“Apakah ini istrimu?”
Anya mengambil satu langkah mundur, tampak masih terkejut dengan kehadiran pria asing yang tiba-tiba itu.
Di sisi lain, Rama tampak kaku saat menyapa si pria asing. “Bima,” ucapnya.
Sosok itu menoleh ke arah Rama sekilas dan tersenyum miring, sebelum kemudian kembali menatap Anya.
“Biar kubantu,” ucapnya sembari membetulkan posisi dua koper di sisinya. Padahal ia sendiri tengah membawa ransel yang tampaknya cukup berat. “Tidak seperti suamimu, aku pantang menyusahkan perempuan.”
“Eh–” Anya sedikit bingung menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa melihat Bima yang perlahan menjauh dan memasuki rumah, sementara Rama tampak tersinggung dengan ucapan sepupunya barusan.
Ekspresi suami Anya itu tampak kurang baik. Apalagi saat tiba-tiba pria itu menoleh pada istrinya dan berkata, “Hati-hati padanya. Jangan kecentilan.”
Tanpa menunggu respons Anya, pria itu kemudian melangkah masuk ke dalam rumah, meninggalkan sang istri.
Anya menghela napas. “Aku tidak melakukan apa-apa,” ucapnya, tanpa didengar oleh siapa pun selain dirinya sendiri.
Wanita itu kemudian ikut melangkah masuk.
Di dalam, koper-koper yang dibawa Bima sudah diambil alih oleh asisten rumah tangga.
Baru setelah itu, Rama memanggilnya dan secara formal memperkenalkan Anya pada Bima dan sebaliknya.
“Bima,” ucap pria asing itu sembari menyodorkan tangannya.
Anya tersenyum sopan pada Bima sembari menyambut uluran tangannya. Pikirnya tidak salah karena toh pria ini sudah membantunya tadi.
Namun, saat akhirnya Bima meninggalkannya dan Rama ke kamar, suaminya itu justru mengatakan, “Sudah kubilang jangan menggodanya.”
Anya menoleh ke arah Rama. “Apa maksudmu, Mas? Memangnya aku melakukan apa?” balasnya, kali ini terang-terangan di depan suaminya. “Sekiranya kamu kurang paham definisi centil dan penggoda, mungkin kamu bisa melihat sekretarismu itu. Dia bahkan bisa membuatmu menikahinya.”
“Anya,” sergah Rama dengan nada memperingatkan. “Jaga bicaramu. Jangan sampai–”
“Sudahlah. Aku lelah.” Anya berlalu ke arah kamar untuknya dan Rama. “Aku akan istirahat sebentar.”
***
Beberapa hari setelah Anya menghuni rumah mertuanya, sang suami mengajaknya makan malam di luar, bersama Bima dan Pram, orang kepercayaan sang ayah.
Padahal selama mereka menginap di sini, kerjaan suaminya itu pun hanya main-main di luar dengan sang sekretaris.
“Mas, apakah bisa aku tidak ikut saja?”
“Kamu berani membantahku?” balas Rama, langsung terdengar siap berdebat. “Ingat, kamu itu hanya–”
“Baiklah, aku ikut.” Anya langsung berkata.
Padahal ia bertanya baik-baik. Namun, hinaan memang sudah menantinya.
Pada akhirnya, sebelum pukul tujuh malam, Anya sudah tiba di restoran dalam hotel tempat tempat makan malam diadakan. Ternyata pertemuannya akan dilangsungkan di sebuah private room.
Namun, di luar dugaannya, rupanya Rama sudah ada di sana.
Bersama Selly.
Anya menghela napas dan menetralkan ekspresi wajahnya, sebelum mengatakan, “Ajak masuk saja. Biar seru.” Ia berucap saat berhadapan dengan suami dan istri sirinya.
“Ck! Kamu selalu mencari gara-gara,” desis Selly lirih. “Awas sa–”
“Jangan menarik perhatian,” tegur Rama pelan. “Orang melihatnya kamu sekretarisku.”
Mendengar itu, Anya memasang senyum kecil.
“Mas, mau bareng ke dalam?” tanyanya. “Khawatirnya, Om Pram dan sepupumu melihat kita seperti pasangan aneh. Aku masuk sendiri, dan kamu bersama sekretarismu. Padahal kita sudah ada di sini.”
