Part 1. Parfum Wanita
***
Jam menunjukkan pukul empat. Para pekerja pabrik berbondong-bondong keluar karena sudah waktunya pulang. Termasuk Hadi yang saat ini tengah mengambil motor di parkiran.
Sebelum menyalakan mesin motor, ia memeriksa penampilannya pada kaca spion. Sedikit membentuk rambutnya menyerupai jambul ala penyanyi beken Syahrini.
"We, Di. Ayo pulang!" Seorang teman menepuk pundaknya, membuat Hadi berjingkat karena terkejut.
Hadi menoleh. "Nanti dulu. Mau ngopi dululah."
Teman Hadi yang bernama Fairuz itu menggeleng. "Kau ini, pulang kerja bukannya ke rumah nemuin anak istri malah keluyuran. Ngopi di rumah, kan lebih enak. Gratis pula."
Hadi mengibaskan tangannya di depan wajah. "Halah. Kau, kan memang suami takut istri," ejek Hadi.
"Eh, denger, ya. Kita sebagai laki-laki juga berhak memanjakan diri di luar. Bagaimana? Ikut tidak?"
Fairuz menggeleng. Tahu betul apa yang dimaksud Hadi dengan memanjakan diri itu. "Nggak usahlah. Aku mau pulang saja. Istriku pasti khawatir kalau aku tak pulang-pulang," tolaknya dengan senyuman.
"Halah. Pulang sana kau ke ketiak istrimu." Gerakan tangan mengusir itu pertanda Hadi sudah merasa jengkel dengan Fairuz.
Mengeluarkan motor dari parkiran, Hadi segera keluar dari lingkungan pabrik. Sebuah warung yang terletak di pojokan luar pabrik bagian belakang menjadi tujuannya.
Seorang perempuan dengan baju merah dengan panjang lengan hanya sepundak yang dipadukan rok span coklat di atas lutut tersenyum ketika melihat dirinya.
"Bang Hadi akhirnya datang juga," ucap perempuan itu dengan manja. Langkahnya tampak gemulai menghampiri Hadi yang baru saja menstandarkan motornya.
"Pasti dong, Reta Sayang. Kan Mas sudah kangen sama kamu," balas Hadi yang menjawil dagu perempuan dengan bibir berhias pewarna merah menyala.
Pemandangan itu dilihat semua orang yang ada di warung, mereka hanya geleng kepala melihat laki-laki yang sudah mempunyai istri tetapi kelakuannya seperti anak remaja.
"Bang Hadi mau kopi atau teh?" Reta merangkul lengan Hadi ketika keduanya memasuki warung.
"Seperti biasa, Sayang."
"Siap." Hadi bergabung dengan penikmat kopi yang lainnya. Ia menyapa yang ada di sana satu per satu.
Saat kopi sudah tiba, tidak lupa bermain mata dengan perempuan bernama Reta.
***
Hadi memarkirkan motornya di pelataran rumah bersamaan dengan azan magrib yang berkumandang. Sayup-sayup ia mendengar tangis dari dalam rumah.
Laki-laki itu menghela napas dalam. "Pasti si bontot yang nangis. Pasti Matun belum mandi juga. Ini nih yang bikin males pulang. Suami pulang istri masih kucel. Mana bau lagi. Beda banget sama Reta yang selalu menyambutku dengan cantik dan wangi."
Suara tangis semakin kencang terdengar, ia segera masuk dan menemui sang istri. Benar saja. Daster lusuh menghiasi dengan rambut yang diikat asal. Dalam gendongan istrinya anak mereka menangis.
"Dek. Rio kenapa?" tanyanya saat ia mendekat, tidak terlalu dekat karena ia tidak betah dengan aroma sang istri.
Matun menoleh. "Bang, baru pulang?" Perempuan itu mendekati suaminya dan meraih tangan untuk bersalaman.
Mau tidak mau Hadi pun menerimanya. Kening Matun terlipat kala merasakan sesuatu, ia menatap suaminya penuh tanya. "Bang. Kok tangan Abang bau parfum perempuan?"
Untuk sesaat Hadi terkejut, dalam hati ia menduga pasti parfum Reta yang tertinggal. Namun, secepat itu ia memasang senyum. "Mungkin parfum orang-orang kantor nempel di tangan Abang pas waktu kami berjabat tangan. Tadi Abang bertemu mereka waktu mau pulang. Tahu sendiri orang kantor parfumnya bagaimana, wanginya masya Alloh. Kalau ada orang kantor nih, ya. Orangnya belum ada tapi baunya udah kecium, kalau udah lewat dan orangnya udah nggak ada, baunya masih aja ketinggalan. Nggak laki nggak perempuan. Maklum. Parfum mahal kali, ya?"
