Share

Bab 7. Persiapan Konferensi Pers

"Andara, kau di mana? Aku sudah muak melihat puluhan wartawan yang sedari tadi berkeliaran di sekitar cafe untuk mencarimu?" 

Andara menjauhkan ponsel dari telinga, suara cempreng dan melengking milik Sofia membuat gendang telinga rasanya ingin pecah. 

"Dia perempuan, tapi kenapa tidak punya sisi kalem sama sekali? Suaranya bahkan layaknya toa," dumel Andara sembari mengelus telinga.

Namun, tak ingin membuang waktu dan membuat si penelepon semakin emosi, Andara kembali mendekatkan benda canggih tersebut ke samping telinga. Dia juga sudah bersiap menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan.

"Aku berada di rumah sekarang, tadi aku sempat dikejar para wartawan itu saat hampir sampai di cafe, untung saja aku bisa lolos dari mereka," jawab Andara dengan degup jantung yang masih tak sepenuhnya kembali normal. Adegan kejar-kejaran antara dia dan beberapa wartawan baru terjadi beberapa menit yang lalu. Untung saja nasib baik berpihak padanya, tukang ojek yang tadi mengantarnya berkendara begitu cepat hingga para wartawan tertinggal jauh.

"Lalu apa yang harus aku lakukan sekarang? Apakah aku harus menyuruh para orang-orang ini ke rumahmu agar mereka meninggalkan cafe?" tanya Sofia.

Andara mendengkus kesal mendengar pertanyaan bodoh dari teman kerjanya itu. Sia-sia pelarian Andara tadi, jika ujung-ujungnya para wartawan menemukan tempat persembunyiannya. 

"Janganlah. Kau usir saja mereka, lalu katakan jika aku libur kerja untuk seminggu ke depan," jawab Andara yang memberikan alasan secara asal.

"Libur? Sejak kapan bos memberikanmu libur sebanyak itu?"

"Itu hanya sebuah alasan supaya mereka pergi dan tak datang lagi ke cafe, Sofia," balas Andara dengan menekan nama sofia. "Sudah paham bukan? Jadi, aku tutup teleponnya, ya?"

"Eits, jangan dulu."

"Ada apa lagi?" Andara berdecak kesal.

"Kenapa kau tidak memberitahu aku jika kau dan ayang Fabian adalah sepasang kekasih, hah? Kau benar-benar tega menikung temanmu ini." Suara Sofia terdengar didramatisir biar terkesan sebagai orang yang sedang tersakiti.

"Aku akan menceritakannya kapan-kapan. Sekarang aku tutup teleponnya dan ingat jangan beritahu siapa pun soal keberadaanku saat ini, oke?"

"Baiklah."

Setelah itu, Andara mengakhiri panggilan tersebut. Kemudian, melempar asal ponsel ke atas tempat tidur.

Andara membaringkan tubuh sembari menatap langit-langit kamar yang tak lagi berwarna putih bersih.

"Menjadi kekasih aktor terkenal ternyata tak begitu menyenangkan," gumamnya.

***

Fabian berdecak kesal karena harus mengantarkan gaun, aksesoris, dan sepatu yang akan dikenakan oleh Andara nanti malam saat menghadapi acara konferensi pers. Fabian awalnya menolak, terlalu malas untuk bertemu sosok menyebalkan seperti Andara. Namun, ucapan dan segara bujuk rayu Akila membuat dia luluh dan akhirnya mau melakukan hal menyebalkan itu.

"Antarkan ini untuk Andara. Nanti kalau kamu udah sampe di rumahnya, jangan langsung pulang. Berbincanglah dengan dia sebentar agar kalian semakin akrab dan tidak terlalu canggung nanti saat acara konferensi pers telah dimulai." Begitulah kira-kira kalimat perintah dari Akila tadi saat menyuruh Fabian.

Berbekal alamat yang diberikan oleh Zelian, Fabian akhirnya sampai juga di kediaman sederhana milik Andara. Sebelum turun dari mobil, Fabian memasang masker dan kacamata hitam, itu hanya buat jaga-jaga siapa tahu ada orang yang melihat dan mengenalinya di sekitar perumahan itu. 

Fabian berjalan memasuki halaman yang cukup luas itu hingga akhirnya mencapai teras. Dia memperhatikan sekeliling, nampak begitu sepi. Apakah di rumah ini benar-benar ada kehidupan atau tidak?

Pria sipit itu memutuskan untuk mengetuk pintu beberapa kali. Namun, tak kunjung ada respon. Sekali lagi dia mengetuk cukup keras lalu berbalik badan membelakangi pintu. Bukannya adab bertamu seperti itu?

