"Loh, kok, sudah pulang?" Mas Fikri menyambutku dengan pertanyaan. Pria yang tangannya penuh oli itu sejenak menghentikan aktivitasnya. "Nisa mana, Mas?" Bukannya menjawab aki malah celingukan mencari anak bungsuku yang tidak kelihatan."Lagi asyik nonton kartun di atas.""Oh, kalaupun begitu aku lihat dulu ke sana.""Kamu belum menjawab pertanyaanku, Dek.""Oh iya, aku lupa."Urung melangkah, lalu aku menceritakan yang baru saja terjadi di rumahnya Mbak Ira."Ya sudah, kalau begitu besok kamu balik lagi ke sana, pura-pura mengambil rantang!""Iya Mas, rencanaku juga seperti itu."Setelah itu aku melanjutkan langkah menaiki anak tangga, bermaksud menemui Nisa dan menemaninya nonton film kesukaannya. Sambil menunggu kabar dari Fitri tentang Mbak Ira. Tadi aku berpesan jika Mbak Ira sudah pulang, aku akan ke toko. Satu jam kemudian Fitri mengirimkan sebuah foto dengan caption, apakah ini orang yang maksud?. Terlihat foto Mbak Ira sedang berdiri di depan rak pajangan minyak goreng, sat
Sedang asyik mengobrol dengan Emak, tiba-tiba ponsel Mas Fikri berbunyi. Akhirnya aku pun menyudahi panggilan dari Emak lantaran melihat kontak Mbak Diah di layar ponsel milik Mas Fikri."Mbak Diah menelepon, Dek. Angkat saja!" Aku pun menerima ponsel yang disodorkan oleh Mas Fikri sambil menautkan kedua alis sebab Mbak Diah itu tidak akan menghubungi kalau tidak ada keperluan darurat."Ada apa ya, Mbak Diah telepon?""Sudah, terima saja. Daripada bertanya-tanya dan menduga-duga." Akhirnya aku menggeser tanda hijau di layar ponsel Mas Fikri."Assalamu'alaikum, Mbak.""Salam. Kamu kok, susah banget dihubungi, Nur? Dari tadi ponselmu sibuk melulu, kayak orang penting saja." Sudah menjawab salam dengan tidak benar, Mbak Diah langsung memarahiku. Pantas saja dia menghubungan ponsel Mas Fikri, rupanya tadi dia sempat menghubungiku ketika aku sedang menelepon Emak."Maaf, Mbak, tadi aku sedang bicara dengan Emak. Memangnya ada perlu apa Mbak Diah menghubungiku?""Kamu itu kenapa pilih ka
Satu jam kemudian aku sudah menyelesaikan pekerjaan di dapur dan mencuci. Lalu beralih ke lantai atas untuk membersihkannya. Ketika melintasi ruang tengah di mana tangga berada, aku mendengar Mbak Ira sedang asyik menelepon. Entah dengan siapa, yang jelas sesekali tawanya terdengar sangat keras. Ini kesempatan bagiku untuk menggeledah kamar Mba Ira.Tanpa membuang waktu aku pun segera masuk kamarnya. Perlahan mulai mencari surat itu di tempat yang aku perkirakan menjadi penyimpanan benda itu. Pertama kali aku memeriksa lemari Mbak Ira yang terdiri dari lima pintu. Ini memang mungkin makan waktu cukup lama, maka aku hanya membuka laci, dimana biasanya orang-orang menyimpan surat berharga. Namun tak juga ketemu temukan, lalu beralih pada dua buah nakas yang berada di samping tempat tidur, di situ pun nihil. Hingga mataku tertuju pada meja rias, ada tiga buah laci di sana dan mungkin mereka menyimpan surat-surat itu di dalam laci meja rias.Namun sayangnya hanya satu laci saja yang bisa
"Ini kejadiannya sudah lama. Datanya mungkin sudah tidak ada di sini." Seorang pria berkacamata tebal membolak-balik poto yang kuberikan.Aku terdiam lalu saling tatap dengan Mas Fikri. Pernyataan yang barusan diucapkan oleh petugas KUA membuat harapanku memudar."Namanya sudah jelas, Nuning dan Rahman." Aku tak mau tinggal diam.Aku yakin petugas KUA ini bukan kesulitan mencari data pernikahan tersebut, namun sepertinya dia malas. Meskipun di zaman itu segalanya belum serba digital, tapi aku yakin ada arsip yang tersimpan."Alamat ini benar 'kan?" Aku menunjuk kota kecamatan yang tertulis dibalik poto itu."Benar. Ini alamat kantor KUA di sini.""Tolonglah Pak, saya sedang mencari keberadaan Ibu saya," pintaku sekali lagi."Baiklah, nanti kalian datang lagi setelah jam istirahat. Karena data yang tersimpan di dalam internet kami adalah beberapa tahun setelah tanggal pernikahan ini. Jadi kami harus mencarinya secara manual." Baru mendengar kesanggupan petugas KUA itu aku sudah bahagi