Matun ikut tersenyum mendengar ucapan suaminya. "Jadi Rio kenapa, Dek?"
"Susunya habis, Bang," ucap Matun.
Hadi menatap anaknya. "Bagaimana kalau kita sudahi saja susunya Rio?"
Matun memandang suaminya terkejut. "Tapi, Bang—"
"Apa-apa, kan sekarang mahal. Coba kita siasati saja bagaimana." Matun hanya diam, ia memandang putra bungsunya dan mencoba menenangkan.
"Abang mau mandi dulu, ya. Magrib dulu. Habis itu biar Abang yang gendong Rio."
Matun mengangguk. "Cepetan ya, Bang. Matun belum mandi soalnya." Hadi tersenyum dan mengangguk. Ia memasuki kamar untuk mengambil handuk.
"Lihat. Jauh sekali, kan bedanya. Parfum Reta saja masih nempel di tanganku sampai rumah. Matun mah bikin ngelu," gerutu Hadi lirih. Tidak ingin istrinya mendengar.
Saat keluar dari kamar ia teringat anak pertamanya. "Pendi mana, Dek?"
Matun yang masih mencoba menenangkan Rio menoleh sebentar. "Ke masjid, Bang." Setelah mendapat jawaban Hadi segera menuju kamar mandi.
Matanya membulat kala melihat baju kotor yang masih direndam dalam bak besar. "Apa saja, sih yang dilakukan Matun di rumah? Sampai baju saja belum dicuci?" Ia memegang dahinya sembari menggeleng.
Tidak mau ambil pusing, Hadi segera membersihkan dirinya. Membasuh agar wangi Reta hilang meskipun sebenarnya ia tidak rela. Hanya saja, ia tidak ingin Matun curiga.
***
Sepiring nasi dan ayam bumbu kecap serta tumis kangkung di hadapannya, Hadi segera bersiap untuk menyantap makan malam.
Selain bau dan kucel juga gemuk, ini yang Hadi sukai dari Matun. Tidak dipungkiri kalau masakan istrinya itu memang enak. Matun pun tahu selera makannya.
Meskipun masakan Reta juga enak, tapi ia akui Matun lebih jago. Daging tebal ia gigit, masuk ke mulut dan dikunyahnya.
"Bang. Abang sudah selesai belum?" teriak Matun dari luar.
Hadi yang masih menikmati makanannya mendengus seketika. "Sebentar ya, Dek!" teriaknya balik.
"Nggak tahu apa lagi enak-enak makan? Ganggu saja." Ia masih menikmati makanannya. Bagi Hadi makan tanpa dinikmati tidak bisa tenang.
Di lain sisi, Matun masih mencoba untuk menenangkan anak bungsunya. Seorang perempuan dengan celana kulot datang mendekat.
"Nangis mulu, Tun?" Dia Niswa, kakaknya Matun.
Matun mendongak, "Iya, Mbak. Susunya abis."
"Dibuatkan lah, Tun."
Matun hanya tersenyum dan berucap tidak enak hati. "Rio lagi dicoba lepas susu, Mbak."
Niswa yang mendengar terkejut. "Kenapa buru-buru. Belum dua tahun juga." Matun hanya tersenyum, tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya.
Pandangan Niswa jatuh pada pakaian Matun. "Kamu belum mandi, Tun."
Lagi-lagi Matun tersenyum. "Belum, Mbak."
"Hadi mana?"
"Tadi katanya mandi, Mbak. Mungkin sekarang salat magrib."
"Hadeh," ucap Niswa. "Sini Rionya, kamu mandi dulu sana. Udah gelap gini masih belum mandi." Niswa berusaha meraih Rio dari gendongan Matun.
"Tapi, Mbak nggak capek emang?" Pasalnya, kakaknya ini juga baru saja pulang kerja dari sift pagi. Meskipun pulangnya lebih dulu dari Hadi, tapi Matun tahu kalau kakaknya baru saja membereskan rumah.
"Sudah. Timbang gendong ini." Rio sudah beralih gendongan pada Niswa. "Wes. Ndang mandi sana."
Matun mengangguk. "Terima kasih, Mbak." Matun segera masuk ke rumah untuk membersihkan diri.
