LOGIN
Derap langkah Kanaya Paramitha terdengar keras saat ia melangkah keluar dari lift, menuju unit apartemen milik tunangannya selama empat tahun, Gavin Bagaskara.
Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan tulisan 7th Anniversary Naya–Gavin yang sudah ia pesan khusus sejak seminggu lalu.
Tiga tahun berpacaran, empat tahun bertunangan.
Tujuh tahun total bersama.
Dan selama itu, Kanaya tetap setia—meski Gavin tak pernah benar-benar memberi kepastian kapan mereka akan mengesahkan pernikahan mereka.
Ia tetap bertahan, tetap berharap, tetap percaya bahwa laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat.
Kanaya berhenti tepat di depan pintu unit Gavin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.
Setelah memasukkan PIN– pintu terbuka perlahan.
“Vin...” panggil Kanaya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke dalam ruangan yang remang.
Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.
Kanaya menatap jam di pergelangan tangannya. “Jam delapan. Harusnya dia udah di apartemen, kan?” gumamnya lagi.
Ia meletakkan cake itu di meja makan—lalu baru sadar.
Satu botol wine kosong berdiri di atas meja. Di sampingnya, dua gelas kristal, masing-masing terisi setengah.
Kening Kanaya berkerut.
Degup jantungnya mulai berubah ritme.
“Gak mungkin dia lupa anniversary kita...”
Ia melepaskan tas dan mantel, menaruhnya di kursi bar di sisi meja makan, lalu melangkah menuju tangga yang mengarah ke lantai dua—kamar Gavin ada di sana.
Setiap langkah terasa berat, seperti tubuhnya tahu sesuatu yang buruk menunggunya di atas.
Saat tiba di lantai dua, Kanaya langsung berhenti.
Sebuah heels hitam berujung runcing tergeletak tepat di depan pintu kamar Gavin.
Bukan miliknya. Sama sekali bukan.
Hawanya langsung berubah. Tubuhnya menegang.
Perasaan tidak enak menelusup naik dari perut ke dadanya, mencengkram lebih kuat setiap detik.
Dan saat ia semakin mendekat ke pintu kamar... Suara itu terdengar.
“Gavin...... ahh... Gavin...”
Kanaya terpaku.
Darahnya seolah berhenti mengalir.
Diikuti suara berat pria yang sangat ia kenal. “Sayang… you are so good.”
Kanaya menggigit bibir bawahnya, tubuhnya bergetar hebat. Hatinya seketika seperti diremas dari dalam, hancur tanpa ampun.
Kemudian suara perempuan itu terdengar jelas. “Enak mana sama Kanaya, hah?”
Nada suaranya penuh tantangan.
Lalu suara Gavin membalas, terengah. “Dia gabisa disentuh… arghh...”
Air mata Kanaya jatuh begitu saja. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan agar isakannya tidak terdengar.
Namun tubuhnya terus gemetar.
Dengan sisa tenaga yang nyaris habis, tangannya meraih gagang pintu kamar. Ia membuka perlahan—meski separuh dirinya memohon untuk jangan melakukannya.
Pintu terbuka.
Dan dunia Kanaya runtuh dalam sekejap.
“Vin...” panggilnya pelan, suaranya pecah dan lemah, namun cukup untuk membuat Gavin menoleh.
Pria itu membeku.
Wanita di bawah tubuh Gavin juga ikut menoleh.
Kanaya menatapnya tidak percaya. Napasnya tercekat.
“So... Sonia?” katanya hampir tanpa suara.
Brak.
Tubuh Kanaya lemas, jatuh terduduk di lantai.
Seluruh tenaganya seperti tersedot keluar dari raga. Matanya menatap kosong adegan di depan, mencoba memproses kenyataan bahwa laki-laki yang ia cintai tujuh tahun... sedang di atas tubuh Sonia—yang selama ini ia anggap sebagai teman.
Semuanya runtuh.
Dalam satu kedipan.
Perlahan, Kanaya berdiri dengan menopang tubuhnya pada dinding dan kusen pintu. Lututnya lemah, seperti tidak sanggup menahan seluruh beban yang jatuh menimpa dirinya dalam hitungan detik.
“Sa—sayang... aku nggak sengaja. Kita mabuk... aku—”
“Pertanyaannya bukan itu. Pertanyaannya kenapa. Kenapa kamu ngelakuin ini sama aku? Setelah semua yang kita lewati bareng?”
Gavin membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
Kanaya mengalihkan pandangannya ke Sonia, yang kini duduk di ranjang dengan tubuh ditutupi selimut, wajahnya tegang dan ketakutan.
“Dan kamu...” Kanaya menatapnya tajam.
Kanaya langsung mundur selangkah, menghindari sentuhan Gavin yang akan maju.
Tidak ada lagi keraguan di matanya—hanya luka yang terlalu dalam. “Jangan pernah temuin aku lagi.”
Sebelum keluar, Kanaya mengambil cake itu—lalu melemparkannya ke lantai.
