Aku berjalan gontai melewati lobi menuju ruang kerja. Nomor Tomi yang masih belum bisa dihubungi membuatku khawatir. Mau tak mau berbagai pikiran buruk berseliweran di kepala.Huft! Apa yang sebenarnya terjadi pada Tomi? Tak biasanya dia menghilang seperti ini.Kulihat Mas Reno berdiri menatap keluar melalui kaca lebar di depannya. Tangan kirinya menempelkan ponsel di telinga. Sebelah tangannya dimasukkan ke saku celana.Dia tampak serius bicara dengan seseorang melalui ponselnya. Sampai tak menyadari aku sudah berdiri di sebelahnya."Iya, bagus," ucapnya. Entah siapa yang sedang diteleponnya. Aku masih diam menunggunya selesai menelepon."Okey, pastikan semua aman!" lanjutnya. Kemudian terdiam, tampak sedang mendengarkan lawan bicaranya. "Bagus," ucapnya lagi. "Tunggu perintahku selanjutnya!" perintahnya. "Okey, kirim nomor rekeningnya! Habis ini aku transfer!"Ponsel diturunkan dari telinganya. Dipandanginya layar yang masih menyala terlihat foto pernikahan kami di sana. Bibir tipi
Kuremas kuat-kuat kertas berisi tulisan tangan Mas Reno. Rasa panas menjalar dari dadaku sampai kepala. Wajahku pun pasti sudah merah padam menahan amarah.Baru saja tadi Mas Reno bilang tidak akan pergi. Baru saja tadi dia bilang akan tetap bersamaku di sini. Namun, sekarang? Dasar lelaki!Kuputuskan untuk menghubungi Mas Reno. "Iya, Sayang," sapanya lembut."Pulang!" tegasku."T-t-tapi, Dek, ....""Pulang!" ulangku dengan mengeja tiap suku kata. Kali ini aku tak mau dibantah."Oke, oke, sebentar lagi Mas pu ....""Sekarang!" titahku."Oke, Mas pulang sekarang."Kuputus sambungan telepon. Aku benar-benar tak mau peduli dengan apapun yang terjadi pada Bulan. Siapa suruh dia hamil dengan laki-laki beristri? Dia pikir aku akan berbaik hati membagi suami?Kalau pun aku meminta Mas Reno menunda menceraikan Bulan, bukan berarti aku akan suka rela membiarkan Mas Reno menjalankan peran sebagai suaminya. Aku hanya ingin memberi dia pelajaran. Bahwa menikahi lelaki beristri, tanpa izin istri
Mendengar jawaban Pak Heru, Mas Reno serta merta berdiri. Kedua matanya membulat sempurna dengan wajah merah padam."Heh, jangan sembarangan kalau bicara! Maksud anda apa?" bentaknya sambil memukul keras meja di depannya. "Berani sekali anda memfitnah saya? Hah?" Aku terkejut melihat reaksi Mas Reno. Delapan tahun menjadi istrinya serta bertahun-tahun sebelumnya telah mengenalnya, baru ini kulihat kilat amarah yang begitu membara dari matanya.Sementara Pak Heru tampak begitu tenang meskipun Mas Reno semarah itu. Tak terlihat rasa takut ataupun marah. Justru di mataku, terkesan ia ... menyepelekan."Anda belum tahu siapa saya?" seru Mas Reno. "Mulai hari ini, anda saya pecat!""Silahkan," sahut Pak Heru tenang.Aku benar-benar tercengang. Pak Heru hanya karyawan biasa, tetapi ia begitu tenang menghadapi Mas Reno. Padahal biasanya ketika nama Mas Reno atau Papi disebut, semua akan tunduk dan patuh. Namun, kali ini bagaimana mungkin Pak Heru setenang ini?"Oke, pergi sekarang dari sini
"Kemana aja kamu?" ketusku dengan menatap tajam pada laki-laki itu."Aku ... aku ...." Ia tergagap tak bisa menjawab pertanyaanku."Uang yang sudah aku kasih kurang? Kenapa enggak bilang? Kenapa malah memilih majikan baru? Berapa dia bayar kamu?" cecarku tak memberi celah ia menghindar.Aku kesal. Sangat kesal. Lelaki yang biasa menjadi orang kepercayaanku, di saat genting begini malah berkhianat."Sil, please dengarkan aku dulu!" pintanya. Ia terlihat gelisah. Berkali-kali mengawasi sekeliling kami. "Bukan begitu! Kamu salah paham. Ayo, kita cari tempat lain! Jangan di sini!""Kenapa?" protesku saat lelaki itu telah melangkah lebar meninggalkanku begitu saja. "Tom! Tomi! Tunggu!"Terpaksa aku berlari mengejar lelaki yang sudah cukup jauh meninggalkanku. Kurang ajar memang!Saat kami sudah dekat, dia berhenti. Kemudian berkata, "kamu pakai lift. Aku lewat tangga. Tolong, seolah-olah kamu enggak lihat aku! Kita ketemu di atap." Aku mengernyit mendengar permintaan anehnya. Sementara To
