Share

Bab 2

Author: Galaxy
Itu adalah ucapan ayah Yohan padaku di hari pernikahan kami.

Waktu itu, Yohan masih muda dan gampang tersulut emosi. Begitu mendengar ucapan itu, dia langsung membanting mikrofon di tempat.

Dia bilang aku adalah istrinya yang dia pilih sendiri. Siapa pun tidak ada yang boleh menjelek-jelekkan aku.

Benar saja, ayah dan anak itu memang sama persis.

Anakku melemparkan mainan di tangannya ke arahku.

"Kamu tuh perempuan jahat! Cepat minta maaf sama Ayah!"

Ujung tajam mainan itu melukai pipiku. Aku refleks menyentuh luka itu. Rasanya perih dan getir di hati.

Inilah anak yang kukandung sembilan bulan dan kulahirkan sendiri. Seorang anak yang tak tahu berterima kasih.

Tujuh tahun kasih sayang dariku tidak sebanding dengan satu tahun rayuan manis Chika.

Melihatku diam saja, anak itu malah makin senang dan mengejek.

"Kamu nggak marah? Pantas saja, kamu cuma perempuan tua yang bisanya nyedot uang Ayah!"

"Kalau kamu tahu diri, cepat cerai sama Ayah. Rumah kita nggak butuh pembantu kayak kamu!"

Setelah berkata begitu, dia meloncat-loncat gembira kembali ke kamarnya.

Sebelum menutup pintu, dia masih sempat berjinjit menggantungkan papan kecil.

[Sania dan anjing sejenisnya dilarang masuk.]

Aku menyeka air mata yang keluar sambil tertawa getir, lalu kembali ke kamarku sendiri.

Sebuah gudang kecil di sebelah dapur.

Ruangan sempit tidak sampai sepuluh meter persegi, hanya ada satu ranjang tunggal yang sederhana.

Tempat yang bahkan pembantu pun nggak mau tinggali. Tapi, setahun terakhir ini justru jadi satu-satunya kamar di mana aku merasa bebas.

Setelah menyimpan gelang yang ke-17 dengan rapi, aku mengambil surat cerai dari dalam laci.

Itu surat cerai ke-99 yang pernah Yohan lemparkan padaku.

Tujuh tahun menikah, Yohan selalu melemparkan surat cerai setiap kali kami bertengkar.

Dia tahu aku haus kasih sayang, jadi dia yakin aku nggak akan pernah meninggalkannya.

Surat cerai itu jadi alat baginya untuk terus mengancamku.

Tapi, kali ini aku benar-benar berniat menandatanganinya.

Suami, anak, dan rumah yang menyedihkan ini.

Aku sudah tidak menginginkannya lagi.

...

Keesokan paginya, aku terbangun karena suara ketukan pintu yang keras.

"Bangun! Cepat buatin aku sarapan!"

Anakku memukul-mukul pintu gudang dengan mainannya sampai bergetar.

Dulu demi mengurus Yohan dan anak kami, aku selalu bangun jam lima pagi setiap hari.

Menyiapkan sarapan lezat untuk mereka.

Sekarang aku hanya berbaring di tempat tidur, berharap andai saja aku tuli.

Begitu membuka pintu, anakku berdiri di lantai tanpa alas kaki dengan wajah penuh amarah.

"Sarapan aku mana?!"

Aku menatapnya dingin, lalu menunjuk ke arah kulkas.

"Ambil sendiri, atau minta sama ayahmu, atau Tante Chika."

Anak itu terpaku sejenak. Ini pertama kalinya aku bicara padanya dengan nada sedingin itu.

Tapi, tidak lama kemudian ekspresinya berubah, seolah teringat sesuatu.

"Kamu 'kan pembantuku! Kalau kamu nggak nurut, aku bakal suruh ayah ceraikan kamu!"

"Cepat buatin aku sarapan! Kalau nggak, aku bakal jalan tanpa alas kaki seharian. Nanti kalau aku sakit, kamu harus jagain aku semalaman!"

Baru saat itu aku sadar kalau dia benar-benar berdiri di lantai tanpa alas kaki.

Anakku lahir prematur, sejak kecil tubuhnya lemah dan gampang sakit.

Jadi, aku selalu cemas setengah mati setiap kali kulihat dia bertelanjang kaki di lantai.

