LOGINSagara melangkah masuk sebelum dipersilahkan. Tatapannya bergerak menyapu ruangan—apartemen sederhana satu kamar, dengan dapur kecil menyatu dengan ruang tamu. Jauh dari kata mewah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya sendiri.
Sementara itu, di sofa, Sagara hanya diam—tapi matanya tidak pernah lepas dari punggung Kanaya. Ada sesuatu dalam tatapannya... sesuatu yang bukan sekadar rasa iba.
Sesuatu yang bahkan Kanaya sendiri belum menyadarinya.
Kanaya berdiri beberapa detik di dapur, menatap dua gelas bening yang kini ada di tangannya. Jemarinya bahkan sedikit bergetar.
Dari sudut mata, dia melirik ke arah Sagara—pria itu sedang sibuk membuka segel botol alkohol, ekspresinya tetap datar dan rapi seperti biasa.
Dengan tarikan napas panjang, Kanaya kembali melangkah ke ruang tengah. Dua gelas itu ia letakkan di meja, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisi Sagara. Jarak mereka begitu dekat, tapi justru kesunyian yang menggantung terasa jauh lebih menyiksa.
“Bapak gak perlu kayak gini, Pak. Saya bisa kok nangis sendirian...” ucap Kanaya akhirnya, suaranya serak karena terlalu banyak menangis.
Sagara tidak langsung menoleh. Nadanya tetap datar, khas seorang laki-laki yang sudah terlalu sering menghadapi drama perusahaan sehingga tidak pernah terlihat goyah.
“Saya hanya tidak mau mendengar kabar sekretaris saya bunuh diri karena putus cinta.”
Kanaya mendengus kecil. “Siapa yang mau bunuh diri sih, Pak... sekalian aja di kantor bapak.”
“Biar saya gentayangin bapak sekalian.”
Sagara tidak membantah. Dia hanya mengambil botol yang baru dibuka itu, menuangkan cairan bening ke salah satu gelas sebelum menyerahkannya pada Kanaya.
Matanya memandangi isinya sejenak, lalu—tanpa berpikir panjang—meneguk habis dalam satu kali dorong.
“Bapak tahu gak?” suara Kanaya pecah ketika ia meletakkan gelas itu kembali.
Sagara bergumam pelan sebagai reaksi, lalu otomatis mengisi ulang gelasnya. Kanaya meminumnya lagi, lebih cepat, lebih putus asa. Air mata yang tadi sempat berhenti kembali mengalir. Tanpa diminta, Sagara menuangkan gelas ketiga.
Dan Kanaya meminumnya lagi. Kali ini tangan yang memegang gelas sudah tidak stabil. Sagara mengamati perubahan Kanaya—matanya mulai sayu, pipinya memerah, bahunya goyah. Alkohol sudah mulai mempengaruhi.
Kanaya meletakkan gelas ketiganya, lalu memiringkan tubuh untuk menatap Sagara. Dalam satu gerakan mendadak, dia meraih kerah kemeja pria itu dan menariknya mendekat.
Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa inci.
“Saya kurang apa, Pak? Coba Bapak bilang ke saya...” desis Kanaya, matanya berkaca-kaca tapi tatapannya menusuk.
Sagara tidak mundur. Ia hanya menghela napas panjang, kali ini sedikit lebih dalam dari biasanya.
“Kamu gak kekurangan apapun.”
Mata Kanaya menyipit—setengah fokus, setengah berputar karena alkohol.
“Bohong...” tuduhnya.
“Bapak pasti bohong, kan? Bapak aja kelihatan gak suka sama saya. Kalian pasti satu selera.”
Sagara menaikkan alis sedikit, bukan marah—hanya seperti sedang mengukur betapa mabuknya gadis itu.
“Ya. Kita memang satu selera,” jawabnya pelan. “Apalagi dalam memilih perempuan.”
Kanaya langsung terbelalak. Dia mendorong Sagara secara refleks, membuat pria itu sedikit terdorong ke sandaran sofa.
Kanaya bangkit berdiri, kini tepat di depan Sagara, tubuhnya limbung namun matanya penuh emosi bercampur amarah.
“Jadi... Bapak juga suka sama Sonia?” tuntut Kanaya, napasnya memburu, wajahnya merah karena alkohol dan luka yang membusuk di dalam dada.
