Share

MENCOBA KABUR

Mata Anes terlihat sembab. Dia masih tidak mengerti. Dosa apa yang dia perbuat sampai membuatnya terkurung tak berdaya di tempat seperti ini.

‘Seharusnya aku tidak keluar waktu itu. Bagaimana kalau kekasihku mengira aku sudah kabur karena aku tidak datang di acara terpentingnya kemarin.’

Ingin Anes menangis sekali lagi. Tapi rasanya air mata itu sudah kering.

Badan gadis itu mulai terasa pegal. Terlebih tangannya yang masih terikat erat. Begitupun kedua kakinya. Dia hanya bisa berbaring di ranjang beralaskan rotan. Tak ada kehangatan dan kenyamanan di sana.

Udara juga begitu pengap serta dingin menyergap seiring dengan malam yang makin larut. Pandangan Anes hanya bisa sebatas ruangan yang remang. Serta dinding berlumut juga lembab.

Ini hari ke-tiga. Ya, hari ketiga Anes disekap oleh orang yang tak dia kenal. Bahkan motif penyekapan pun belum bisa Anes pahami.

‘Queena? Pria itu menyebutku Queena. Tapi apa yang terjadi sebenarnya? Kenapa dia begitu marah. Begitu menunjukkan kebenciannya padaku?’

Anes juga masih ingat, bagaimana tangan pria tak dikenal itu sempat merobek gaunnya. Sungguh ini adalah mimpi buruk baginya.

Tidak, Anes tidak mungkin begini terus. Dia berusaha bangkit dari posisinya. Perutnya memang terisi. Tapi sungguh otaknya masih kosong dan sulit untuk berfikir dalam kondisi begini.

“Jack. Malam ini aku pulang dan baru kembali besok pagi. istriku mau melahirkan. Untuk malam ini kamu menjaga dia sendiri." Terdengar suara samar dari luar karena mungkin kondisi teramat sepi. Bahkan suara jangkrik saja mampu Anes dengar.

"Baiklah Jim. Pergilah,” sahut seseorang lainnya.

Apa diluar sekarang hanya ada satu orang yang berjaga? Pikir Anes.

Otaknya pun mulai berfikir keras. Diturunkan kaki yang terikat itu. Hingga menggantung di sisi ranjang.

Dia menatap piring kosong di nakas yang isinya sudah dia makan. Dia bahkan seperti seekor kambing yang hanya diberi makan lalu dibiarkan di dalam kandang.

‘Bodoh, Anes! Seharusnya sejak kemarin kamu gunakan pecahan piring itu untuk membuka tali di tanganmu!’ Anes merutuki kebodohannya di dalam hati.

Anes pun menggeser posisi duduknya, mendekati nakas. Dengan hati-hati, dia menarik piring dalam kondisi tangan terikat. Dia ingin memecahkan piring kaca itu di atas ranjang. Supaya tidak menimbulkan bunyi keras.

Tapi sayang, piring itu terlepas begitu saja dan menghantam keramik kotor.

Praaang!

Bunyi pecahan itu sontak membuat penjaga di depan terkesiap.

“Ada apa di dalam?”

Anes masih bisa mendengar suara sang penjaga.

Karena gugup, Anes tak sengaja menginjak pecahan piring.

“Aaakh!” pekiknya lirih ketika pecahan itu berhasil menusuk daging hingga membuat darah di kakinya mengucur deras.

“Ada apa Nona? Apa yang terjadi denganmu?” tanya penjaga, cemas melihat darah di lantai cukup banyak.

Sebab, Kean memerintahkannya menjaga. Jangan sampai tawanannya terluka sedikitpun.

“Ak-Aku ingin ke toilet. Tapi tak sengaja menjatuhkannya,” jawab Anes sambil meringis kesakitan.

Penjaga bernama Jack itu pun menghela nafas beratnya. Mau tidak mau dia keluar mengambil kotak obat dan kembali masuk dengan cepat.

Jangan sampai bosnya marah lalu mengurangi jatah bayaran hanya karena luka di kaki Anes.

“Seharusnya Anda lebih hati-hati, Nona,” ucap Jack sedikit kesal.

Meski begitu dia tetap mengambil air ke dalam wadah. Lalu dia letakkan di bawah kaki Anes.