Ia melihat suaminya yang makan sambil nonton tivi. Matun menggeleng, tidak habis pikir dengan sang suami yang asyik makan. Akan tetapi, perempuan itu berpikir positif. "Mungkin kelaparan dan lelah setelah bekerja," ucapnya lirih.
Matun pun meninggalkan ruang tengah dan mengambil handuk di dalam kamar, ia sedikit menghela napas kala melihat handuk bekas suaminya yang tergeletak di atas ranjang.
Matun mengangkatnya. "Yah. Jadi basah, kan." Menoleh pada bahu Matun berteriak! "Bang. Kalau selesai pakai handuk handuknya digantung. Biar ranjangnya nggak basah."
"Iya." Di tempatnya hadi memutar bola matanya malas. Meletakkan piring bekas makan, ia keluar dari rumah.
Melihat kakak iparnya yang sedang menggendong Rio. Hadi mendekat. "Rionya anteng, Mbak?"
Niswa menoleh, "Iya." ucap Niswa. Hadi hanya menyengir memperlihatkan giginya.
"Nih, tarok sana di dalam." Niswa memberikan Rio pada Hadi. "Rio belum ada dua tahun. Jangan diputus dulu susunya. Kasihan."
Tanpa kata Hadi hanya mengangguk, lalu segera masuk untuk meletakkan Rio di kamar. Setelahnya ia memasuki area dapur, mendekati bak cucian untuk ia cuci.
Matun yang baru saja keluar dari kamar mandi melihat suaminya. "Bang. Abang istirahat saja dulu."
"Nggak papa. Kamu pasti juga capek ngurus rumah seharian. Biar aku bantu dikit-dikit." Matun tersenyum. Ia bersyukur suaminya mau membantu.
"Terima kasih, Bang." Hadi mengangguk. Setelah istrinya pergi, Hadi meliriknya sekilas.
"Hanya untuk formalitas, biar nggak dikatain suami tega," ucapnya sembari menggilas pakaian dengan kaki.
***
Setelah tujuh hari kematian ibunya, Hadi mendapat petuah dari para kakaknya mengenai Matun dan juga hubungan mereka. Lalu di sinilah ia berada, di depan rumah Matun yang masih tertutup.Setelah kemarin ia menempuh perjalanan dari Tuban kembali ke tempat ini, Hadi memutuskan mendatangi kediaman Matun esok harinya. Mengedarkan pandangan, keningnya sempat mengerut kala tidak mendapati siapa pun di sini."Biasanya, kan Matun main sama Rio di halaman. Ini pada ke mana?" Ia mendekati kaca, mengintip dai kaca buram itu untuk melihat ke dalam rumah. Tampak sepi.Tangan Hadi terangkat untuk mengetuk pintu. "Matun," panggilnya. Beberapa kali ia memukul pelan pintu kayu di hadapannya. Akan tetapi tidak ada sahutan dari Matun sama sekali."Tun," panggilnya lagi. Tetap tidak ada jawaban."Ngapain ke sini lagi?" Suara bernada sinis itu membuat Hadi menoleh. Ia melihat Fiddun dan Mbah Makijan berdiri di halaman rumah. Kalau dilihat dari penampilan mereka sepertin
Hadi segera berlari ke arah ibunya yang terlihat damai dalam mata terpejam. "Mak," panggilnya lirih.Mata mulai berkaca, bahu mulai bergetar dan suara isakan kecil mulai terdengar. "Mak," panggilnya lagi.Ia menggapai tangan ibunya dari genggaman Matun, bahkan Hadi sedikit mendorong tubuh Matun agar menyingkir dari tubuh ibunya. "Mak. Bangun, Mak." Ia mengguncang tubuh yang sudah mulai terasa dingin itu."Mak. Bangun, Mak. Jangan tidur, Mak." Air mata mulai berjatuhan dari pipinya.Hadi menoleh, memandang Matun yang berdiri di belakang tubuhnya dengan mata sembab meski tidak ada tangis yang terdengar. "Kau apakan Makku, Tun?"Matun yang sebelumnya memandang tubuh tidak berdaya mertuanya menoleh, memandang Hadi dengan sorot mata penuh kebingungan. "Apa maksudmu, Bang?""Kau yang sedari tadi bersamanya. Lalu kau apakan Makku sampai ia tidak mau bangun?" tanyanya dengan keras.Matun memandang Hadi sengit di balik mata berkaca. Ia menarik
