All Chapters of Kafan Hitam: Chapter 11 - Chapter 20
198 Chapters
10
Warung milik Euis sudah dijejali para pria sejak pagi. Kopi yang mereka pesan hanya tinggal tersisa ampas hitam. Bakwan, pisang goreng, dan cireng sudah berkali-kali habis diembat, menyisakan beberapa buah gorengan dan minyak menggenang di koran yang dijadikan alas piring. Asap rokok tampak meliuk-liuk seiring dengan obrolan yang kian menghangatkan pagi.“Kalian sudah dengar belum kalau Ustaz Rojali dan si Reza ditemukan pingsan di selokan?” tanya pria berselandang sarung, Mahmud namanya. “Sekarang mereka sedang dirawat di puskesmas.”“Kok bisa, Kang? Bagaimana kejadiannya?” Euis yang tengah menggoreng gorengan lantas mengecilkan kompor. Wajah cemasnya kentara sekali. Saking panik mendengar Rojali kecelakaan, ia sampai tak sadar membawa spatula dan saringan ke kerumunan.“Katanya ... mereka berdua dikejar pocong,” bisik Mahmud, tetapi suaranya masih bisa didengar orang-orang di sekitar warung.“Astagfi
Read more
11
Waktu baru saja menunjukkan pukul empat sore saat Rojali berjalan ke arah teras puskesmas. Itu berarti hampir seharian ia dan Reza berada di tempat ini. Luka yang dialaminya akibat kecelakaan tadi malam memang tak seberapa. Hanya saja, bayangan peristiwa itu masih membekas di ingatan.Beberapa warga silih berganti berkunjung untuk menengok keadaan Rojali dan Reza. Beberapa datang membawa buah dan bingkisan, yang lainnya berkunjung dengan membawa cerita mengenai penampakan pocong Mbah Atim.Di beranda puskemas, beberapa warga sedang berkumpul. Pak Dede, Pak Yayat, Pak Juju, Aep serta dua aparat desa sudah berada di sana sejak setengah jam lalu.Pak Dede dibantu oleh dua aparat desa membantu Reza masuk ke mobil. Saat didudukkan, beberapa kali Reza meringis dan menjerit pelan. Bisa dibilang lukanya lebih parah dibanding Rojali.“Aya-aya wae! (ada-ada saja),” sindir Pak Dede sembari melangkah menuju kursi kemudi. Ia melirik Rojali dengan
Read more
12
Dua hari kemudian, Rojali dan Reza bersiap pergi ke gubuk Mbah Atim. Pukul tiga dini hari, keduanya menjalankan rencana yang telah disusun. Reza bahkan menginap di rumah Rojali agar tak menimbulkan kecurigaan Pak Dede. Berbalut jaket tebal serta senter kecil, keduanya melibas pekatnya jalanan persawahan.Sampai di depan gerbang pemakaman, keduanya menstabilkan napas sesaat. Mata mereka saling berbagi arah, mengawasi keadaan sekitar, takut bila ada warga yang curiga. Saat melihat sekelebat bayangan hitam, Rojali dengan cepat menarik Reza ke balik pepohonan.Rojali memberi tanda agar Reza tak banyak bertanya. Pandangan keduanya lalu tertuju pada sesosok makhluk berkain hitam yang berdiri di ambang gerbang pemakaman.“Itu manusia, Jali,” bisik Reza yang mengamati makhluk itu berlari ke gelapnya pemakaman. Ia bisa tahu saat mengamati kaki sosok itu yang menapak di tanah. “Curiga aing.”Rojali mengangguk, menghempas keringat ya
Read more
13