Kotaknya hancur. Krim berceceran. Tulisan indahnya kini melebur bersama serpihan hatinya yang baru saja pecah.
Tanpa menoleh lagi, Kanaya melangkah menuju pintu keluar.
**
Kanaya masih meringkuk di atas sofa, tubuhnya melipat seperti ingin melindungi diri sendiri. Sejak kembali dari apartemen Gavin, ia tidak bergerak banyak.
Hanya menangis—dan menangis lagi. Entah sudah berapa banyak air mata mengalir, tapi cukup untuk membuat bantal sofa itu basah total.
Tubuhnya bergetar halus. Matanya sembap, hidung merah, rambutnya berantakan.
Tapi rasa sakit di dadanya jauh lebih buruk daripada seberapa buruk ia terlihat. Seberapa enak dirinya? Dijawab angkuh dengan dirinya yang tidak bisa disentuh.
Gila.
Bel apartemen berbunyi.
Sekali. Lalu dua kali. Lalu berulang-ulang tanpa ampun. Kanaya mengerang frustasi.
“Sialan!!! Siapa sih! Aku lagi sedih!”
Dengan kesal ia bangkit, menyeka air matanya dengan gerakan kasar, lalu berjalan ke arah pintu dengan langkah cepat dan berat.
Ia membuka pintunya dengan kasar.
“BRENGSEK!!! Siapa—”
Ucapannya terputus.
Di depan pintu berdiri seorang pria berjas rapi, dengan ekspresi datar.
“Pak Sagara?” Kanaya terbelalak. “Ngapain Bapak ke apartemen saya? Ini bukan jam kantor, dan Bapak nggak bisa kasih saya kerjaan tambahan mendadak kayak gini.”
“Bapak juga kenapa bisa di apart saya?”
Sagara menatapnya sebentar—menatap mata sembapnya, wajah kacau balau, dan napasnya yang tersengal. Lalu ia menghela napas pelan.
“Gavin nyuruh saya ke sini,” jawabnya singkat.
Ah, iya juga. Laki-laki itu bersahabatan dengan atasannya.
Mata Kanaya langsung berkaca lagi, kini dengan amarah.
“Buat apa dia nyuruh Bapak? Gak usah belain temennya, Pak! Saya gak mau diganggu!”
Sagara mengangkat kedua tangan sedikit, menunjukkan dua botol minuman beralkohol yang ia bawa.
Kanaya terdiam beberapa detik. Menatap botol itu, lalu menatap Sagara—atasannya yang angkuh itu.
Namun di malam ini, ia berdiri di depan pintunya, membawa dua botol minuman, hanya untuk memastikan dia tidak sendirian.
“Saya lihat kamu jalan seperti menahan sakit. Kemungkinan saya lupa kalau saya terlalu keras tadi malam.”“Paaak!!!” seru Kanaya spontan, wajahnya langsung merah padam. Ia tahu persis arah pembicaraan Sagara. Ia ingat baik-baik apa yang terjadi malam itu—dan nyeri yang masih terasa pagi tadi. “Saya... permisi dulu, Pak. Terima kasih obatnya.” ucap Kanaya terbata-bata, buru-buru menunduk sopan lalu kabur keluar dari ruangan seperti dikejar. Begitu pintu tertutup, Sagara menyandarkan tubuhnya sambil tersenyum kecil. “Lucu sekali kalau kamu sedang salah tingkah seperti itu, Naya...” gumamnya sambil mengibas pelan berkas di tangannya. Sementara itu, di luar ruangan, Kanaya menatap plastik obat di tangannya sambil menggerutu pelan. “Astaga, bisa-bisanya dia bahas masalah itu... bikin tambah malu aja...” omelnya sambil berjalan cepat kembali ke kubikelnya, wajahnya masih panas karena malu sendiri. ••• Setelah seharian merasa gagal total menjalankan misi menghindari Sagara, akhirnya
Dalam perjalanan menuju kantor, bukan rasa tenang yang ia dapatkan. Justru jantungnya berdegup semakin keras. Setiap lampu merah terasa seperti jeda yang memaksa pikirannya kembali menayangkan kejadian semalam—dan setiap kali itu terjadi, perutnya terasa mual.“Please... jangan sampai ketemu dia dulu,” desahnya, menggigit bibir bawahnya.Setelah menempuh perjalanan sekitar tiga puluh menit, Kanaya akhirnya memarkirkan mobilnya di parkiran gedung G Holding—perusahaan milik Sagara tempat ia bekerja.Begitu keluar dari mobil, ia langsung berjalan cepat menuju lift, berharap bisa segera naik tanpa bertemu siapapun.Saat pintu lift karyawan hampir menutup, ia berlari kecil, namun tetap terlambat. Lift itu menutup dan naik, meninggalkan Kanaya sendirian di depan lorong.“Sial...” bisiknya, menarik napas panjang.Tak ada pilihan selain menunggu lift berikutnya.Langkah kaki terdengar dari arah lobi belakang yang terhubung ke basement. Kanaya merasakan bulu kuduknya berdiri bahkan sebelum ia