Suara pintu terbuka berhasil tertangkap pendengaran, bukan hanya itu suara seseorang turut mengisi suasana hening yang menyelimuti tempat itu.

"Siapa?" 

Fabian berbalik dan melepaskan kacamata hitam hingga mata sipitnya nampak begitu jelas.

Andara langsung menatap sinis pria tersebut saat dia tahu siapa gerangan si tamu. Dia bersedekap sembari bersandar pada daun pintu.

"Kenapa kau datang ke sini? Ingin menumpang bersembunyi dari awak media?" tanya Andara songong.

"Wanita cerewet. Kenapa aku harus terlibat dengan wanita sok tahu seperti ini?" dumel Fabian sembari memutar mata malas.

"Diam kau!" Apa katanya? Andara cerewet? Pria itu saja yang terlalu menyebalkan hingga sisi cerewet Andara terus keluar setiap kali bertemu dengannya.

"Ambil ini." Fabian menyerahkan paper bag yang sedari tadi dijinjingnya. "Cepatlah," katanya lagi saat Andara tak kunjung mau menerimanya.

"Apa ini?" tanya Andara dengan mata menyipit, menatap penuh selidik pada pria di hadapannya.

"Gaun, aksesoris, dan sepatu untuk kau kenakan malam ini," jawab Fabian nampak ogah-ogahan.

"Terima kasih." Andara langsung mengambil alih paper bag tersebut. Kemudian, dia kembali masuk dan hendak menutup pintu.

Namun, Fabian mencegahnya. Fabian menahan pintu tersebut dengan sekuat tenaga hingga akhirnya Andara mengalah dan kembali membukanya lebar-lebar.

"Maumu apalagi, sih? Urusanmu sudah selesai, sebaiknya kau pulang. Aku ingin istirahat," usir Andara dengan wajah ditekuk karena kesal.

"Eits, siapa bilang urusanku sudah selesai? Kau salah besar, Nona Sok Tahu! Akila menyuruhku untuk tetap di sini, mungkin sekitar satu atau dua jam. Katanya kita harus ngobrol berdua agar terlihat lebih akrab lagi, biar saat tampil di depan publik nanti kita tak terlalu kaku."

Andara mengembuskan napas berat. Keputusan yang diambilnya ternyata tak semudah yang dia pikirkan. Ternyata benar, ada harga mahal yang harus dibayar demi suatu kebahagiaan. Kalau bukan karena uang dan dapat kembali lagi dengan Zelian, Andara tak akan mau berurusan dengan yang namanya Selebritis dan para awak media.

"Ya, sudah, masuk." Setelah itu, Andara masuk terlebih dahulu dan meninggalkan Fabian yang masih berdiri di ambang pintu. "Oh, iya, jangan lupa tutup kembali pintunya. Aku mau menyimpan ini di kamar," teriak Andara sembari menggoyangkan paper bag di tangannya. 

Fabian hanya menurut saja. Setelah itu, dia duduk di kursi ruang tamu milik Andara, memang tak seempuk sofa di rumahnya, tetapi Fabian cukup nyaman duduk di sana.

Fabian melepaskan maskernya lalu dimasukan ke saku celana, sedangkan kacamata diletakkan di atas meja. Pandangannya perlahan menyapu setiap sisi ruangan ini. 

Ada beberapa foto yang dipajang di dinding ruang tamu itu, salah satunya foto seorang anak kecil yang mengenakan seragam taman kanak-kanak dengan rambut yang dikuncir dua.

"Imut juga dia saat masih kecil, tapi sayang sekarang dia tumbuh jadi wanita menyebalkan," ujar Fabian tanpa sadar jika Andara sudah kembali lagi ke ruang tamu dan berdiri tepat di belakangnya.

"Ekhem!" dehem Andara begitu keras agar pria itu menyadari kehadiran.

Fabian terperanjat saking kagetnya. Dia mengelus dada sembari menoleh ke arah si pembuat ulah.

"Kau bilang apa tadi?" tanya Andara dengan senyum lebarnya yang malah nampak mengerikan.

Bulu kuduk Fabian meremang melihatnya. Pria itu bergidik ngeri dan memutuskan untuk tak mengatakan dengan jujur apa yang baru saja dia katakan tentang wanita itu. "Bukan apa-apa."

"Ngomong-ngomong, kau tinggal sendiri di sini?" tanya Fabian, penasaran karena sedari tadi tak ada orang lain yang dijumpai di rumah ini selain Andara.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status