“Bukannya itu tujuan kita, Za? Saya yakin kalau pria yang kita lihat di gerbang pemakaman tadi masih ada hubungannya dengan orang yang masuk tadi, atau justru orang itu adalah orang yang masuk barusan,” terang Rojali.Reza mengangguk, tetapi masih diam di tempat.“Za,” panggil Rojali sembari menepuk bahu Reza.“Kamu benar, Jali.” Reza mengepalkan tangan, menghempas takut dan ragu. Masalah takut, pasti Rojali merasakan hal yang sama, yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memaksakan diri.Kedua pemuda itu lantas menuruni tangga. Mereka masuk lebih dalam dengan bantuan cahaya senter. Beberapa kali suara lolongan anjing terdengar, dan saat bunyi itu memasuki indra pendengaran, Rojali dan Reza berhenti untuk sesaat, saling menguatkan dan menyemangati lewat tatapan dan anggukan.Sampai di undakan tangga terakhir, mereka dihadapkan pada lorong panjang yang berdinding batu. Tampak rumput dan tanaman liar ikut tumbuh di
Read more
14
Euis masih berkutat dengan makanan yang sedang ia masukkan ke rantang. Setelah siap, ia beranjak ke luar dapur. Sesuai amanat bapaknya, ia diminta untuk mengantar makanan pada Ki Udin, pria tua yang masih memiliki ikatan keluarga sekaligus warga paling sepuh di Desa Ciboeh. Rumahnya hanya berjarak beberapa meter. Kakek tua itu seringkali sakit-sakitan. Usianya mungkin sekitar 80 tahunan. Meski sudah uzur, tetapi daya ingatnya masih tajam, tak pikun seperti orang tua kebanyakan.Matahari mulai meninggi saat Euis izin untuk mengantar makanan. Gadis itu sesekali berhenti untuk menyapa ibu-ibu yang tengah menyapu halaman. Rumah yang ditujunya berada di pinggiran perkampungan, hanya terhalang beberapa rumah lagi. Dari arahnya berjalan, terlihat rumah yang ditempati Rojali yang jaraknya cukup dekat dengan rumah Ki Udin. Hanya saja kediaman ustaz muda itu tampak sepi saat ini.Euis tiba-tiba berhenti saat melihat seorang anak tengah bermain bola di halaman. Cukup lama ia memp
Read more
15
“Apa yang bakal kita lakukan selanjutnya, Jali?” tanya Reza sembari menghisap rokoknya dalam-dalam. Suaranya kecil hampir seperti orang berbisik. “Apa kita harus lapor polisi?”Rojali yang tengah mematut diri di depan cermin yang berada di kamar langsung menyahut,  “Yang pasti kita harus mencari informasi lain, Za.”Reza yang tengah berbaring di kursi seketika tersedak. Ia bangun dengan kondisi terbatuk.Rojali keluar kamar dengan tubuh yang dibalut kaus dan celana katun. “Sebaiknya kita jangan lapor ke siapa pun dulu, termasuk polisi dan bapak kamu. Saya takut masalahnya bisa jadi lebih rumit. Kita juga bisa ditanya macam-macam.”Reza mengangguk. “Lalu?”“Kamu masih ingat dengan orang berpakaian hitam sebelum kita masuk ke Mak Lilin?” Rojali ikut duduk di kursi.Reza kembali mengangguk.“Saya pikir orang itu sosok yang masuk ke gubuk tadi. Sejujurnya s
Read more
16
Lima orang pria berseragam serba hitam memasuki lorong panjang dengan bantuan pencahayaan obor. Jejak langkah mereka bersahutan dengan suara burung hantu yang bertengger entah di mana. Kelima wajah pria itu tertutup topeng hitam, di mana sebilah pisau  bertengger di pinggang bagian kiri.Lima orang pria itu akhirnya tiba di sebuah ruangan. Atapnya ditutupi rerimbunan tanaman liar. Sisa cahaya bulan terperangkap di sela-selanya. Beberapa batu besar tertancap di sekeliling lokasi. Dinding batu yang mengelilingi mereka ditumbuhi lumut dan beberapa tanaman merambat.“Maneh duaan (Kalian berdua) periksa lorong itu dan laporkan situasinya nanti di markas,” pinta pria yang berdiri paling depan.Dua pria yang berada di pintu lorong seketika mengangguk, lalu mulai memeriksa tempat yang dimaksud.Pria yang memerintah dua orang tadi membuka topeng, menghirup oksigen dengan rakus. Pandangannya lalu menyisir sekeliling ruangan. Senyumnya seke
