LOGINAlea, gadis berusia dua puluh dua tahun, tengah terbaring koma di rumah sakit akibat kecelakaan. Dunia baginya nyaris berakhir, hingga suatu hari ia membuka mata dan mendapati dirinya bukan lagi Alea. Ia kini terjebak dalam tubuh seorang wanita dewasa bernama Elira Veyron, istri sah dari Leonard Veyron — pria terkaya dan paling berkuasa di kota Aurelith. Namun hidup baru itu jauh dari indah. Dari sedikit potongan memori Elira yang muncul di benaknya, Alea tahu bahwa Elira bukanlah wanita bahagia. Ia terikat dalam pernikahan tanpa cinta, hanya sebuah ikatan perjodohan. Elira mencintai Leonard dengan sepenuh hati, tetapi cinta itu bertepuk sebelah tangan, sebab hati sang suami telah lama dimiliki wanita lain. Yang lebih mengerikan, kenangan terakhir Elira membawanya ke sebuah danau yang gelap. Ia berdiri di sana, menangis, sebelum akhirnya terjatuh ke dalam air. Tapi apakah itu pilihan Elira untuk mengakhiri hidupnya, atau ada seseorang yang mencoba menyingkirkannya? Misteri itu membuat Alea semakin takut—sebab jika Elira memang dijebak, berarti dirinya pun sekarang sedang dalam bahaya. Di tengah kebingungan, Alea harus menjalani peran sebagai Elira. Ia harus menghadapi keluarga besar Veyron yang penuh intrik, para pelayan yang mencurigainya, serta Leonard—suami dingin yang sama sekali tidak pernah menginginkannya. Namun Alea bukan Elira. Ia bukan wanita pasrah yang rela diinjak. Jiwa mudanya yang berani, blak-blakan, dan penuh rasa ingin tahu membuatnya melawan, membuat semua orang terkejut dengan “perubahan” sikap Elira. Termasuk Leonard, yang perlahan mulai melihat sisi lain dari istrinya. Apakah Alea akan menemukan alasan sebenarnya mengapa Elira ditemukan di danau? Apakah ia bisa keluar dari tubuh itu, atau justru harus menjalani hidup sepenuhnya sebagai Elira? Dan dalam pernikahan yang awalnya dingin dan hampa, mungkinkah cinta benar-benar tumbuh… atau justru luka lama kembali menyeretnya ke jurang yang sama? Sebuah kisah tentang rahasia, pernikahan, luka batin, dan cinta yang lahir di tempat tak terduga.
View More“Jangan tidur, Alea! Bertahanlah!”
Suara itu samar, panik, lalu menghilang begitu saja. Tubuhku terasa ringan, seolah melayang tanpa arah. Di sekitarku hanya ada gelap pekat, menelan semua suara dan cahaya. Aku ingin membuka mata, tapi kelopak mataku berat. Ingin bicara, tapi lidahku kelu.
Aku… di mana?
Yang kuingat terakhir kali hanyalah bunyi rem mobil yang berdecit keras, cahaya lampu yang menyilaukan, lalu benturan keras. Setelah itu kosong.
Aku mencoba meraih sesuatu, tapi tanganku menembus udara. Semuanya hampa. Dadaku sesak, namun anehnya, tidak sakit. Hanya… dingin.
“Apakah aku mati?” bisikku pada diri sendiri, suara itu hanya menggema dalam kepalaku.
Tiba-tiba, cahaya kecil muncul jauh di depan sana. Aku berlari atau mungkin lebih tepatnya melayang ke arah cahaya itu. Semakin dekat, semakin terang, hingga membuatku harus menutup mata.
Saat kubuka kembali, aku tidak lagi berada di kegelapan.
Aku terbangun di sebuah ranjang megah dengan sprei putih bersulam benang emas. Di atas kepalaku tergantung lampu kristal yang berkilau. Aroma lembut lavender tercium di ruangan itu.
Aku terkejut. Ini bukan kamarku. Bukan pula rumah sakit.
“Nyonya Elira… Anda sudah sadar.”
Aku mendongak. Seorang wanita paruh baya dengan seragam pelayan berdiri di tepi ranjang. Tubuhku kaku. Elira? Siapa itu?
Aku ingin berkata, ‘Aku Alea, bukan Elira’, tapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan.