Kanaya mulai melucuti pakaiannya, menyisakan pakaian dalam nya saja. Tubuh indahnya, setiap lekukannya terpampang jelas di hadapan Sagara.
“Kalau gini— masih bagusan Sonia, ya?” tanya Kanaya berdiri dengan sedikit sempoyongan.
Sagara masih duduk dan mendongak menatap wajah Kanaya. “Kenapa kamu membandingkan diri kamu sama sonia?” Tanya Sagara.
“Buktinya, Gavin sama bapak suka kan sama Sonia, bapak bilang kalian punya selera yang sama.” Ucap Kanaya.
Sagara terkekeh. Matanya dialihkan ke tempat lain seraya menyeruput satu tegukan.
Kanaya mengunci pandangannya ke arah Sagara. Dengan keberanian yang diberikan oleh alkohol yang masuk ke tubuhnya. “Kata Gavin, saya gak bisa disentuh.”
Kanaya duduk dipangkuan Sagara. Lelaki itu otomatis memegang pinggang Kanaya. “Memangnya aku sebaik itu?”
“Kamu mabuk, Naya...” Ucap Sagara.
“Saya– saya udah gamau lagi jadi anak baik.”
Ia kemudian meraba bagian dadanya sesaat kemeja atas Sagara dilepas satu per satu. “Coba pak. Menurut bapak, saya gak menarik juga, ya?”
“Tapi bapak keras pak...” imbuhnya saat pergelangan tangannya turun ke bawah.
“Saya lihat kamu jalan seperti menahan sakit. Kemungkinan saya lupa kalau saya terlalu keras tadi malam.”“Paaak!!!” seru Kanaya spontan, wajahnya langsung merah padam. Ia tahu persis arah pembicaraan Sagara. Ia ingat baik-baik apa yang terjadi malam itu—dan nyeri yang masih terasa pagi tadi. “Saya... permisi dulu, Pak. Terima kasih obatnya.” ucap Kanaya terbata-bata, buru-buru menunduk sopan lalu kabur keluar dari ruangan seperti dikejar. Begitu pintu tertutup, Sagara menyandarkan tubuhnya sambil tersenyum kecil. “Lucu sekali kalau kamu sedang salah tingkah seperti itu, Naya...” gumamnya sambil mengibas pelan berkas di tangannya. Sementara itu, di luar ruangan, Kanaya menatap plastik obat di tangannya sambil menggerutu pelan. “Astaga, bisa-bisanya dia bahas masalah itu... bikin tambah malu aja...” omelnya sambil berjalan cepat kembali ke kubikelnya, wajahnya masih panas karena malu sendiri. ••• Setelah seharian merasa gagal total menjalankan misi menghindari Sagara, akhirnya
Dalam perjalanan menuju kantor, bukan rasa tenang yang ia dapatkan. Justru jantungnya berdegup semakin keras. Setiap lampu merah terasa seperti jeda yang memaksa pikirannya kembali menayangkan kejadian semalam—dan setiap kali itu terjadi, perutnya terasa mual.“Please... jangan sampai ketemu dia dulu,” desahnya, menggigit bibir bawahnya.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Kanaya akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran gedung G Holding—perusahaan milik Sagara tempat ia bekerja.Begitu keluar dari mobil, ia langsung berjalan cepat menuju lift, berharap bisa segera naik tanpa bertemu siapapun.Saat pintu lift karyawan hampir menutup, ia berlari kecil, namun tetap terlambat. Lift itu menutup dan naik, meninggalkan Kanaya sendirian di depan lorong.“Sial...” bisiknya, menarik napas panjang.Tak ada pilihan selain menunggu lift berikutnya.Langkah kaki terdengar dari arah lobi belakang yang terhubung ke basement. Kanaya merasakan bulu kuduknya berdiri bahkan sebelum ia
Kanaya terbangun dengan kepala berat—seolah ada barbel satu kilogram yang dijatuhkan tepat di atas tengkoraknya. Kelopak matanya terasa lengket, tubuhnya nyeri dari ujung kaki sampai bahu, seperti habis dilindas semalam.“Ah… sakit...” gumamnya, suara serak.Refleks ia melirik ke sisi kanan tempat tidur. Sagara tidak ada. Yang tertinggal hanyalah sprei berantakan dan noda samar darah yang mengering, saksi bisu betapa kacau dan intensnya malam mereka.Kanaya menutup wajah dengan kedua tangan.“Okay, Naya... sekarang kamu dalam masalah besar...” gumamnya pada diri sendiri, napasnya menggantung.Ia memejamkan mata, mengingat potongan-potongan malam yang serba kabur.“Kamu bukan cuma tidur sama sahabat tunangan kamu...tapi dia juga atasan kamu di kantor...” lanjutnya lirih, seakan mengulang dosa.Ia meraih kertas itu.[Dimakan sarapannya. Kamu bisa libur hari ini, tidak perlu ke kantor. Besok saya tunggu di kantor.]Kanaya memejamkan mata lebih lama. Tangannya meremas kertas itu sampai ku