“Sayang,” rengek Selly, menanggapi Anya. Ia langsung menyentuh lengan Rama. “Aku nggak mau kamu sama dia.”
Rama menghela napas dan perlahan melepaskan tangan Selly dari lengannya. “Kamu tunggu aku di sini. Hanya sebentar,” katanya.
Pria itu kemudian menatap Anya yang masih tersenyum dan berjalan masuk dengan sang istri.
Sementara itu, Anya sempat menoleh pada Selly dan mengedip penuh ejekan. Sekalipun hubungan Anya dan Rama tidak romantis sama sekali, tapi rasanya tidak buruk juga saat menggoda Selly dan membuat istri siri suaminya itu cemburu sekaligus berpikir yang tidak-tidak.
Makan malam berlangsung dengan kondusif. Anya hanya diam mendengarkan obrolan ketiga pria di dalam sana. Yang ia tangkap adalah, Bima akan ditempatkan di kantor pusat oleh ayah mertuanya–dan itu membuat Rama tidak suka.
Entah apa yang terjadi antara Rama dan Bima–Anya tidak tahu. Yang jelas, memang sejak awal ia melihat keduanya saling tidak menyukai dan canggung. Seperti menyimpan cerita masa lalu yang berat.
“Anya, kamu akan dipindahkan ke bagian marketing mulai besok,” ucap Om Pram. “Sama dengan Bima. Pak Denis punya rencana sendiri untuk kalian berdua.”
Setelah menikah dengan Rama, Anya masih bekerja, sesuai dengan perintah mertuanya. Wanita itu bergabung di perusahaan milik mertuanya dan ditempatkan di bagian HRD kantor pusat.
Namun, sebenarnya, Anya sedang berusaha untuk melepaskan diri agar tidak terlalu terikat dengan keluarga Hardana. Agar nanti jika ia bercerai dengan Rama, Anya bisa berdiri di atas kakinya sendiri.
Entah kapan itu terjadi.
Meski begitu, jelas perintah ayah mertuanya itu mengganggu niatan Anya.
“Maaf, Om.” Anya berucap. “Saya–”
“Tidak boleh protes,” potong Om Pram. “Aku tahu kamu akan menolak. Tapi kamu memiliki potensi dan Tuan Denis jelas bisa melihat itu. Jadi, ikuti saja arahan beliau.”
Anya sempat menoleh pada Rama, berharap sia-sia kalau suaminya itu akan membantunya. Tentu, nyatanya pria itu diam saja. Antara tidak mau membantah atau tidak peduli pada Anya.
Sepertinya yang kedua.
“Baiklah, Om.” Akhirnya Anya patuh.
Perbincangan masih terus berlanjut sambil makan malam. Namun, di sisa obrolan itu, Anya kembali diam karena toh pendapatnya tidak akan diperhitungkan. Oleh karena itu, Anya memutuskan untuk menyibukkan dirinya dengan makanan dan wine yang sejak tadi disajikan oleh para pelayan.
Hingga wanita itu tidak menyadari bahwa ia mulai mabuk.
Tidak hanya Anya, baik Pram maupun Rama pun tidak. Satu-satunya yang memperhatikan Anya sejak tadi adalah … Bima.
“Kau mau ke mana?” tanya Bima saat Rama berdiri, menyusul Pram yang sudah undur diri dan meninggalkan ruangan.
“Pergi.” Rama menjawab singkat sembari melirik ponselnya yang bergetar sejak tadi. Selly beanr-benar tidak sabar. “Aku ada janji lain.”
“Bagaimana dengan istrimu?”
Kedua pria itu beradu tatap selama sesaat, sebelum Rama melirik pada sang istri yang sudah tidak fokus dan menyahut, “Aku titip dia padamu. Bisa?”
Bima terkekeh. “Kau menyerahkan istrimu padaku?”
“Menitipkan,” koreksi Rama. Namun, ia memang tampak tidak keberatan menitipkan istrinya pada pria lain yang baru ia temui kembali beberapa hari yang lalu itu. “Meski tidak akur, kita ini saudara.”
Ucapan itu membuat Bima tersenyum miring. “Bagaimana kalau aku merebutnya?” balas pria itu. “Seperti yang dilakukan ayahmu pada ayahku. Mereka juga saudara.”