Jack cukup telaten. Dia membuka ikatan kaki lebih dulu lalu membersihkan luka, mengobati baru kemudian memasang perban.

Bahkan Jack sampai membersihkan noda darah di lantai sampai bersih.

Anes terus memperhatikan.

Hingga Jack kembali ke toilet untuk membuang air kotor. Anes berlari, menutup pintu toilet dari luar. Lalu mengunci menggunakan kayu yang dia sematkan di handle pintu.

“Buka! Woy! Jangan main-main dengan saya, Nona!” Jack memukul-mukul pintu.

Anes tak peduli teriakan itu.

Dia berlari dan sempat mengambil pisau untuk membuka ikatan di tangannya.

‘Hutan? Aku ada di dalam hutan? Lalu aku lewat mana?’

Mata Anes menjelajah sekitar. Dia cukup terkejut karena ternyata dia ada di lokasi yang jauh dari keramaian dan cahaya.

Hanya saja jalan itu ada dua arah. Ke kiri dan ke kanan. Anes dipaksa untuk berpikir cepat. Tidak boleh lama-lama memutuskan.

Apalagi saat terdengar suara penjaga yang berteriak, “Mana tawanan itu? Dasar bodoh! Menjaganya saja tak becus!”

Akhirnya Anes pun memilih jalan ke arah kanan. Tidak peduli jalan yang ditempuhnya salah. Yang penting dia bisa lari sekencang-kencangnya. Agar tidak bisa di tangkap penjaga.

Kaki kanan wanita itu dipaksa bergerak. Rasanya begitu nyeri. Terlebih dia tak memakai alas kaki.

‘Ya, Tuhan. Beri aku pertolongan ....’

Anes terus meringis sakit. Dia bergerak tanpa henti. Menginjak ranting kering sampai bebatuan dan rumput liar.

Setidaknya dia masih menggenggam pisau kecil di tangan. Siapa tau dia butuhkan.

Entah berapa lama Anes berlari. Namun jalan itu tetap tidak menemukan ujungnya. Jalan yang hanya disinari cahaya bulan saja seperti benar-benar tak berujung.

Kaki Anes sudah terasa lelah. Sudah hampir kehabisan tenaga.

Tapi suara langkah sepatu yang sedang mengejarnya, membuat Anes berusaha bertahan untuk tidak berhenti.

Hingga akhirnya dia melihat sepasang lampu dari sebuah mobil, harapan Anes mulai muncul. Dia segera berhenti dengan tangan yang di angkat ke atas.

"Tolong! Tolong! Siapapun yang ada di dalam mobil. tolong aku! aku baru saja di culik!"

Mobil melesat menuju tubuh Anes yang sedang berdiri di tengah jalan.

Bukannya menghindar dari mobil yang sedang melaju padanya, Anes malah tetap berdiri sambil memejamkan matanya. Tidak peduli jika mobil itu akan menghantam tubuhnya.

Terdengar decitan ban mobil yang direm secara mendadak.

Anes semakin rapat memejamkan mata. Pasrah dengan apa yang akan terjadi padanya.

Namun beberapa saat Anes menunggu, mobil itu tak juga menghantamnya.

Anes pun mulai membuka matanya. Ternyata mobil itu berhasil berhenti tepat di depannya.

Dengan perasaan lega, Anes berlari ke arah pintu mobil yang ada kemudinya. Terlihat seorang laki-laki sedang turun dari mobil. Sementara langkah sepatu pantofel di belakangnya, semakin jelas terdengar. Artinya penjaga-penjaga itu sudah dekat dengannya.

"Tu-Tuan! To-Tolong! Sa-Saya habis diculik.” Anes terlihat gugup. Melihat ke belakang lalu menoleh ke depan.

Dia sulit melihat siapa yang ada di depannya itu karena matanya bertabrakan dengan cahaya lampu mobil.

“Tu-Tuan, saya mohon!” Anes makin memohon karena penjaga yang mengejarnya makin mendekat.

Bukannya mendapat pertolongan, dia justru melihat pria itu berjalan mendekat dan mencengkeram tangannya dengan kasar.

Mata Anes melebar. Jantungnya berpacu lebih cepat dari sebelumnya.

“Kau?”

“Mau kabur kemana, Jalang?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status