Pelayan itu tersenyum lega. “Saya akan segera memanggil Tuan Leonard. Mohon jangan bergerak terlalu banyak, Nyonya.”
Leonard?
Sebelum aku sempat bertanya, kepalaku berdenyut. Gambar-gambar asing melintas di benakku—seperti potongan film yang diputar cepat.
Seorang wanita berambut panjang berdiri di tepi danau yang gelap, bahunya bergetar menahan tangis. Wajahnya pucat, matanya sembab. Air beriak di bawah kakinya.
“Mengapa kau tidak pernah melihatku, Leonard? Apa aku begitu tak berarti?”
Suara itu pecah dalam kepalaku, begitu menyayat.
Wanita itu Elira? melangkah setapak lebih dekat ke tepi. Angin dingin menerpa, gaunnya berkibar. Dalam sorot matanya ada kepedihan yang menusuk, seolah dunia telah merenggut semua harapannya.
Lalu… sebuah bayangan muncul di belakangnya. Samar. Aku tidak bisa melihat jelas siapa itu. Setelahnya, tubuh wanita itu jatuh. Air danau menyambutnya dalam gelap yang menakutkan.
Aku terengah, tubuhku gemetar. Itu… apa barusan? Apakah itu kenangan Elira? Atau mimpi?
Pintu terbuka. Seorang pria masuk.
Aku langsung terpaku.
Dia tinggi, tegap, wajahnya tampan dengan rahang tegas, rambut hitamnya tersisir rapi. Tapi bukan itu yang membuatku terdiam melainkan tatapannya. Mata hitam itu begitu dingin, menusuk, seakan menguliti sampai ke tulang.
“Ingat peringatanku, Elira.” Suaranya dalam, datar, tanpa emosi. “Jangan coba-coba membuat masalah lagi. Kau sudah cukup memalukan keluarga ini.”
Aku menelan ludah, jantungku berdentum tak karuan. Jadi ini Leonard? Suami Elira?
Tunggu… suami? Jadi aku sekarang… istri orang?
Aku ingin tertawa, tapi tidak ada yang lucu. Hidupku yang normal kuliah, nongkrong dengan sahabat, punya mimpi jadi penulis hilang begitu saja. Kini aku berada di tubuh wanita lain, dengan suami yang jelas-jelas membencinya.
Aku mengerjap, menatap pria itu tanpa sadar. “Kau… siapa?” tanyaku lirih.
Alisnya langsung berkerut, tatapannya semakin tajam. “Hentikan sandiwara bodohmu, Elira. Aku tidak punya waktu untuk lelucon konyol.”
Aku menggigit bibir. Jadi… semua orang di sini benar-benar mengira aku adalah wanita bernama Elira.
Dalam hati aku berteriak, aku Alea, bukan Elira! Tapi tak ada gunanya. Mulut ini seperti terikat oleh takdir asing yang memaksaku menjalani peran ini.
Leonard mendekat, aura dinginnya semakin terasa. Ia menunduk sedikit, menatapku dari jarak dekat.
Aku membeku. Jadi benar… Elira ditemukan di danau. Tapi… apa dia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya? Atau ada sesuatu yang lain?
Aku masih terpaku, jantungku berdegup terlalu cepat. Kata-katanya barusan—“jangan harap aku akan menolongmu lagi”—membuat tubuhku merinding. Jadi… Elira benar-benar hampir mati di danau itu?
Tapi tunggu… “lagi”? Artinya Leonard sendiri yang menyelamatkannya? Kalau memang dia tidak peduli, kenapa repot-repot menarik Elira dari air?
Aku menelan ludah, menatap pria itu dalam-dalam. Wajahnya tanpa ekspresi, seolah diriku ini hanyalah orang asing yang kebetulan numpang tidur di rumahnya.
“Aku tidak tahu apa yang kau maksud,” aku memberanikan diri bicara. Suaraku terdengar bergetar, tapi aku berusaha menegakkan dagu, tak ingin terlihat lemah. “Aku bahkan tidak tahu… siapa kau.”
Hening.
Sejenak, udara di kamar itu seperti membeku. Tatapan Leonard menusukku, penuh keterkejutan dan amarah yang ditahan.