"Dek, kamu boleh enggak percaya lagi padaku karena aku sudah melakukan satu kesalahan," ucapnya dengan sorot terluka. "Tapi, menuduhku mencelakai orang?" Mas Reno menggelengkan kepala dengan kedua alis menyatu. Kedua tangannya bertumpu pada meja kerjaku."Aku bukan orang seperti itu, Dek. Apalagi pada Wanda, istri temanku sendiri. Aku enggak mungkin setega itu. Lagian apa motifku mencelakai dia?" lanjutnya.Aku menatap Mas Reno dalam-dalam. Berusaha menyelami isi hatinya. Benarkah yang ia sampaikan? Benarkah semua ini bukan perbuatannya? Lalu siapa? Bulan?"Motifmu mencelakai dia?" ulangku. "Tentu aja karena kamu enggak ingin aku tahu fakta tentang kamu dan gund*kmu itu. Apalagi?"Dahi Mas Reno mengernyit. "Kamu menyuruh Tomi?" tanya Mas Reno dengan wajah serius."Ya. Dan pagi itu dia mau menunjukkan sesuatu padaku, tapi Wanda kecelakaan," jelasku. "Siapa orang yang berkepentingan kalau bukan kamu atau gund*kmu?"Mas Reno terdiam. Namun, tampak ia sedang berpikir keras. Terlihat dari
Kudengarkan sampai habis rekaman percakapan Helen dengan mantan suami Bulan. Sayangnya lelaki itu tak mau mengungkap siapa selingkuhan Bulan. Meskipun Helen berusaha memancing lelaki itu.Setelah rekaman habis, kukirim pesan pada Helen. [Kamu masih di kota Pak Jatmiko, Len?]Beberapa saat kemudian Helen membalas. [Iya, pulang nanti sebentar lagi.][Jangan pulang dulu, Len! Aku mau kesitu. Tolong atur pertemuanku dengan Pak Jatmiko!][Oke.][Oh, ya. Cari tahu juga keuangan lelaki itu. Bukankah dia bilang bangkrut?][Siap.]Aku jadi teringat cerita Mas Reno. Dia bilang mertua Bulan seorang pejabat. Lalu kenapa Bulan tidak bisa bertahan dengan suaminya yang bangkrut? Mudah saja, kan, untuk seorang pejabat berpengaruh memberi modal lagi untuk anaknya yang bangkrut. Atau kalau tidak memberi pekerjaan yang layak.Jam pulang, Mas Reno menghampiriku ke ruangan. Seperti biasa, dia mengecup pucuk kepalaku lalu menatapku dengan senyum manisnya. "Gimana kerjaanmu, Sayang?"Aku hanya mengedikkan b
"Apa?!" Seketika kedua bola mataku melebar sempurna mendengar penuturan Mas Reno. Sekali lagi, petir serasa menyambarku. Kali ini bahkan sampai benar-benar hancur lebur.Baru saja badai menghantam bahteraku dengan pernikahan kedua Mas Reno, sekarang badai kembali menghantam tanpa ampun. Tanpa peduli luka hatiku yang masih menganga. Bahteraku kini terombang-ambing di tengah lautan lepas. Apakah kami mampu terus berlayar? Sementara bahtera kami sudah tak sekokoh dulu. Terlalu banyak kerusakan di setiap sisinya."Kenapa kamu baru bilang?" cicitku dengan tenggorokan tercekat. Dadaku rasanya sangat sesak. Seperti ada bongkahan batu yang menindihnya.Buliran bening berlomba keluar dari pelupuk mata. Batinku remuk, kalau tidak menyadari kini sedang berada di tempat umum, tentu aku sudah ambruk. Meraung-raung meratapi takdir yang membuatku merasa semakin kerdil."Sayang ...." Mas Reno menatapku lekat tangannya meraih jemariku. "Aku minta maaf!" pinta Mas Reno dengan bibir bergetar. Mata lela
Langit tampak mendung saat kami bertiga turun dari mobil di parkiran sebuah cafe tempat janjian dengan Pak Jatmiko, mantan suami Bulan. Aku harap dengan pertemuan ini akan bisa terungkap apa yang sebenarnya terjadi pada kami.Aku dan Helen berjalan di depan. Sedang Mas Reno mengekor di belakang. Begitu pintu kaca terbuka, aku mengedarkan pandangan. Mencari lelaki yang sudah menunggu kedatangan kami."Ayo, Sil!" ajak Helen saat langkahku terhenti. Aku menurut. Mengikuti langkah wanita gesit tersebut. Melewati beberapa pengunjung, akhirnya langkah Helen berhenti di meja paling ujung.Aku tertegun saat melihat lelaki yang sedang duduk di depan Helen. Melihat kedatangan kami, lelaki itu lantas berdiri. Tersenyum sekilas lalu mempersilahkan kami duduk."Silahkan! Silahkan!" ucapnya ramah. Sepertinya mantan suami Bulan ini tak mengenal Mas Reno sebelumnya. Tampak dari sikap mereka seperti orang yang baru bertemu."Perkenalkan, saya Reno suami Bu Sisil," ucap Mas Reno memperkenalkan diri.Le