Share

Beken 6

*Happy Reading*

"Dev, tangkep!"

Aku pun refleks mengangkat tangan, untuk menangkap sesuatu yang dilemparkan Lika, saat baru saja sampai ruangan para model.

Hap!

Tentu saja berhasil. Karena memang aku lumayan berbakat di bidang tangkap menangkap. Apalagi menangkap kebusukan mantan dan tukang hutang yang mendadak menghilang, ugh ... pokoknya aku paling jago!

Ada yang butuh bantuan?

"Apa, nih?" Setelah benda itu ada ditanganku, aku pun sontak bertanya. Sebab sesuatu itu dibungkus cantik sekali.

"Gak tahu. Tapi kalau dilihat dari pengirimnya, paling jatah batangan hari ini."

Wew, ternyata masih tentang batangan.

Melirik nama pengirim yang tertera, aku pun hanya bisa mendesah panjang, ikut mengaminkan ucapan Lika barusan.

Thalita Euginia Alexander. Alias Tita. Siapa lagi memang? Yang paling getol mengirimi aku batangan selain dia. Sampai-sampai orang sekitarku sudah hafal betul kelakuannya itu. Meski entah beneran dari dia, atau modus papanya. Yang jelas, jujur ini mulai menggangguku.

"Tapi itu bentukannya bukan batangan, siapa tahu beda?" Tito ikut bersuara, masih sambil dengan rajin mengecek lensa kameranya.

Entah ada apa lagi dengan lensa kameranya? Pokoknya kerjaan si Toto memang begitu saja tiap hati. Meski aku akui, hasil jepretannya tidak bisa diragukan lagi.

Atau memang kerjaan semua fotografer memang begitu, ya?

"Bener juga kata Toto. Siapa tahu kali ini bukan batangan bikin sakit gigi? Tapi batangan yang bisa buat beli pulau. Ya, udah coba buka, Dev." Lika pun menanggapi dengan amtusias.

Mendesah panjang sekali lagi, aku pun mengikuti saran mereka. Yaitu membuka bungkusan itu, yang ternyata isinya ... tetap coklat.

Iya, sih. Bentukannya bukan batangan seperti biasanya. Tapi bulat-bulat, dengan bungkusan emas dan tulisan yang bikin lidahku keseleo. Apa pun itu, tetap saja akan bikin aku sakit gigi pada akhirnya.

"Tetep coklat, gaes." Aku memberi pengumuman.

"Oh ... tapi kali ini mendingan ya, Mbak. Kayaknya lebih mahal dari biasanya."

Ya iya lah lebih mahal. Dilihat dari packaging dan tulisannya aja lebih eksclusive. Sementara yang biasanya, bisa ditemukan di supermarket terdekat, dengan berbagai bentuk dan varian.

Mengabaikan si pemicu sakit gigi, aku lebih tertarik mengambil secarik kertas yang ada di sana, dan segera membacanya.

"Semalam Oma baru pulang dari Holand. Bawain Tita coklat banyak banget. Nih, Tita bagi sama Tante. Di makan, ya?"

Ah, anak itu memang baik sekali. Tapi kalau boleh request, aku mending di bawain kincir anginnya Holland aja deh, daripada coklat lagi. Udah gumoh aku liatnya doang.

"Oh, ya. Tita baru bikin I*, loh. Udah Follow Tante juga. Nanti Follback, ya? Nama akunnya. Thieta_C4tiek_imoet_luchupakebingit."

What the ... jaman apa sekarang? Masih ada aja akun sepanjang jalan kenangan kayak gitu. Ya ampun, siapa yang membuatnya, sih?

"Tita umur berapa, sih? Kayaknya belum enam tahun, deh. Kok udah bisa nulis serapi itu, ya?" tanya itu menghampiri, saat aku memasukan kertas itu kedalam tas. Pelakunya tentu saja adalah Lika, siapa lagi yang biasa kepo di sini?

"Palingan juga baby sitternya yang nulis. Udah, ah. Yuk berangkat. Ada jadwal pemotretan tiga tempat, kan?Gue gak mau di cap artis tukang ngaret, apalagi lelet. Nanti gagal beken gue." Aku mengalihkan obrolan, seraya bersiap mencari cuan hari ini.

"Salah sendiri gak mau ambil jalur expres yang di sediakan. Padahalkan--"

"Bawel deh lo. Yuk berangkat," selaku cepat. Sengaja beranjak lebih dulu meninggalkan Lika, yang mulai mengangkat bahasan menjengkelkan itu.

*****

"Dev, ada Pak Alex, tuh."

Aku refleks melirik kode dagu Lika, saat info itu menyapa runguku. Aku baru saja kembali setelah beberapa kali berpose di depan kamera.

Pria itu memang ada di sana. Tidak jauh dari tempatku, duduk di sebuah bangku lipat di bawah payung besar yang disediakan kru.

