Bulu kuduk Ariadna meremang, ada geli bercampur gejolak aneh di perutnya.
"Jangan..," ucap Ariadna dengan suara hampir tak terdengar, seolah perasaannya sedang berperang.
"Aku cuma mau ambil piyamaku. Kamu duduk di atasnya," jawab Vernando dengan nada geli. Jelas terlihat ada permainan di balik kata-katanya. Ariadna melompat berdiri, tubuhnya seperti tersengat listrik.
Vernando mengenakan piyamanya dengan gerakan santai, dan langsung berbaring di kasur
"Kamu yang mikir macam-macam," katanya kembali datar.
"Ka, kamu sudah mau tidur ?"
"Menurutmu?" Vernando menjawab sambil memejamkan mata. “Atau kamu punya ide lain selain tidur, setelah seharian ini berdiri?”
Ariadna diam saja. Tidak berani bertanya kenapa Vernando tidak menyentuhnya, Apakah karena kontrak kemarin atau pria itu hanya menundanya?
Tidak mendapat tanggapan lebih lanjut, Vernando akhirnya berbalik membelakangi Ariadna, dan mematikan lampu meja. Lampu kamar didesain remang-remang sehingga kamar menjadi syahdu . Ariadna masih berdiri di dekat ujung ranjang dengan bingung campur lega. Apa dia ikut saja tidur di sisi Vernando? Badannya lelah sekali.
“Maaf mengecewakan. Aku sudah cukup lelah karena pesta hari ini, aku tidak ada hasrat bermain predator-predatoran denganmu.” ujar Vernando tiba-tiba, seperti bisa membaca pikiran Ariadna.
“Si–Siapa juga yang kecewa !?” jawab Ariadna kesal.
Merasa tak ada pilihan, ia akhirnya ikut naik ke kasur, tetap memakai gaunnya, memunggungi Vernando.
Yang mengejutkan adalah Vernando sungguh tidur. Ia mendengar napas lelaki itu. Teratur. Damai. Seolah tidak ada yang salah dengan pernikahan ini.’Padahal salah semua’, rutuk Ariadna dalam hati.
Dua jam kemudian, Ariadna masih memunggungi Vernando, tapi matanya terbuka lebar dalam gelap. Tubuhnya letih, namun pikirannya berisik. Semua yang terjadi hari itu—pernikahan, pesta, kamar kaca—masih menari-nari dalam kepalanya, membuatnya sulit memejamkan mata.
Ia menarik napas pelan, lalu membalikkan tubuh perlahan. Berniat sekadar mengubah posisi tidur.
Namun ia terkejut.
Vernando ternyata juga sedang menghadap ke arahnya. Matanya terbuka. Menatap.
Wajah mereka berjarak sangat dekat. Nafasnya nyaris bersentuhan.
Ariadna menegang.
Ia ingin cepat-cepat balik badan lagi, tapi takut terlihat kaku. Ia ingin bicara, tapi lidahnya kelu. Jadi, dengan usaha setengah nekat, ia membuka mulut. Ahh pokoknya bicara apa aja deh!
“Hei…”
Mata Vernando tidak berkedip. “Katakan.”
“Aku… emm, terima kasih. Tadi… karena kau menolongku dari ayahku.”
Vernando diam. Ekspresinya tak terbaca, seperti biasa. Tapi sorot matanya tetap melekat padanya. Ariadna merasa seperti sedang ditelanjangi tanpa disentuh.
“Yah, maaf juga… karena kau sudah melihat pemandangan seperti itu,” gumamnya pelan, “Tapi begitulah keluargaku. Panutan di depan publik, tapi rusak di dalam.”
Hening,
“Apakah kau dan ayahmu selalu begitu?” tanya Vernando akhirnya, seolah menyetujui untuk mengobrol.
Ariadna menghela napas. “Yah… aku memang anak yang tidak begitu dia harapkan. Terlahir perempuan—kau tahu sendirilah, tipe orang tua kolot macam itu.”
Vernando mendengarkan. Wajahnya belum berubah, tapi matanya seolah sedikit mengendur. Masih awas, tapi tak sekeras tadi.
Ariadna mengubah posisinya menghadap langit-langit kamar. Mataya menerawang jauh “Ayah justru bersyukur saat aku diculik, dulu.”
Vernando langsung bangkit, bertumpu pada sikunya. “Diculik?”
Ariadna sedikit bergeser karena kaget. “Iya… dulu. Tapi aku nggak begitu ingat…”
“Kapan? Di mana? Seperti apa kejadiannya?” Vernando mendesak, nadanya meninggi.
“Eh…”
Tangannya mencengkeram lengan Ariadna. Tidak kasar, tapi cukup kuat untuk membuat gadis itu meringis.
