"Aku nggak sengaja dengar obrolan Rino dan anak-anak lain. Besok mereka mau bikin pesta untuk menyambutmu."
"Terus? Bukankah bagus, kita semua bisa jauh lebih akrab.""Kamu tahu restoran di atap hotel depan sana? Dia bilang mau menaruh sesuatu di minumanmu. Pikir sendiri apa yang mau mereka perbuat padamu," ujar Ambar."Masa sih mereka setega itu? Kelihatannya mereka orang-orang baik."Ambar memutar bola mata. "Terserah mau percaya atau nggak. Yang penting aku sudah bilang padamu." Rena tak menjawab."Keputusan ada di tanganmu sendiri. Toh aku juga nggak tahu kamu bakalan khawatir atau malah senang. Secara banyak cewek yang kemungkinan besar nggak keberatan dijebak oleh cowok-cowok tampan dan populer itu," imbuhnya dengan nada ketus.Dan Rena menyaksikan sendiri, serbuk putih halus belum terlarut di dasar gelas. Ia tak tahu kapan dan siapa yang menaruh obat itu.Tampaknya para pria yang dimaksud Ambar sudah terbiasa dengan situasi yang serupa. Andai saja"Ikut denganku sekarang," perintah Siska dengan nada dingin.Rena mengekor Siska ragu-ragu. Beberapa orang menatap sambil bisik-bisik. Sementara pikirannya berkecamuk pada tulisan dalam kertas nota hotel.Seseorang telah menggunakan namanya. Dan Rena tahu pasti siapa orang itu."Aprilia. Tapi kenapa dia harus memakai namaku? Apa dia nggak suka denganku? Atau dia tahu aku melihat mereka malam itu?" Pertanyaan-pertanyaan terus muncul dalam benaknya.Ia melirik ke arah Aprilia sekilas. Lagi-lagi wanita itu bersikap seolah tak ada yang salah. Rena mengepalkan tangan ketika melihat Aprila malah tertawa dengan temannya."Duduk." Rena menuruti ucapan Siska.Sebelumnya ia sudah bertekad untuk berubah. Kali ini pun sama.Rena buka suara, "Saya nggak tahu kenapa ada nama saya di nota hotel yang Bu Siska bawa. Tapi itu bukan saya. Dan saya tahu siapa orang yang sudah menggunakan nama saya."Rahang Siska mengeras. Sorot matanya tak menandakan kepercayaan pada ucapan Rena."Kamu mau mencari kambing
Dari balik layar Siska berulang-ulang memutar adegan di kantin. "Sekarang kamu mau terang-terangan selingkuh?""Mamah salah paham. Aku cuma-""Cuma apa!" bentak Siska.Tomi berniat memeluk Siska namun segera didorong mundur. "Nggak usah banyak alasan!" teriak Siska."Kemarin setelah ronde kedua di karaoke aku mengantar anak-anak pulang. Karena nggak tahu rumah Rena, aku sewakan dia kamar hotel. Sebab Rena sudah mabuk parah.""Ka- kalau nggak percaya tanya April," imbuhnya."Benar Sis, aku yang menyarankan Tomi. Maaf kalau gara-gara aku kalian jadi berantem kaya gini. Seharusnya aku bawa Rena pulang ke rumah. Tapi kamu tahu sendiri gimana orang tuaku. Mereka bisa langsung mengusirku kalau aku bawa teman mabuk."Siska bergidik mendengar wanita itu leluasa memanggil namanya dan suaminya tanpa rasa hormat. Memang benar, dulu ia sendiri yang menyarankan untuk memanggil nama jika hanya ada mereka bertiga. Namun sekarang terasa berbeda.Ia berharap bisa memp
"Gimana keadaanmu?"Aprilia mengerjapkan mata. "Ini di mana?" Ia melihat sekeliling. "Kenapa kita di rumah sakit?""Kamu nggak ingat tadi pingsan di Mall?"Ia bangun terduduk seketika. Tergagap ia bertanya, "Ka- kamu, kamu su- sudah tahu?""Tahu apa?" Rena memiringkan kepala. "Katanya kamu kelelahan. Makanya jangan terlalu kalap belanja. Seperti nggak ada hari esok saja.""O- oh, be- benar.""Ya sudah, aku mau pulang dulu. Kata dokter kamu sudah boleh pulang. Tapi kalau mau istirahat dulu juga boleh. Mau aku hubungi orang tuamu untuk menunggu di sini?""Ng- nggak. Nggak usah! Kamu pulang duluan saja."Rena pura-pura keluar ruangan lalu memutar dan bersembunyi di balik tirai sebelah ruang perawatan Aprilia. "Oh, kamu kembali lagi?" suara familiar seorang pria membuatnya terlonjak.Dokter Felix mengikik melihat tingkah Rena. "Nanti kalau ada pasien lain kamu keluar ya."Rena membentuk lingkaran dengan jari dan telunjuk. Kemudian mengusir dokter yang tadi membantu membawa Aprilia ke rumah