Kanaya mengecup bibir Sagara terlebih dahulu. Ciumannya terasa sedikit terburu-buru—entah karena alkohol yang masih menghangat di tenggorokannya.Semula pria itu tak menjawab sahutan bibirnya.Ia membeku keras.Namun saat tangan Kanaya jatuh ke bagian tengkuk dan deru nafas di bagian telinga. Ia mulai mengaduh.“Saya masih gak menarik juga, Pak?”Lalu saat tangannya turun menuntun resleting celana bahannya turun. Desahannya lolos.“Kamu tidak boleh menyesalinya besok pagi.” ucap Sagara membalas bibirnya.Lelaki itu membalas ciuman itu dengan cara yang membuat lutut Kanaya lemas. Ada ketertarikan lama yang akhirnya menemukan celah untuk keluar, seperti oasis yang terasa tiba-tiba muncul di tengah gurun pasir. Setiap gerakan bibirnya seakan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak pernah ia ucapkan. Tanpa memutus tautan bibir mereka, Sagara bergerak. Tangannya melingkari pinggang Kanaya, lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan mudah.Kanaya spontan melingkarkan kakinya di pinggang Sa
Sagara melangkah masuk sebelum dipersilahkan. Tatapannya bergerak menyapu ruangan—apartemen sederhana satu kamar, dengan dapur kecil menyatu dengan ruang tamu. Jauh dari kata mewah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya sendiri.Sementara itu, di sofa, Sagara hanya diam—tapi matanya tidak pernah lepas dari punggung Kanaya. Ada sesuatu dalam tatapannya... sesuatu yang bukan sekadar rasa iba.Sesuatu yang bahkan Kanaya sendiri belum menyadarinya.Kanaya berdiri beberapa detik di dapur, menatap dua gelas bening yang kini ada di tangannya. Jemarinya bahkan sedikit bergetar. Dari sudut mata, dia melirik ke arah Sagara—pria itu sedang sibuk membuka segel botol alkohol, ekspresinya tetap datar dan rapi seperti biasa. Dengan tarikan napas panjang, Kanaya kembali melangkah ke ruang tengah. Dua gelas itu ia letakkan di meja, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisi Sagara. Jarak mereka begitu dekat, tapi justru kesunyian yang menggantung terasa jauh lebih menyiksa.
Derap langkah Kanaya Paramitha terdengar keras saat ia melangkah keluar dari lift, menuju unit apartemen milik tunangannya selama empat tahun, Gavin Bagaskara.Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan tulisan 7th Anniversary Naya–Gavin yang sudah ia pesan khusus sejak seminggu lalu.Tiga tahun berpacaran, empat tahun bertunangan.Tujuh tahun total bersama.Dan selama itu, Kanaya tetap setia—meski Gavin tak pernah benar-benar memberi kepastian kapan mereka akan mengesahkan pernikahan mereka.Ia tetap bertahan, tetap berharap, tetap percaya bahwa laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat.Kanaya berhenti tepat di depan pintu unit Gavin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.Setelah memasukkan PIN– pintu terbuka perlahan.“Vin...” panggil Kanaya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke dalam ruangan yang remang.Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.Kanaya menatap jam di pergelangan tangannya. “Jam dela



![Memantai [Tamat]](https://acfs1.goodnovel.com/dist/src/assets/images/book/43949cad-default_cover.png)