“Ceritakan padaku. Ceritakan!”
“Aduh—!”
Mendengar suara pelan itu, Vernando segera tersadar. Ia melepaskan cengkeramannya dan menatap tangan Ariadna, seolah baru sadar betapa erat ia menekannya.
“…Maaf,” ucapnya akhirnya. Ariadna tidak bisa melihat itu maaf sungguhan atau bukan, karena diucapkan dengan nada datar, dan muka Vernando tidak jelas karena gelap.
Ariadna memegangi lengannya, tapi tidak menyingkir. “Aku… aku sungguh tidak ingat. Serius. Waktu itu aku masih kecil. Aku cuma pernah dengar dari ayahku… dia pernah bilang—” ia ragu sejenak, lalu melanjutkan dengan suara serak, “—‘lebih baik kau tidak pernah kembali saat diculik’. Semacam itu.”
“Lalu?”
“Aku tanya ke Pak Hasan. Kepala asistennya Ayah. Dia membenarkan. Katanya... waktu itu aku sempat hilang dua minggu. Tapi katanya jangan dibahas, karena Ayah nggak suka cerita itu muncul lagi.”
Vernando menatapnya lama. Nafasnya naik turun. Bukan karena lelah. Tapi karena... sesuatu.
“Yang namanya Pak Hasan itu, dimana dia sekarang?” tanya Vernando kemudian, kali ini dengan nada lebih santai. Mungkin untuk memperbaiki suasana.
“Beliau sudah pensiun sejak aku mulai berkuliah….. Aku tidak tahu kabarnya sekarang. Sejak keluar negeri aku tak pernah berhubungan dengan orang-orang di rumah untuk ramah tamah.”
Ariadna menunduk. “Aku gak tahu apa pentingnya buatmu. Tapi itu bagian dari hidupku, bahkan kalau aku tidak mengingatnya.”
“Apakah kau benar-benar tidak ingat?”
“Huh?”
“Bukankah itu terjadi ketika kau sudah bisa berpikir, bermain, mengenali orang. Apakah kau sunguh-sungguh tidak ingat peristiwa sebesar itu!?”
Ariadna tertegun. Vernando kembali menatapnya dengan mata yang menyala.
“Jawab aku ARIADNA!”
Menyadari Vernando sedikit goyah, gadis itu semakin agresif memainkan lidahnya di tekinga pria itu. Vernando tak mengelak, dan mulai menikmati. Tangannya yang semula memegang lengan gadis itu untuk mendorongnya turun, tanpa sadar bergerak menyusup ke baju Lysandra yang memang berleher rendah, memperlihatkan belahan dadanya. Ketika tangan Vernando meremas dada Lysandra, gadis itu mendesah pelan di telinganya “Kulum, nando…” rengeknya manja. Vernando, bagaimanapun adalah pria biasa yang sudah lama tidak dihibur wanita. Kesibukan serta kehidupan ranjangnya bersama Ariadna yang tidak pernah terjadi membuatnya sedikit stress juga. Mendengar desahan Lysandra yang memang mantannya, instingnya berjalan duluan daripada logikanya. Ditariknya kepala gadis itu dengan kasar, dan diciumnya Lysandra dengan buas seolah hilang akal.Sambil mengulum bibir Lysandra, disentakkannya blouse gadis itu hingga setengah telanjang membuat Vernando semakin leluasa meremas dan menyentuh tubuhnya. Setelah puas
Vernando sedang menerima sejumlah berkas dari Sebastian ketika Lysandra menerobos maduk ke kantornya di lantai teratas Angels. “Nona Lysandra! Sudah lama tidak….” “Diam kau ular. Pergi dari sini aku mau bicara dengan tuanmu!” Lysandra melewati Sebastian berjalan ke meja Vernando Sebastian, masih dengan senyum lebar dan tangan merentang yang diabaikan,, melirik kepada Bosnya. Vernando memijit pelipisnya, kemudian mengibaskan tangannya pada Sebastian. “Baik. Saya ada di depan jika dibutuhkan.” kata Sebatian mundur ke arah pintu dan menutupnya.Keheningan menguasai ruangan selepas Sebastian meninggalkan mereka berdua. Vernando tahu, dengan sifat keras kepala dan ego yang begitu tinggi dari Lysandra, mau tak mau ia harus memulai percakapan. "Tak usah begitu galak padanya. Dulu kalian kan sangat dekat." Vernando berkata, melihat ke arah Sebastian pergi"Hah! Jangan kau pikir aku tidak tahu soal bagaimana dia berperan penting dalam setuap keputusanmu, termasuk pada pembatalan pe