Alih-alih Siska, Tomi datang ke tempat pertemuan. Jelas-jelas ia mengirim pesan ke nomor nyonya perusahaan saat Tomi ada di kantor.Apa Siska sengaja menyuruh Tomi karena dari awal ia tak percaya padanya?"Mau ke mana, Rena? Bukankah ada yang ingin kamu berikan padaku?""Apa maksudnya, Pak?" tanya Rena seolah tak tahu."Kamu pikir aku cuma iseng memperingatkanmu?" Tomi menyeret Rena duduk ke kursi. "Aku sudah pesan makanan. Mari kita makan dulu sebelum bicara."Ia memasukkan makanan susah payah. Sebab firasat buruknya selalu terjadi.Jefri pasti sudah tahu sejak awal. Mengapa ia mengkhianatinya? Padahal mereka di posisi sama-sama sulit.Rena menghentikan gerakan tangan. Dalam hati ia berpikir, "Kenapa aku harus cemas berlebihan?""Kenapa? Nggak suka makanannya? Mau aku pesankan yang lain?""Nggak usah, Pak. Ini semua sudah sesuai selera saya. Terima kasih banyak," Rena menjawab riang.Tingkah Rena menggelitik rasa ingin tahu pria itu. "Tadi ka
"Gimana rasanya?" Siska diam sejenak, lalu kembali bertanya, "Gimana rasanya setelah bercerai?""Tentu saja sedih dan sakit sekali. Tapi saya juga merasa lega setelahnya karena nggak perlu menghabiskan seumur hidup dengan orang yang mengkhianati saya." Rena meremas tangannya sendiri.Pandangan Siska tampak kosong. "Apa kamu pernah menyesal?"Pertanyaan bosnya sedikit mengusik hati. Sebenarnya Rena tak suka mengenang masa lalu pahit itu."Saya menyesal." Rena menunduk sembari memutar gelas kopi. "Saya menyesal karena pernah percaya dan mencintai mantan suami saya.""Aku nggak berniat membuatmu mengingat-ingat kenangan burukmu. Maaf." Siska menyesal setelah melihat raut kesedihan di wajah Rena."Apa Bu Siska..." Rena ragu-ragu."Kamu mau tanya, apa aku akan bercerai dengan suamiku?"Rena mengangguk. Ia turut prihatin dengan keadaan Siska saat ini.Masalah Siska berbeda dengan Rena walaupun sama-sama diselingkuhi suami. Sebab bos wanita itu juga haru
Rena sontak berbalik. Ia mendapati seorang wanita muda melotot marah padanya."Lina! Cepat minta maaf!" teriak Jefri."Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku? Pantas saja nggak bisa dihubungi. Ternyata kamu selingkuh dengan cewek lain!" wanita yang dipanggil Lina itu menitikkan air mata.Jefri merogoh ponsel dalam saku. Sementara Rena tampak malu. Para pengunjung lain berbisik-bisik dan menatap sinis padanya. Lagi-lagi ia disalah pahami orang-orang."Aku nggak tahu handphoneku mati," gumam Jefri, "Kamu nggak apa-apa, Ren?"Rena menampik tangan Jefri yang ingin menyeka wajahnya dengan tisu. "Apa aku kelihatan baik-baik saja?" jawabnya ketus.Belum sempat mengeringkan diri, Lina kembali berulah. Pacar Jefri itu menarik rambut Rena. Kini mereka berdua saling menjambak satu sama lain."Lepasin nggak!" pekik Rena."Aku sudah tahu siapa kamu! Dasar janda perusak rumah tangga orang! Sekarang kamu mau mengincar pacar orang? Hah!""Berhenti!" Jefri
Rena celingak-celinguk mencari tamunya. Tak ada orang di teras rumah. Ia hendak mencari ke luar pagar namun kakinya membentur sesuatu yang keras.Ia memungut kotak hitam sebesar lantai keramik. Tak ada nama pengirim di setiap sisi. "Apaan nih?" ia menggoyang-goyangkan kotak itu.Tiba-tiba saja isi dalam kotak menyeruak keluar dari bagian bawah. Rena menjerit ketakutan tatkala krim lembut menyentuh kakinya."Jangan teriak-teriak!" seru tetangganya."Maaf!" ia balas berseru.Keterkejutannya tak berhenti begitu saja ketika kotak lain meluncur di antara krim merah muda. Tangannya gemetaran membuka kotak berlapis beludru hitam."I-ini..." Rena bangkit dan berlari keluar rumah.Tak ada seorang pun di sekitar jalan perumahan. Sekali lagi, pupilnya menangkap kilauan emas dari satu set perhiasan di dalam kotak itu.Ia membaca sepucuk surat dengan krim di tangannya. "Semoga kehidupan barumu menyenangkan. Jangan menangis lagi karena pria."Rena terdiam
Kelopak mata Rena berkedut-kedut sebentar lalu terbuka. Sesuatu seperti meremas-remas isi kepalanya. Berat dan menyakitkan.Rena meringis menahan nyeri di sekujur tubuh. Ia ingin bangkit namun tak punya tenaga yang cukup untuk melawan gravitasi. Tubuhnya melekat bak terlapis lem di sebuah ranjang berukuran luas."Sudah bangun? Apa yang dirasakan sekarang?" tanya seorang perawat."Pusing," jawab Rena singkat."Ingat nama Kakak?""Renata Cahyani."Setelah bertanya beberapa hal lain, si perawat memanggil dokter yang menangani Rena. Selagi menunggu sang dokter, netranya berkeliaran di sekeliling ruangan.Mendadak ia ragu jika sekarang tengah dirawat di rumah sakit. Kamar yang ditempati Rena lebih mirip dengan isi hotel bintang lima. Kalaupun ada ruang VIP semewah ini, ia tak akan sanggup menanggung biaya rawat inap perharinya."Halo Rena, gimana keadaanmu? Ada bagian lain yang sakit?" tanya Felix mengejutkan."Oh, kamu... Hmm...""Sepertinya