"Sana, siap-siap. Pokoknya kamu harus ikut." Mas Amar kembali berkata. Mungkin karena aku hanya diam saja. Apa baiknya aku turuti saja keinginan Mas Amar. Tidak mengapa jika akan merasakan sakit. Setelah pulang dari rumah perempuan itu, aku langsung pulang ke rumah ibu untuk menenangkan diri. Ide yang bagus! "Baik, Mas. Aku siap-siap dulu." "Istri yang pintar. Harus cantik, ya. Hari ini kamu juga akan berkenalan dengan madumu," ujar Mas Amar sambil mengusap puncak kepalaku dan tersenyum. "Iya." Aku langsung berlalu dari dalam kamar. Rasanya sangat sakit mendengar Mas Amar berkata seperti itu. Kenapa bibirnya terlalu gampang berkata? Kenapa tidak pernah memikirkan, jika aku sakit mendengarnya. Apakah hari ini aku akan membuat keputusan besar? Dari kemarin aku masih saja bimbang. Ingin bercerai, tetapi aku masih sangat mencintai Mas Amar. Apakah hari ini kita berdua akan selesai, Mas? Saat kamu mengabulkan ijab pernikahan dengan perempuan itu, apa hubungan kita akan berakhir.
Lagi dan lagi aku hanya bisa tersenyum sebagai respon ucapan Tante Lasmi. Aku tidak sehebat yang semua orang kira. Tante Lasmi terlalu berlebihan jika mengagumiku. Mungkin jika sudah terlalu lelah, aku akan berhenti mengancam dan akan langsung bertindak. Terlihat Mas Amar sedang bercerita dengan tetangga sebelah. Wajahnya sangat ceria. Nampak tidak ada rasa bersalah disana. Hati kembali bertanya, apa selama ini Mas Amar tidak mencintaiku? Tetapi katanya, dia sangat mencintaiku. Ya Allah, kini aku ragu terhadap perasaan Mas Amar. Ibu Mertuaku dari tadi sibuk mondar mandir menyapa keluarga. Terlihat di wajahnya, dia sangat bahagia. Pikiran kembali pada kenangan delapan tahun lalu, saat aku menyalami tangan ibu mertua setelah akad nikah. Hanya ada senyum tipis di wajahnya. Sangat berbeda dengan hari ini. Aku jadi penasaran, siapa perempuan yang akan jadi maduku. Seperti apakah dia, hingga ibu mertuaku sangat bahagia seperti ini? Apa dia perempuan yang dulu disukai oleh mertuaku? Kini p
Tak lama kemudian keluarlah seorang perempuan. Semua mata tertuju padanya. Gaun putih yang menutupi tubuhnya sangat indah. Ya, dia cantik dan terlihat sangat anggun. Pantas saja ibu mertua menjodohkan Mas Amar dengannya. "Cantik, ya. Berbeda jauh dengan Arumi yang kurus." Terdengar bisik-bisik dari orang dibelakangku. Aku kenal siapa pemilik suara ini. Sepupu Mas Amar yang sangat cerewet. Dia dan Mbak Mira sangat dekat. Aku memejamkan mata. Dulu badanku tidak sekurus ini. Setelah menikah, aku bahkan sudah turun 10 kilogram. Bagaimana tidak kurus jika aku harus makan hati setiap hari? "Beruntung sekali Amar mendapatkan Lilis. Dia sangat cantik. Dia juga masih muda. Rahimnya pasti subur." Mbak Susi berkata lagi. "Ibuku sudah dari dulu suka dengan Lilis. Tapi dulu Lilis masih SMA. Masa iya, menikahkan dengan Amar saat masih sekolah. Ternyata Amar meminta untuk menikah dengan perempuan itu. Ibu sebenarnya tidak setuju. Tetapi Amar terus saja memohon karena alasan sudah sangat mencintai
Dua jam perjalanan, mobil bus yang aku tumpangi akhirnya memasuki gerbang Desa Lombir. Sudah dua tahun aku tidak pulang kampung. Ternyata banyak yang telah berubah. Dulu tidak ada gapura yang bertuliskan selamat datang di Desa Lombir. Dulu juga tidak ada taman di dekat kantor desa. Bus kini berhenti tepat di depan rumah. Nampak ibu dan ayah sedang duduk bersantai di teras rumah. Mereka tidak tahu jika aku akan pulang hari ini. Pasti mereka akan kaget saat melihatku. Benar saja, ibu dan ayah hanya mematung saat melihatku turun dari bus. Aku pun melangkah pelan sambil tersenyum. "Arumi! Ya Allah, Nak. Kenapa tidak bilang kalau mau pulang? Kenapa tidak mengabari ibu dan ayah?" teriakan ibu membuat tetangga yang sedang berkumpul, menoleh pada kami. Bisa dimaklumi, suara ibu memang besar. Sambil melangkah, aku tersenyum pada beberapa tetangga yang melihatku. "Assalamualaikum." Aku pun menyalami tangan yang kini sudah mulai menua. Aku juga langsung memeluk. Rasanya sudah sangat lama t