Ariadna menatap Vernando dengan pandangan tercengang. Tidak menyangka kata-kata semanis “rindu” bisa keluar juga dari bibir itu.“......Mungkin dia rindu” kata-kata itu menggema di kepalanya yang membuarnya menunduk sedikit, menyembunyikan ekspresi yang bahkan ia sendiri belum sempat pahami. Vernando mencondongkan badan lebih dekat, menatap Ariadna “Kenapa? Apa kau terganggu?” Ariadna tak menjawab. “Atau cemburu?”Ariadna berkedip, tapi dia masih diam.Vernando menyeringai tipis, memundurkan tubuhnya, bersandar ke sofa. “Jawaban diam yang cukup nyaring.”Ariadna menahan napas sejenak, lalu berkata ringan, “Cemburu adalah reaksi atas ancaman. Dan aku tidak menganggap perempuan yang berteriak dan mencakar sebagai ancaman.”Vernando tertawa kecil. “Jawaban diplomatis. Apa semua putri pejabat punya les pribadi bermain kata seperti ini?”“Aku juga heran, apa semua mafia juga bisa mengatakan istilah perasaan semacam “rindu” sepertimu?” “Mungkin agak berbeda artinya dengan kalian tapi kam
Vernando duduk diam di kursi belakang mobil, wajahnya tenang, tapi jari-jarinya mengetuk lututnya dengan ritme cepat—tanda bahwa pikirannya jauh dari damai."Lebih cepat," ucapnya pelan pada sopir, tanpa menoleh.Beberapa menit lalu, saat masih di kantor, ia menerima pesan itu. Cukup satu baris, tapi dampaknya langsung terasa.“Maaf, Pak. Nona Lysandra datang. Beliau memaksa masuk. Kami tak kuasa menghentikan.”Vernando langsung berdiri dari kursinya saat itu juga, menyuruh staf menyiapkan mobil tanpa basa-basi.Sekarang, di dalam mobil yang melaju menembus jalanan kota, ia memejamkan mata.Lysandra memang selalu seperti itu—impulsif, tak kenal waktu, dan suka membuat kekacauan yang harus dia sendiri yang bereskan.Beberapa menit kemudian, mobil berhenti tepat di depan mansion Maheswara. Vernando turun tanpa banyak bicara, langkahnya panjang dan mantap saat memasuki rumah. Ia membuka pintu utama—dan langsung disambut pemandangan yang membuatnya terkejut..Beberapa kursi ruang tamu ter
Jemarinya turun perlahan, menyusuri garis rahang gadis itu, turun ke dagu… dan akhirnya berhenti di bibirnya. Ia menekan pelan, membuka bibir lemb,ut gadis itu, kemudian menunduk.Bibir Vernando menyentuh bibir Ariadna, pertama pelan, kemudian melumatnya dengan cara yang membuat tubuh Ariadna mendadak panas, penuh kuasa. Tangan Vernando turun, menyentuh lehernya, lalu turun lagi—menemukan dadanya. Diremasnya dada gadis itu yang sudah mengeras karena hasrat. Dengan sekali gerakan, satu kancing baju Ariadna terlepas.Disusul yang kedua, hingga setengahnya terbuka, memperlihatkan kulit putih halus dibaliknya.Ariadna bergidik ketika udara dingin kamar menyentuh kulitnya, namun Vernando tidak memberi waktu untuk berpikir. Ia mendorong tubuh Ariadna perlahan ke belakang, membuat gadis itu rebah di atas kasur, lalu menindihnya. Tubuhnya hangat, aroma khas tembakau mahal dan tubuh pria dewasa menguar dekat sekali di antara mereka. Jemari Vernando menjalar dari dada menelusuri pinggangnya, l
Tiga hari sejak penculikan Ariadna, Vernando duduk di ruang kerjanya—dengan balutan jas hitam, wajah dingin, dan sebatang rokok yang bahkan takut terbakar terlalu cepat. Saingan bisnisnya banyak, tapi tidak sulit untuk langsung mengetahui kelompok yang berani menyentuh Ariadna kemarin. Apalagi selevel preman kelas bawah. Baik yang menembak dirinya dan yang menculik Ariadna adalah suruhan Owell, pengusaha beberapa tempat hiburan permainan yang sebenarnya adalah tempat judi dan transaksi obat terlarang. Kebetulan, dia memang ingin melenyapkan usaha itu sejak didengarnya Owell mulai melakukan jual beli wanita yang digelapkan dari luar negeri. “Sebastian.” panggil Vernando, pelan tapi dalam. “Perintah, Pak. ” jawab Sebastian sigap. Vernando bangkit, berdiri membelakanginya, menghadap jendela besar kantornya yang ada di lantai 20 itu. “Serang.Terbuka.” Sebastian mengangkat kepala. Tidak perlu bertanya untuk tau perintah itu ditargetkan untuk siapa. "Baik, Pak. Serang versi frontal