Read more
01 - Kafan Hitam (Part 1)
Note: Chapter berisi Flashback Kejadian Ujang setelah jatuh ke jurang Desa Ciboeh, 1985Seorang wanita berperut buncit baru saja terbangun. Mata sembapnya seketika mengedar ke sekeliling ruangan. Meski agak kesusahan, tangannya berhasil meraih gelas di atas nakas, lantas meneguknya hingga habis.Romlah namanya. Wanita yang tengah mengandung anak pertama hasil pernikahannya dengan sang suami. Memijat belakang perutnya, ia turun dari kasur. Langkahnya tergopoh-gopoh saat menyibak tirai kamar. Seketika pandangannya menggerus isi ruangan. Tak terlihat badan suaminya menempel di kursi seperti kebiasannya beberapa hari lalu.Romlah lalu mengikat rambut dengan karet di tangan. Dengan hati-hati, ia membuka sedikit celah tirai jendela, memandangi halaman rumah yang tampak lengang. Ia harus berperang dengan kegelapan di luar, berharap sang suami pulang membawa delima yang diinginkan. Nahas, hampir setengah jam terpaku di sana, Romlah
Read more
01 - Kafan Hitam (Part 2)
Pencarian Ujang dimulai keesokan harinya. Tepat pagi hari setelah matahari mengantarkan sinar hangat, para warga yang terdiri dari pemuda dan pria dewasa mulai menyisir kawasan desa. Terkhusus pencarian ke arah Mak Lilin, warga memilih berkelompok hingga sepuluh orang.“Apa kita izin dulu sama Mbah Atim, Kang?” tanya Asep yang masih berselandangkan sarung. Pandangannya menyisir kawasan gerbang pemakaman.Kelompok pencarian itu masih berjalan melewati gerbang sebelum akhirnya tiba di depan jembatan kayu.“Sebaiknya begitu, Sep,” sahut Mahmud.“Astagfirullah, Kang. Coba lihat!” pekik Cecep tiba-tiba. Telunjuknya terarah pada lubang di tengah jembatan.Asep dan Aep yang merupakan sahabat dekat Ujang langsung berlari ke tengah jembatan. Mereka terkejut ketika salah satu bagian jembatan berlubang. Niatan untuk memberi tahu Mbah Atim lenyap karena diterkam keadaan.“Apa mungkin Ujang jatuh, Sep?” tan
Read more
17
Para pria yang tengah berjaga di pos ronda tiba-tiba bubar setelah hujan turun. Aep adalah salah satunya. Rumahnya yang berada di ujung kampung memaksanya harus bersusah payah berlari dengan berpayung kain sarung. Terlihat sia-sia untuk mengusir air, tetapi hal itulah yang bisa terpikirkan olehnya saat ini.Suasana perkampungan yang Aep lewati tampak begitu sepi. Ia berjalan berjinjit sembari sesekali mengarahkan pandangan pada tiap-tiap pintu rumah yang ia lewati. Waktu memang belum terlalu larut, tetapi ketakutannya sudah merangkak ke ubun-ubun saat tetes hujan berkunjung ke Ciboeh.Banyak cerita yang Aep dengar tentang penampakan sosok itu dari warga saat hujan mengguyur. Tak jarang kisah itu kian menggerogoti keberanian karena sering ditambahi bumbu saat diceritakan dari mulut ke mulut. Meski sudah lama berlalu, nyatanya keangkeran pocong berbalut kain hitam itu tetap menciutkan nyali penduduk desa.Aep merengut kesal. Hujan kian deras menyapa Ciboeh. Terpak
Read more
PREV
123456
...
20
DMCA.com Protection Status