*** "Arumi, yuk makan, Nak." Terdengar ibu sambil mengetuk pintu kamarku diikuti suaranya yang terdengar memenuhi penjuru rumah. Aku yakin tetangga bisa mendengar suara ibu yang cempreng. "Iya, Bu. Aku baru selesai sholat. Tunggu bentar." Aku pun menaruh mukenah ke tempat asalnya lalu bergegas untuk keluar dari dalam kamar. Ternyata Ayah sudah duduk di singgasananya. Kursi yang hanya boleh diduduki oleh ayah. Aku memilih duduk di samping kanan ayah dan ibu di samping kiri. Mata menatap wajah ayah yang sudah mulai menua. Telah nampak garis keriput. Rambut yang dahulu hitam segar, kini telah memutih.Ada rasa sakit yang menjalar di hati. Aku belum bisa memberi cucu di usia ayah yang sudah lebih dari enam puluh tahun. Ayah dan ibu memang tidak pernah mempermasalahkan, karena mereka sudah memiliki cucu dari kedua kakak lelakiku. Tetapi, aku berkecil hati."Kamu ijin ke suami berapa hari pulang ke sini?" tanya ibu dengan suara pelan. Ibu sedang menyendok makanan untuk ditaruh di atas pi
Aku tidak boleh gugup. Aku harus tetap tenang. Bibir pun membentuk segaris senyum. "Mas Amar ngomong apa ke ayah?" ujarku dengan lembut dan bibir yang masih tersenyum"Dia menanyakan keadaan kamu. Katanya nomormu sudah beberapa hari tidak aktif. Tidak usah berbohong, Nak. Ceritakan ke ayah dan ibu, ada masalah apa." Aku menarik napas. Sepertinya tidak bisa lagi berbohong. Siap tidak siap, aku harus cerita malam ini. Mungkin aku bisa membohongi orang diluar sana tentang keadaanku, tetapi tidak dengan ayah dan ibu. Mereka pasti tahu perubahan yang terjadi pada anaknya. "Aku ingin bercerai dengan Mas Amar. Sepertinya rumah tangga kami tidak bisa lagi dipertahankan," ujarku dengan mata yang telah berkaca. "Ya Allah, Nak. Apa yang sudah terjadi. Bukankah selama ini kalian baik-baik saja." Ibu langsung berdiri dan duduk di kursi yang ada di sampingku. Dada terasa sesak. Rasanya bibir tak mampu untuk berucap. Air mata terus saja berjatuhan. Kini ibu telah memelukku. "Ceritakan semuanya
Aku berjalan pelan menuju kamar. Ayah dan ibu sudah meninggalkan di dapur sejak dua puluh menit yang lalu. Apa yang ada dalam pikiran ayah dan ibu. Mengapa mereka tidak membelaku? Mengapa seolah mereka berada di pihak Mas Amar? Apa mungkin Mas Amar sudah berkata sesuatu pada ayah? Ya, bisa saja kan. Mas Amar lelaki yang manipulatif. Dia pasti sudah memikirkan semuanya dan tidak ingin menjadi pihak yang disalahkan. Detik jam terus berputar. Aku belum juga bisa memejamkan mata. Air bening terus saja keluar dari kelopak. Rasanya kepala sudah terlalu berat karena lelah menangis. Ternyata hingga pagi menyambut, aku tak kunjung bisa tidur. Sekarang sudah pukul tujuh pagi. Aku bahkan tidak merasakan ngantuk sama sekali. "Arumi, sarapan dulu, Nak. Tidak lama lagi Mas Amar akan tiba. Kamu mandi ya, supaya segar." Ibu berteriak dari balik pintu. Aku enggan untuk membangunkan badan. Hingga jam segini, aku belum merasakan lapar. Tidak! Aku tidak ingin bertemu Mas Amar! Aku tidak mau melihatn
"Keputusan suamimu untuk menikah lagi tidak sepenuhnya salah. Di dalam agama kita juga tidak mengharamkan poligami. Berdamailah dengan keadaan, Nak. Seperti ini lah rumah tangga. Di dalamnya akan banyak cobaan," ujar Ayah dengan lembut. Aku benci mendengarnya. Aku tidak suka ayah membela lelaki itu. "Please, Ayah! Mas Amar tidak sebaik yang ayah kira. Aku tidak mampu mempertahankan pernikahan ini. Jangan paksa aku untuk bertahan." Aku berkata sambil sesegukan menahan sesak. Semua orang membela Mas Amar. Seolah aku lah yang hina. Bahkan kedua orang tuaku pun melakukan itu. "Istighfar, Nak. Meminta cerai pada lelaki sholeh yang sudah melakukan semua kewajibannya, itu dosa. Mas Amar selama ini sudah menjagamu dengan baik. Dia memberikan kamu nafkah. Dia tidak pernah berbuat kasar padamu … Jangan jadi istri pembangkang, Nak. Neraka jahanam adalah tempatmu, jika kamu berbuat seperti itu. Yang dilakukan Mas Amar benar. Poligami itu keinginan ibunya karena kamu belum juga bisa memberi