Tanpa menunggu lagi, Hadi segera menyiapkan diri untuk berangkat ke Tuban. Tidak peduli saat kondisi langit sudah menggelap dikarenakan sang Surya sudah waktunya beristirahat. Yang jelas Hadi ingin pulang dan menemui ibunya.Gelisah meliputi diri Hadi sepanjang perjalanan. Ia mencoba fokus untuk tetap dalam keadaan aman. Hingga hampir jam sembilan malam ia telah sampai di kediaman ibunya.Seperti biasa, beberapa anak dari kakak-kakaknya berkumpul di pelataran rumah tua yang didominasi kayu jati itu. Setelah memarkirkan motornya ia langsung berlari memasuki rumah."Mak," panggilnya. Ia melihat beberapa kakak dan kakak iparnya yang duduk di ruang tamu. Pandangannya mengedar, ketika tidak mendapati sosok ibunya Hadi berlari lebih ke dalam rumah, tepatnya menuju kamar sang ibu."Mak," panggilnya. Ia melihat seorang kakak perempuan Hadi yang duduk di tepi ranjang. Tanganya tidak diam, melainkan sedang memijat kaki yang memiliki kulit keriput itu."Sudah
Hadi segera menyalakan mesin motor dan mengikuti seseorang yang baru saja dilihatnya. Kecepatan yang dipacu di atas rata-rata membuat seragamnya bertebaran karena angin.Motor melambat, berbelok pada suatu gang membuat ia melakukan hal yang serupa. Hingga sampai di mana motor yang ia ikuti sampai di sebuah bangunan yang cukup besar, lagi-lagi membuat Hadi terkejut.Memarkirkan motor di bawah pohon nangka, Hadi berjalan pelan ke arah rumah itu. Keadaan gerbang yang tidak dikunci membuat ia bisa memasuki teras rumah bernuansa abu-abu di hadapannya.Motor yang sebelumnya ia ikuti sudah berdiri berbaris dengan sebuah mobil. Hadi kembali melanjutkan langkah untuk mengetahui siapa pemilik rumah ini sehingga Reta masuk ke sini."Apa ini rumah orang tuanya?" tanya Hadi pada diri sendiri. Ia berpikir di samping tiang rumah, menyangga dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang lain membelai dagu dengan kerutan yang menghiasi kening."Lalu, laki-laki tadi?" Bo
Hadi mengacak rambutnya kasar, merasa frustrasi dengan apa yang dihadapi saat ini. "Kenapa semuanya bisa kacau begini, sih?" Ia menarik napas dalam lalu membuangnya melalui mulut dengan kasar.Bangkit dari duduk, ia berjalan mondar-mandir ke sisi kanan ruangan lalu berbalik lagi ke sisi kiri ruangan. "Gimana bisa ketahuan? Sekarang Matun udah minta pisah. Ah. Mana belum dapat apa-apa dari dia."Menunduk dengan menumpukan kening pada dinding, lalu memukul dengan tangan. Saat ini ia berada di suatu kosan kecil sederhana yang asal-asalan ia dapat. Yang terpenting ada tempat berteduh dari panas dan hujan. Untuk sementara. Ya. Untuk sementara.Karena. "Aku harus meyakinkan Matun lagi untuk mau kembali denganku. Bagaimanapun aku nggak bisa hidup seperti ini."Pandangan Hadi jatuh pada bungkusan di atas kasur lipat, sebuah nasi bungkus dengan satu gelas air minum kemasan lima ratusan. Ia menarik napas panjang. Jika biasanya Hadi sarapan dengan masakan Matun yang
Setelah Pendi berangkat dan menitipkan Rio ke tempat kakaknya, Matun memasuki kamar. Ia mulai mengeluarkan semua pakaian Hadi yang ada di lemari, lalu memasukkannya ke dua plastik merah besar seperti saat dia akan menarik kreditan. Kali ini putusannya benar-benar bulat untuk berpisah dari Hadi.Matun meneliti lemari, berharap tidak ada baju Hadi yang tertinggal. Semua barang yang bersangkutan dengan Hadi harus segera disingkirkan. Ia tidak ingin lagi berurusan dengan pria itu."Semuanya harus dibuang, dibalikkan pada orangnya. Sudah lelah aku menjadi perempuan bodoh," ucap Matun yang memasukkan sisa-sisa pakaian Hadi ke dalam plastik.Setelah selesai Matun membawa plastik merah besar berisi pakaian Hadi menuju ruang tamu, ia akan mengeluarkan semua pakaian itu di depan rumah, menunggu suaminya datang lalu mengutarakan niat yang sudah diambil.Baru saja perempuan itu membuka pintu rumah, ia sudah dikejutkan dengan kehadiran Hadi di balik pintu yang memasan