“Beraninya kau bermain drama di depanku.” Rahangnya mengeras, nada suaranya nyaris seperti geraman. “Kau pikir aku tidak tahu permainanmu? Menjatuhkan diri ke danau, membuat semua orang panik, lalu berharap aku akan bersimpati? Kau benar-benar… menyedihkan.”
Aku ternganga. Jadi dia pikir Elira sengaja menjatuhkan diri hanya untuk mencari simpati?
Darahku mendidih. Kalau aku benar-benar Elira, mungkin aku akan menunduk pasrah, menangis dalam diam. Tapi aku bukan dia. Aku Alea. Dan aku tidak bisa membiarkan kata-kata seperti itu masuk tanpa perlawanan.
“Kalau aku memang ingin mati,” kataku cepat, nada suaraku meninggi, “kenapa harus menyusahkanmu? Kau pikir seluruh hidupku hanya berputar di sekeliling perasaanmu?”
Leonard menoleh cepat, sorot matanya tajam. Mungkin dia kaget mendengar balasan seperti itu dari wanita yang selama ini dikenal pendiam dan pasrah.
Aku menatapnya, dada naik turun, menahan emosi. “Aku tidak tahu apa yang pernah Elira lakukan sampai kau begitu membencinya. Tapi satu hal yang jelas, aku tidak akan lagi jadi perempuan menyedihkan yang kau injak seenaknya.”
Aku sendiri kaget dengan keberanianku. Kata-kata itu meluncur begitu saja, tanpa bisa kucegah.
Pelayan yang masih berdiri di pintu menunduk dalam-dalam, jelas terkejut dengan percakapan ini. Ia buru-buru mundur, menutup pintu rapat-rapat, seolah takut menjadi saksi lebih jauh.
Keheningan kembali menyelimuti ruangan.
Leonard menatapku tajam, kedua tangannya terkepal di samping tubuhnya. Untuk sesaat aku pikir dia akan berteriak atau melempar sesuatu. Tapi tidak. Ia hanya mendekat, langkah-langkahnya berat dan penuh wibawa.
Aku menahan napas saat wajahnya hanya sejengkal dari wajahku. Aroma maskulin samar tercium, tapi aura dinginnya menelan segalanya.
“Kalau kau pikir aku akan terjebak oleh sandiwara baru ini,” katanya pelan, nadanya dingin tapi jelas, “kau salah besar. Kau tetaplah wanita yang bukan pilihanku. Jangan pernah bermimpi lebih dari sekadar nama yang terikat denganku di atas kertas.”
Aku terdiam. Kata-kata itu menusuk, walau aku tahu bukan aku yang dimaksud. Itu untuk Elira. Tapi entah kenapa, rasanya sakit juga.
Tanpa menunggu jawabanku, Leonard berbalik dan melangkah keluar. Pintu tertutup dengan dentuman pelan, meninggalkan aku sendirian dalam keheningan.
Aku menatap langit-langit, mencoba mencerna semuanya. Jantungku masih berdegup kencang.
Astaga… aku benar-benar terjebak dalam hidup wanita lain. Dan suaminya… benar-benar pria paling dingin yang pernah kutemui.
Aku menggenggam selimut erat-erat. Aku harus mencari cara. Aku harus tahu kenapa aku bisa ada di tubuh ini. Dan yang paling penting… apa yang sebenarnya terjadi di danau itu?
Aku menarik napas panjang, lalu menutup mata. Lagi-lagi, bayangan danau itu datang. Sosok Elira berdiri di tepi air, menangis, gaunnya basah oleh embun malam. Dan… ada bayangan lain di belakangnya. Aku mengejap, mencoba melihat lebih jelas, tapi selalu buram.
Siapa itu? Apakah seseorang mendorongnya? Atau hanya ilusi dari kepedihan Elira?
Kepalaku terasa sakit, tapi aku tahu satu hal: aku tidak bisa diam. Kalau memang ada seseorang yang berusaha menyingkirkan Elira, maka aku juga yang sekarang jadi sasarannya.
Dan aku—Alea—tidak akan membiarkan diriku jadi korban.