Kanaya terbangun dengan kepala berat—seolah ada barbel satu kilogram yang dijatuhkan tepat di atas tengkoraknya. Kelopak matanya terasa lengket, tubuhnya nyeri dari ujung kaki sampai bahu, seperti habis dilindas semalam.“Ah… sakit...” gumamnya, suara serak.Refleks ia melirik ke sisi kanan tempat tidur. Sagara tidak ada. Yang tertinggal hanyalah sprei berantakan dan noda samar darah yang mengering, saksi bisu betapa kacau dan intensnya malam mereka.Kanaya menutup wajah dengan kedua tangan.“Okay, Naya... sekarang kamu dalam masalah besar...” gumamnya pada diri sendiri, napasnya menggantung.Ia memejamkan mata, mengingat potongan-potongan malam yang serba kabur.“Kamu bukan cuma tidur sama sahabat tunangan kamu...tapi dia juga atasan kamu di kantor...” lanjutnya lirih, seakan mengulang dosa.Ia meraih kertas itu.[Dimakan sarapannya. Kamu bisa libur hari ini, tidak perlu ke kantor. Besok saya tunggu di kantor.]Kanaya memejamkan mata lebih lama. Tangannya meremas kertas itu sampai ku
Kanaya mengecup bibir Sagara terlebih dahulu. Ciumannya terasa sedikit terburu-buru—entah karena alkohol yang masih menghangat di tenggorokannya.Semula pria itu tak menjawab sahutan bibirnya.Ia membeku keras.Namun saat tangan Kanaya jatuh ke bagian tengkuk dan deru nafas di bagian telinga. Ia mulai mengaduh.“Saya masih gak menarik juga, Pak?”Lalu saat tangannya turun menuntun resleting celana bahannya turun. Desahannya lolos.“Kamu tidak boleh menyesalinya besok pagi.” ucap Sagara membalas bibirnya.Lelaki itu membalas ciuman itu dengan cara yang membuat lutut Kanaya lemas. Ada ketertarikan lama yang akhirnya menemukan celah untuk keluar, seperti oasis yang terasa tiba-tiba muncul di tengah gurun pasir. Setiap gerakan bibirnya seakan mengungkapkan hal-hal yang selama ini tidak pernah ia ucapkan. Tanpa memutus tautan bibir mereka, Sagara bergerak. Tangannya melingkari pinggang Kanaya, lalu mengangkat tubuh gadis itu dengan mudah.Kanaya spontan melingkarkan kakinya di pinggang Sa
Sagara melangkah masuk sebelum dipersilahkan. Tatapannya bergerak menyapu ruangan—apartemen sederhana satu kamar, dengan dapur kecil menyatu dengan ruang tamu. Jauh dari kata mewah jika dibandingkan dengan tempat tinggalnya sendiri.Sementara itu, di sofa, Sagara hanya diam—tapi matanya tidak pernah lepas dari punggung Kanaya. Ada sesuatu dalam tatapannya... sesuatu yang bukan sekadar rasa iba.Sesuatu yang bahkan Kanaya sendiri belum menyadarinya.Kanaya berdiri beberapa detik di dapur, menatap dua gelas bening yang kini ada di tangannya. Jemarinya bahkan sedikit bergetar. Dari sudut mata, dia melirik ke arah Sagara—pria itu sedang sibuk membuka segel botol alkohol, ekspresinya tetap datar dan rapi seperti biasa. Dengan tarikan napas panjang, Kanaya kembali melangkah ke ruang tengah. Dua gelas itu ia letakkan di meja, sebelum akhirnya ia menjatuhkan tubuhnya di sofa, tepat di sisi Sagara. Jarak mereka begitu dekat, tapi justru kesunyian yang menggantung terasa jauh lebih menyiksa.
Derap langkah Kanaya Paramitha terdengar keras saat ia melangkah keluar dari lift, menuju unit apartemen milik tunangannya selama empat tahun, Gavin Bagaskara.Di tangannya, ia membawa sebuah kotak cake dengan tulisan 7th Anniversary Naya–Gavin yang sudah ia pesan khusus sejak seminggu lalu.Tiga tahun berpacaran, empat tahun bertunangan.Tujuh tahun total bersama.Dan selama itu, Kanaya tetap setia—meski Gavin tak pernah benar-benar memberi kepastian kapan mereka akan mengesahkan pernikahan mereka.Ia tetap bertahan, tetap berharap, tetap percaya bahwa laki-laki itu hanya menunggu waktu yang tepat.Kanaya berhenti tepat di depan pintu unit Gavin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih cepat dari biasanya.Setelah memasukkan PIN– pintu terbuka perlahan.“Vin...” panggil Kanaya sembari mencondongkan tubuh sedikit ke dalam ruangan yang remang.Apartemen itu sunyi. Terlalu sunyi.Kanaya menatap jam di pergelangan tangannya. “Jam dela