Biasanya aku langsung menyusul di belakangnya, menenangkan dan membujuknya supaya mau pakai sandal.

Saat aku menunduk membantunya, dia sering sengaja menginjak bajuku.

Sampai pakaianku penuh bekas tapak kakinya baru dia berhenti.

Mengingat itu, aku memalingkan pandangan dan berjalan melewatinya menuju kamar mandi.

Wajah anak itu memerah karena marah. Dia berteriak keras di belakangku, berusaha menarik perhatianku.

Namun, kali ini tidak ada lagi yang akan menenangkannya.

Setelah aku selesai cuci muka, Yohan muncul di depan pintu membawa sekantong barang.

Ekspresinya berubah begitu melihat Leon menangis.

"Sania, kamu tuh ibu macam apa? Nggak lihat anakmu lagi nangis?"
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 11

    Aku menunduk dan mengeluarkan beberapa lembar dokumen fotokopi dari dalam tas, lalu menyerahkannya padanya."Surat cerai ini pasti sudah kamu lihat. Rumah yang dulu kamu kasih juga, aku kembalikan sekarang."Gerakan Yohan terhenti, dia menatapku dengan tidak percaya."Sania, maksud kamu apa?""Aku sudah bilang, foto itu bukan...""Bukan apa?"Aku memotong ucapannya, wajahku datar tanpa ekspresi."Bukan kamu dan Leon diam-diam foto sama Chika di belakangku?""Dan bubur seafood itu, bukan kamu yang maksa aku buat habisin?""Yohan, kamu tahu nggak, waktu itu aku hampir nggak bisa diselamatin?"Bibir Yohan bergetar, suaranya serak."Aku nggak tahu alergimu separah itu."Aku tertawa getir, tapi perih di dada terasa makin dalam."Terus setelah antar aku ke rumah sakit, kamu ke mana?""Aku..."Aku menoleh ke jendela, menatap orang-orang yang lalu-lalang di luar. Suaraku tenang tanpa emosi."Kamu pergi nemuin Chika, ninggalin aku yang baru saja selamat dari maut.""Aku nggak bawa dompet, nggak

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 10

    "Tante beda, Tante bisa...""Bisa apa kamu?"Yohan turun dari lantai atas, tatapannya tajam dan dingin."Jawab. Kamu bisa apa?"Leon langsung berlari ke arah ayahnya dan bersembunyi di belakang tubuhnya.Otak Chika sempat kosong, lalu buru-buru menampilkan senyum manis di wajahnya."Yohan, aku cuma bercanda sama Leon kok. Kamu kenapa tiba-tiba muncul?"Wajah Yohan tetap dingin, matanya dipenuhi tatapan penuh selidik."Tapi, aku dengar kamu bilang ke Leon kalau kamu mau jadi ibu barunya."Ekspresi Chika menegang, lalu dia mencoba meraih lengan Yohan."Yohan, kamu kenapa sih?""Kamu tahu sendiri aku itu..."Yohan menepis tangannya dengan kasar, menahan amarah yang mulai memuncak."Selain itu kamu ngajarin Leon apa lagi? Ayo jawab!"Tubuh Chika bergetar."Nggak... nggak ada lagi..."Yohan menunduk, menatap anaknya dengan serius."Leon, kamu yang cerita."Walau masih kecil, Leon tahu suasananya sudah tidak benar.Dia mencengkeram celana ayahnya erat-erat dan berkata dengan cemas, "Tante Ch

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 9

    "Dia itu cuma vampir yang bisanya nempel di Ayah buat nyedot uang."Mobil tiba-tiba berhenti mendadak. Wajah Yohan menggelap saat menatap anaknya yang masih bicara tanpa henti.Siapa yang akan menyangka, anak tujuh tahun bisa mengucapkan kata-kata sekasar itu.Leon terdiam ketakutan.Yohan menarik napas panjang dan bertanya, "Siapa yang ajari kamu ngomong kayak gitu?"Dia masih ingat, dulu Leon adalah anak yang manis dan pengertian.Sekarang, bagaimana bisa berubah sejauh ini?Dia juga masih ingat, dulu Leon selalu memanggil istrinya dengan manja. Di mana pun selalu memanggil ibu dengan suara lembut.Entah sejak kapan, Leon mulai berubah jadi anak yang keras kepala.Bukan hanya sering merengek ingin punya ibu baru, juga terang-terangan menunjukkan kebenciannya ke ibunya.Dulu Yohan pikir Leon cuma bosan melihat ibunya yang sering bikin ribut seenaknya, lalu kesannya jadi buruk.Tapi, sekarang dia baru sadar. Dulu istrinya adalah orang paling lembut dan penuh kasih yang pernah dia kenal