Pagi itu udara terasa lebih ringan, tapi entah kenapa dadaku justru terasa penuh. Aku berdiri di depan cermin, menatap pantulan wajah Elira—kulit pucat, mata lembut, dan garis rapuh yang selalu membuat orang mengira ia mudah dihancurkan.Namun hari ini berbeda.Ada sesuatu yang hidup di balik mata itu. Sesuatu yang tidak lagi mau tunduk.“Gaun ini cocok sekali,” ujar Mira sambil merapikan lipatan kain biru muda di bahuku. “Tuan pasti… terkejut.”Aku tersenyum tipis. “Itu tujuannya.”Mira terdiam, lalu ikut tersenyum kecil. Ia pasti juga merasakan perubahanku. Elira yang dulu tak pernah peduli dengan penampilan—seolah ingin menghilang—kini berdiri tegak, tenang, dan
Malam turun dengan cepat, menyelimuti rumah besar keluarga Valdez dengan keheningan yang dingin. Lampu-lampu taman sudah dinyalakan, memantulkan cahaya lembut di permukaan danau yang tenang.Aku berdiri di jendela kamar, menatap ke arah gelapnya air itu. Bayangan pohon-pohon besar di sekelilingnya tampak seperti sosok-sosok raksasa yang berjaga. Ada sesuatu di sana… aku bisa merasakannya.“Kalau memang jawabannya ada di tempat itu,” gumamku, “aku harus melihat sendiri.”Dengan hati-hati aku mengenakan mantel tipis, lalu membuka pintu kamar. Koridor sunyi, hanya cahaya lilin kecil yang menerangi. Aku melangkah pelan, menahan napas setiap kali papan lantai berderit di bawah kakiku.Beruntung, Mira sudah memberitahuku jalur yang lebih sepi menuju taman belakang—melewati lorong samping dapur, bukan lewat aula utama.Begitu keluar, udara malam menyambut. Dingin menusuk tulang, tapi aku tetap melangkah, menuruni anak tangga batu yang mengarah ke halaman belakang.Taman itu luas, dipenuhi bu
Langkahku terasa berat saat menuruni tangga besar yang berlapis karpet merah. Jantungku berdebar, bukan hanya karena tubuh Elira masih lemah, tapi juga karena firasatku. Ada sesuatu yang menunggu di bawah sana.Seorang pelayan pria langsung menunduk hormat. “Nyonya, Tuan sedang menerima tamu di ruang utama.”Aku mengangguk singkat. Tuan—tentu maksudnya Leonard.Dengan langkah pelan, aku berjalan menuju ruang tamu. Suara tawa pelan terdengar dari balik pintu setengah terbuka. Suara wanita.Aku berhenti sejenak, merasakan hawa dingin merayap dari ujung kaki.Perlahan aku mendorong pintu.Dan di sana—di sofa panjang berlapis kain biru tua—duduklah seorang wanita muda yang mempesona. Rambut cokelatnya bergelombang indah, matanya berkilau penuh percaya diri. Senyumnya… lembut, tapi juga menusuk, seolah ia tahu betul siapa dirinya di hati lelaki yang duduk di sampingnya.Leonard.Pria itu, dengan jas abu-abu elegan, duduk begitu dekat dengannya. Senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum yang b
Setelah Leonard pergi, aku hanya bisa menatap pintu yang baru saja ia tutup. Dingin, dingin sekali pria itu. Tapi aku bisa merasakan ada sesuatu di balik tatapannya tadi… seolah-olah dia menyimpan rahasia yang tak mau diungkap.Aku menghela napas panjang, lalu duduk di tepi ranjang sambil memandangi buku harian Elira.Pagi masih sepi. Hanya suara burung dari taman yang terdengar samar melewati jendela besar kamarku. Aku baru saja menutup buku harian Elira ketika terdengar ketukan lembut di pintu.Tok… tok… tok.Aku refleks menegakkan tubuh. “Masuk,” ucapku, mencoba terdengar tenang.Pintu terbuka perlahan. Seorang wanita paruh baya melangkah masuk. Rambut hitamnya sudah memutih di beberapa bagian, disanggul sederhana. Seragam pelayan abu-abu tua melekat rapi di tubuhnya. Senyumnya hangat, meski ada kerutan lelah di wajahnya.“Selamat pagi, Nyonya,” sapanya sambil menunduk.Aku tersenyum tipis. “Pagi…” Lalu aku cepat menambahkan, “Siapa namamu?”Dia terlihat sedikit heran dengan pertan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.