"Dari beberapa motor yang diupload dan mengalami kerusakan, bahkan ada yang dibakar. Itu salah satunya milik Reno, Mas hapal betul plat nomornya.""Mudah-mudahan hanya motornya saja yang rusak.""Coba lihat ini, banyak yang upload di status WA." Mas Fikri menyodorkan ponselnya.Tanpa membuang waktu aku pun menerima lalu membuka aplikasi WA di ponsel Mas Fikri. Langsung membuka status WA temen-temen suamiku itu. Benar saja, berbagai video tentang kerusuhan tawuran di dekat pasar itu terekam jelas dan salah satu motor yang terbakar aku yakin itu punya Reno.Dan setelah kubuka, status lainnya menampilkan banyak korban yang sedang dirawat di rumah sakit. Salah satunya aku yakin adalah Reno, terlihat dari gelang yang dipakainya."Aku juga yakin kalau ini adalah Reno. Ya ampun, tapi kenapa Bang Usman dan Mbak Ira tidak menghubungiku? Malah Rendi sendiri yang menelepon?""Mungkin mereka sedang sibuk."Melihat musibah itu seharusnya Aku senang, lantaran ini bisa saja karena hukuman yang diber
Tak kuhiraukan suara Bang Usman yang memanggilku. "Nur!" Namun langkahku terhenti ketika Bang Usman meraih dan mencekal lenganku. "Jangan dengarkan ucapan Mbakmu. Abang yang memanggilmu ke sini karena dari tadi Reno terus memanggilmu." Runtuh keegoisanku mendengar Bang Usman berkata seperti itu. Masuk di akal jika Reno lebih membutuhkan aku dari pada Ibunya. Anak itu lahir ketika aku masih duduk di bangku SMP. Sejak bayi Reno sering dititipkan pada Ibu, yang otomatis aku pun ikut mengurusnya. Maka tidak heran jika Reno dekat denganku. Hanya saja kalau masalah didikan, Mbak Ira memang dominan. "Begitu dia sadar dari kritisnya, kata pertama yang Reno ucapkan adalah namamu, Nur. Bukan Abang ataupun Mamanya."Karena aku masih terdiam, Bang Usman melanjutkan kalimatnya."Tinggallah, Dek. Biar Mas pulang bersama anak-anak. Tidak baik jika mereka berlama-lama di rumah sakit." Mas Fikri menghampiri lalu memberikan sejumlah uang padaku, katanya untuk bekal selama aku di rumah sakit. Aku i
Selama 8 hari aku menemani Reno di rumah sakit, itu pun hanya dua malam saja aku minta izin pada Bang Usman untuk menginap di rumah. Kasihan anak-anak jika terus menerus aku tinggalkan. Selain itu, sebagai istri aku punya kewajiban untuk suamiku. Aku juga harus membujuk Reno dengan susah payah ketika aku izin pulang dulu. Anak itu benar-benar tidak mau jauh dariku, membuatku bingung harus bagaimana mengambil sikap. Aku kasihan pada Reno, tapi aku juga punya tanggung jawab pada keluargaku. Selama delapan hari itu pula aku harus menunda pencarian Bu Nuning. Padahal aku ingin segera kembali ke Cirebon untuk mendatangi KUA dan bertanya pada Ibu pemilik warung."Reno tidak mau aku tinggal, Mas. Bahkan dia memintaku untuk tinggal di rumah Bang Usman selama dia belum sembuh." Aku mengadukan hal itu pada Mas Fikri. Selain minta pendapat juga minta izin. "Ikut saja, Dek. Bawa Nisa sekalian. Biar Naya Mas yang urus di sini." Tak kusangka Mas Fikri mengizinkan aku."Tapi ... ""Mas tidak apa-a
"Reno?!"Aku dan Reno sontak menoleh ke arah pintu kamar secara bersamaan. Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sana. Padahal barusan aku mendengar seseorang memanggil nama Reno dan ku yakin itu adalah suara Mbak Ira."Ren!" Terdengar sekali lagi suara Mbak Ira, rupanya dia belum sampai pintu kamar ini, namun karena melengking jadi terdengar dekat. Akhirnya aku dapat bernafas dengan lega karena semula merasa khawatir Mbak Ira mendengar obrolanku dengan Reno. Bahaya!"Ya, Ma. Kenapa teriak-teriak, sih." Reno menggerutu dengan suara agak keras supaya terdengar oleh Mbak Ira yang masih berada di luar kamar."Mama mau ketemu temen dulu. Kamu enggak apa-apa 'kan sama Bi Nurma aja di rumah?" lanjut Mbak Ira sambil berdiri di pintu. Wanita itu sudah rapi dengan pakaian ala sosialitanya lengkap dengan sepatu dan tas bermerek yang ditenteng. "Nggak apa-apa, itu sebabnya aku meminta Bi Nurma tinggal di sini untuk sementara. Karena aku tahu bakalan nggak ada temennya. Mama mana mau menemani a