Rama berdecak. “Kau–” Belum sempat ia membalas, ponselnya kembali bergetar. “Sudahlah. Tolong bawa dia pulang. Kita akan bicara lagi di rumah.”
Tanpa menunggu jawaban Bima, suami Anya tersebut kemudian berbalik dan melangkah pergi dengan tergesa.
“Hei!” seru Bima. “Rama, kau–”
“Mas?” gumam Anya sembari membuka matanya perlahan dan memandang Bima. “Mas Rama. Aku pusing ….”
Lalu, tanpa diduga dan aba-aba, tubuh wanita itu oleng ke samping, nyaris membentur lantai jika Bima tidak menahannya.
“Ck.” Bima menghela napas. Dengan gerakan tegas yang hati-hati, dibawanya wanita itu dalam gendongannya. Sepasang Anya tengah terpejam, tidak menyadari bahwa ia berada dalam gendongan pria lain yang bukan suaminya.
Sementara Bima … tanpa sadar mengagumi kecantikan polos yang dimiliki oleh Anya. Wajahnya khas wanita Melayu, rambut panjang dengan hidung mancung, lengkap dengan bentuk bibir membuat sempurna wajahnya.
“... Suamimu pasti sudah gila karena menyia-nyiakanmu seperti ini.”
Meski dengan perdebatan panjang, akhirnya diputuskan kalau Selly hanya akan mengakhiri kontrak kerjanya sampai akhir tahun. Setelah itu ia akan fokus menjadi ibu rumah tangga saja.Rama masih tinggal di Bali, dalam beberapa bulan ke depan akan bolak-balik Jakarta Bali masalah pekerjaan. Resepsi pernikahan akan mereka laksanakan di Bali. Bahkan Rama setuju usulan Selly untuk menetap di sana.Mulai tahun depan Bima akan memimpin kantor cabang yang ada di Bali, Umar yang akan menggantikan posisi Rama. Bahkan rumah untuk tempat tinggal, sudah mereka dapatkan.“Aku suka tinggal di sini, banyak tempat indah.”“Tapi biaya hidup di sini mahal.”“Kamu ‘kan yang kerja, aku diminta di rumah saja. Aku tidak boros kok,” jelas Selly dan Rama sudah meyakini itu. Kehidupan Selly berubah dari sebelumnya, jarang menggunakan barang branded kecuali di acara tertentu.Bahkan tidak jarang ia tidur menggunakan daster yang dibeli secara online dua ratus ribu dapat tiga pcs.“Ayo tidur,” ucap Selly menjauhkan
“Rama, kamu yakin?” Selly menarik tangan Rama yang akan membuka pintu.“Tentu saja aku yakin, memang kamu mau sembunyi di mana. Mama pasti tinggal di sini untuk beberapa hari. Semenjak papa tiada, dia posesif padaku. Hari ini aku akan berikan apa yang dituntut selama ini?”“Apa?” tanya Selly masih berbisik sedangkan ketukan pintu dan suara bel bagai bersahutan.“Calon istri,” jawab Rama lalu membuka pintu.“Lama sekali, kamu ngapain sih. Makanya jangan begadang, mama mulai diabaikan. Pasti … ini siapa? Kenapa kalian berdua ada di … kamu bukannya … Selly.” Malika mencecar setelah melihat Selly dari balik tubuh putranya.Sambil bersedekap, Malika menarik nafasnya memandang Rama dan Selly duduk berdampingan berseberangan dengannya di sofa. Dari penampilan mereka bisa dipastikan aktivitas dewasa. Kemeja Rama berantakan, apalagi rambutnya. Sama halnya dengan Selly dengan rambut berantakan dan dress dilapisi blazer.“Hah, jadi ini yang kamu lakukan di sini?”“Mah, dengar penjelasanku dulu.