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 8

    Yohan mengernyit, lalu bertanya dengan heran, "Bukannya di SD ada makan siang, ya?"Guru itu menjelaskan dengan hati-hati, "Begini, Leon dulu kondisinya agak lemah. Banyak makanan yang nggak bisa dia makan.""Waktu pendaftaran, ibu Leon sudah berdiskusi dengan kami. Jadi, Leon bawa bekal sendiri setiap hari.""Selama ini memang begitu, tapi hari ini..."Yohan mengangguk. Dia menatap rapat yang terhenti sementara, lalu tanpa berpikir panjang berkata, "Kalau begitu, telepon saja ibu Leon. Aku sedang sibuk sekarang."Guru itu terdiam sebentar, lalu akhirnya bicara pelan, "Kami sudah menelepon, tapi ibu Leon bilang kalian sudah bercerai. Urusan Leon sekarang sepenuhnya jadi tanggung jawab Bapak."Yohan terdiam sejenak, lalu bertanya dengan nada tidak percaya, "Dia benar-benar bilang begitu?"Sebelum guru itu sempat menjawab, Leon sudah menangis sambil berteriak, "Ayah, ibu nggak mau sama aku lagi! Ibu beneran nggak peduli sama aku lagi!"Yohan memejamkan mata. Baru kali ini dia benar-benar

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 7

    "Ada apa cari Om?"Anak kecil itu mengusap pipinya, lalu berkata dengan malu-malu, "Tadi malam Tante Sania ngasih aku mainan edisi terbatas. Kata ibuku, itu mahal sekali. Jadi aku harus ngucapin terima kasih langsung.""Tante Sania ada di rumah nggak, ya?"Dia berkedip polos sambil bertanya dengan wajah lugu.Senyum di wajah Yohan langsung menegang."Mainan yang dikasih semalam?"Anak itu mengangguk cepat."Ya, bungkusnya cantik banget. Tante Sania bilang mainan itu sebenarnya mau dikasih ke seseorang.""Tapi, orang yang mau dikasih itu kayaknya nggak suka, jadi dikasih ke aku saja.""Siapa bilang aku nggak suka!" Leon berteriak keras."Itu hadiah ulang tahun dari ibu buat aku! Kamu nggak boleh ambil!"Setelah berkata begitu, dia langsung menarik mainan itu dari tangan anak tetangga dan melemparkannya ke tanah."Ibuku nggak bakal suka bunga dari kamu!"Mata Yohan membesar, dia cepat-cepat menarik tangan Leon."Kamu ngapain!"Anak tetangga itu terkejut, bibirnya bergetar dan hampir mena

  • Saat Cerai Bukan Lagi Sekadar Kata   Bab 6

    Aku tidak perlu melihat, aku sudah tahu.Itu surat cerai ke-99 yang Yohan lemparkan padaku.Sebenarnya, isi surat ke-99 itu hampir sama dengan yang pertama.Satu-satunya perbedaan mungkin hanya tanggalnya.Tapi, kali ini berbeda.Bagian yang dulu selalu kosong untuk nama pengaju, sekarang sudah terisi nama.[Sania Sahid.]Brak!Pandangan Yohan berkunang, tubuhnya menabrak tong sampah.Leon terkejut. Dia segera memegang lengan baju Yohan untuk menahan.Aku menatapnya sekilas, lalu pergi sambil membawa koper.Leon ingin mengejarku, tapi tidak bisa melepaskan pegangan pada Yohan.Dia menangis ketakutan tanpa henti."Ayah, Ayah nggak apa-apa, 'kan?"Yohan baru sadar dari lamunan, tangannya yang memegang surat cerai itu sedikit gemetar."Nggak apa-apa."Leon menghela napas lega, kemudian teringat dokumen itu dan cepat bertanya lagi, "Ayah, surat cerai apaan? Kenapa ibu mau cerai sama Ayah?"Dia menatap Yohan dengan panik, matanya memerah sambil melihat ke arah kepergianku.Untuk pertama kal

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status