Tampak bersinar mengalahkan teriknya matahari siang ini.

"Kapan dia datang?" tanyaku setelah meneguk air mineral yang diberikan Lika.

"Kayaknya satu jam yang lalu."

Lumayan lama juga. Tetapi, ada urusan apa dia ke sini? Tumben banget Sang Sultan mau turun ke tempat kerja para rakyat.

"Kayaknya dia ada butuh sama elo, deh." Seperti tahu apa yang aku pikirkan, Lika berbisik lagi.

"Gue? Kenapa sama gue?"

Tentu saja aku bertanya bingung. Soalnya ... aku salah apalagi, coba? Masalah data diri dan gugat menggugat kan udah selesai.

Semuanya sudah di klarifikasi, dan dia pun sudah mengembalikan kontrak yang memang seharusnya menjadi milikku. Lalu, sekarang ada apa lagi dia mencariku? Perasaan aku gak bikin masalah apa pun loh.

"Mana gue tahu. Pokoknya yang gue liat, dia terus natap elo sepanjang pemotretan."

"Natap gimana? Dia mupeng sama gue? Gitu maksud lo?" ucapku asal. Memindai diri sendiri yang memang tengah memakai dress pantai bahan sifon. Memperlihatkan baju renang seksi di balik gaun tersebut.

Plak!

Mengaduh sebentar, aku pun langsung membalas pukulan tangan Lika di pahaku yang terasa pedas. Meski perempuan. Lika memang memiliki tenaga sekuat pria.

"Jan kepedean, anda! Siapa lo emang, sampai Pak Alex mupeng? Sadar diri lo, Dev. Mentang anaknya ngebet sama lo!"

Huh! Seandainya Lika tahu yang sebenarnya. Yang ngebet sama aku kan bukan cuma anaknya. Tapi tuh duda juga.

Buktinya dia masih gencar deketin aku. Sampai menyusul ke sini pula. Ya kan? Kalau bukan ngebet, apa namanya?

"Ya syukur kalau dia gak mupeng. Soalnya--"

"Bisa kita bicara sebentar?"

Eh?

Belum sempat aku membalas Lika, suara berat itu menginterupsi, membuat fokusku langsung teralihkan.

'Lah? Si papa sejak kapan mendekat? Kok gak kedengeran, ya, langkah kakinya?'

Untungnya, Lika cukup tahu diri untuk hal itu. Melihat si Papa datang dan berniat bicara padaku. Wanita yang berusia tiga tahun di atasku itu pun langsung pamit undur diri tanpa harus diperintah lagi.

"Uhm ... ada apa ya, Pak? Saya ... gak bikin masalah lagi, kan?"

Sepeninggal Lika, aku pun langsung bertanya tanpa basa basi. Sebab Pak Aksa pun to the poin tadi saat datang.

"Tidak ada. Saya datang ke sini hanya untuk bertanya saja."

"Bertanya tentang apa?"

"Tentang kamu yang belum juga memfollback Tita."

What?! Hanya karena itu dia mau repot-repot datang ke sini, dan nungguin aku satu jam?

Tuhan ... sekurang kerjaan itu ya, nih cowok?

"Hanya itu?"

"Iya."

"Gak ada yang lain?"

"Tidak ada."

"Yakin?"

Pak Aksa lalu terdiam, seraya menatapku lekat dan melipat tangannya di depan dada dengan jumawa.

"Memang kamu mengharapkan apa? Saya melamar kamu di sini dengan cincin bertahtakan berlian? Dihadapan semua kru pemotretan, begitu?"

Eh?

"Oke! Saya ijin mereka sekarang," lanjutnya tanpa menunggu persetujuanku terlebih dahulu.

"Jangan!"

Tentu saja aku pun langsung berseru lantang, seraya beranjak cepat untuk membatalkan niatnya barusan. Aku mencoba menarik tangannya. Saat pria itu hendak berbalik dan pergi lagi.

Namun, karena gerakanku yang tiba-tiba itu. Aku pun tersandung kakiku sendiri, yang berakibat langsung jatuh membentur badan Pak Aksa yang akhirnya ikut jatuh terjerembab ke atas pasir.

Sialnya, di sana ada banyak wartawan yang memang sedang mencari berita. Khususnya berita miring yang bisa langsung digoreng jadi gosip hot.

Tentu saja, alhasil kilatan kamera pun langsung menyerbuku dan Pak Aksa seketika. Terlebih dengan posisi jatuh kami saat ini. Namun, sayangnya bukan itu yang menyita perhatianku saat ini. Karena alih-alih kilatan kamera. Aku lebih syok melihat tonjolan dibalik celana Pak Aksa, yang kini tepat berada di depan wajahku.

"Ya ampun. Batangan Bapak ternyata gede juga. Panjang lagi!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Ananda Dea
Hahaha psti coklat Ferrero Rocher. Coklat apa lagi coba. Wkwkwk
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status