dalam. Sehingga, mereka berdua mau tidak mau menunggu di luar. Albert mendekati Irene, "Hey, tak perlu cemㅡ" dia menatap datar pada sosok perempuan yang kini tengah menjedotkan keningnya ke tembok rumah sakit beberapa kali. "Are you alright? Mino tidak separah itu, dia sedang dalam masa penyembuhan dan seharusnya ituㅡ""Bodoh, bodoh, bodoh! Aku seorang dokter kenapa aku harus membawa Mino sampai pergi ke rumah sakit." Gumaman itu terdengar oleh Albert, dan pria itu mau tidak mau terbahak. "Hey, kau bukan dewaㅡada spesialisasi ortopedi." Yang berarti, Mino akan baik-baik saja bahkan tanpa 'bant