Seharusnya pagi itu Selly mandi dulu, bukan terlihat berantakan. Meski Rama terlihat tidak masalah, tapi ia sesali. Sarapannya berakhir di warung tenda samping gedung apartemen, tidak mungkin Selly makan di resto bersama penghuni lain.Saat perbaikan unit tempat Rama, Selly memastikan sendiri semua sudah oke. Bahkan ia mencuri pandangan melihat sekeliling kamar dan tidak menemukan barang milik perempuan.“Seharusnya aku tidak boleh begini, tapi penasaran.”Berkali-kali menghubungi unit Rama saat malam dan pagi, nyatanya tidak dijawab. Kontaknya Selly tidak punya, hanya sekedar menyampaikan kalau semua sudah beres. Berharap bisa lanjut komunikasi.“Hah.” Selly tertelungkup di meja resepsionis pojok. Harapannya pupus, menduga Rama kecewa dan ilfil dengannya saat pertemuan terakhir dan itu sudah berlalu seminggu yang lalu.Sudah mendapatkan kontak Rama dari data penyewa, tapi urung menghubungi karena tidak ada alasan untuk sekedar basa basi. Hari ini Selly kembali shift dua dan tidak lam
“Lantai tujuh?” tanya Rama saat Selly menekan angka lantai yang mereka tuju.“Unitku di lantai tujuh,” jawab Selly.Rama terkekeh lalu menyugar rambutnya, membuat Selly bingung. Ia merasa semesta memang mendukung pertemuannya. Dari sekian banyak apartemen rumah kosan, kantor memilihkan apartemen itu untuk dirinya dan dari banyaknya lantai dan kamar nyatanya mereka malah sangat dekat.“Kenapa?”“Tujuh satu dua,” jawab Rama.“Hah, kamu di … aku tujuh kosong delapan.”Sudah kuduga, perempuan yang aku lihat malam itu memang Selly. Astaga, aku harus bagaimana Tuhan. Kenapa sedekat ini, bagaimana kalau … statusnya. Aku harus cari tahu statusnya, batin Rama.Masih dengan kecanggungan akhirnya hening, Selly mengulum senyum menyadari mereka berada dalam satu lantai. Mungkinkah mereka akan sering bertemu. Pekerjaannya hanya mengecek mana unit yang habis waktu sewa dan sewa baru, tidak berurusan dengan database penyewa atau pemilik. Kecuali sedang ada masalah seperti di unit delapan satu lima.R
Hampir subuh, Rama masih berada di balkon. Setelah menikmati makan malam di pagi buta, tidak mungkin langsung tidur. Berada di balkon kamarnya sambil fokus pada ponsel.Hari ini rencananya ia akan langsung menuju lokasi proyek. Kendaraan dan supir yang akan mengantar selama ia berada di Bali sudah dihubungi dan standy setiap jam setengah delapan pagi.Rama mengusap kasar wajahnya, antara ngantuk dan pusing. Tidur pun tidak mungkin, dia akan kesiangan.“Sepertinya mandi air hangat saja,” gumam Rama lalu menutup pintu balkon dan menuju toilet.Berada di bawah guyuran shower, air hangat mengalir menyiram tubuhnya. Benar saja ia merasa lebih segar. Saat akan membilas busa dari sabun, mendadak air yang mengguyur tubuhnya terasa dingin. Memutar kran pengatur air hangat, nyatanya yang keluar tetap dingin.“Rusak atau ….”Berkali-kali memutar kran pengatur suhu, nyatanya tidak berfungsi. Rama mengakhiri mandinya. Kecewa karena berakhir dengan kedinginan. Baru saja memakai kemeja dan celana pa
“Selamat sore, mbak. Saya mau ambil kunci kamar, booking atas nama Rama. Rama Hardana.”Resepsionis yang sedang bertugas menatap Rama tanpa berkedip, beberapa saat masih saja diam mematung. Tidak menjawab salam dan permintaan pria di hadapannya.Rama sampai berdeham.“Mbak, saya mau ambil kunci,” ujar Rama lagi.“Eh, iya, maaf mas.” Resepsionis itu terlihat canggung. “Namanya … siapa?”“Rama Hardana,” jawab Rama kembali tersenyum.“Ah. Iya, sebentar.” Mengambil kunci access kamar sekaligus id card dan form yang harus diparaf oleh Rama. “Ini tolong ditanda tangani, boleh dibaca dulu. Kami isi berdasarkan data yang dikirim saat booking ya.”Rama membaca sekilas isian biodatanya tentang perjanjian sewa, tidak ada yang aneh dan semua terlihat aturan biasa yang berlaku untuk sewa menyewa apartemen atau gedung. Ia membubuhkan tanda tangan lalu menyerahkan kembali formulir tersebut.“Ini kartu aksesnya, selamat datang semoga nyaman tinggal di sini. Kalau ada saran atau membutuhkan sesuatu si