All Chapters of AKIBAT PELIT PADA ANAK ISTRI: Chapter 41 - Chapter 50
105 Chapters
Bab 40 Mau Buat Kejutan, Justru Lebih Dikejutkan
|Wit, pulang dulu ya. Ada yang ingin bapak dan ibu bicarakan. Tapi nggak bisa via telepon. Lagipula, sejak kamu bercerai dengan Aris, kamu belum pulang. Ibu dan Bapak kangen sama Zahra juga, sudah hampir tujuh bulan kalian nggak mudik ke Solo. Meski tiap bulan kamu kirim uang, tapi ibu dan bapak butuh kamu. Pulang, ya ... kami menunggumu| Pesan ibu tiga hari yang lalu sengaja belum aku balas. Sengaja ingin membuat kejutan pada ibu dan bapak dengan tiba-tiba nongol di depan pintu.Mereka pasti sangat senang dengan kedatanganku dan cucu kesayangannya hari ini. Aku dan Zahra yang memang jarang pulang membuat rindu mereka semakin membara. Aku pun sama.Kulihat anak gadisku itu yang masih terlelap cukup nyenyak, meski kini aku dan dia masih berada di dalam bus yang akan mengantar kami ke Solo. Tanah kelahiran dengan sejuta kenangan.Teringat kembali senyum dan tawa renyah bapak ibu. Bayangan tentang keromantisan mereka kembali menghiasi pelupuk mata.Membayangkannya saja sebahagia ini, ap
Read more
Bab 41 Berpisah
Pov : Yuli "Mas, aku sudah minta maaf sama kamu bahkan sama ibu dan adikmu, tapi kenapa kamu masih melanjutkan perceraian ini? Apa masih kurang banyak permintaan maafku? Aku harus berbuat apa biar kamu mau memaafkanku dan menghentikan perceraian ini, Mas?" tanyaku pada Mas Danu yang terdiam di sofa ruang tengah sembari memangku Annisa. Dia hanya melirikku sekilas lalu menghela napas."Aku janji akan berusaha menjadi istri dan menantu yang baik, Mas. Aku juga akan berusaha menjadi ipar yang baik. Kumohon jangan perpanjang masalah ini ya, Mas," ucapku dengan wajah memohon agar Mas Danu mau menghentikan kasus cerai ini."Cukup, Yul. Bukankah selama ini kamu sudah sering berjanji untuk menjadi istri yang baik? Tapi apa nyatanya? Nol besar," ucap Mas Danu kemudian. Tangisku kembali keras terdengar. Aku tahu jika selama ini memang sering cekcok dengan Mas Danu soal keuangan. Mungkin memang aku yang terlalu banyak menuntut.Sebelum menikah aku sudah berjuang untuk keluarga, karena itulah s
Read more
Bab 42 Laki-laki Itu Datang Juga
Ibu dan Bapak masih saja membujuk agar aku menyetujui perjodohanku dengan Rony, anak sulung Pakdhe Samsul itu. Mungkin memang ibu bapak khawatir dengan kesendirianku apalagi di kota metropolitan. Meski berulang kali kubilang, usahaku di sana makin maju tapi tetap saja bapak dan ibu masih ragu. Mereka nggak tega membiarkan aku dan Zahra tinggal di kita sebesar Jakarta hanya berdua saja, tanpa sanak saudara. Ibu bapak belum tahu jika Mas Hanan datang lagi bahkan berusaha meyakinkanku kembali. Tak hanya itu saja, dia juga sudah melamarku waktu itu hanya saja kutolak dengan alasan masih trauma dengan pernikahan. Ponselku berdering beberapa kali. Meski begitu malas, mau nggak mau aku mengambil benda hitam pipih itu dari meja rias. Nama Mas Hanan muncul di sana. Nama yang baru dua hari lalu aku simpan di ponselku karena sebelumnya hanya numpang lewat saja tak berniat menyimpannya. Tiga hari ini aku memang istikharah, aku nggak tahu siapa yang terbaik buatku. Aku menyerahkan semua padaN
Read more
Bab 43 Dua Lamaran
Detik ini kulihat dua lelaki yang memiliki tujuan sama. Mereka datang ke rumah ini dengan niat untuk melamarku. Keduanya duduk berdampingan dengan tenang, sementara bapak duduk di seberang meja sembari memperhatikan dua laki-laki itu bergantian. Mas Hanan dan Rony. Aku mengenal mereka di masa lalu, namun Rony cukup berbeda karena aku baru ketemu detik ini setelah tiga tahun berlalu.Terakhir kali dia pulang saat kontrak kerjanya habis dan kini kembali ke tanah kelahirannya. Bapak bilang Rony akan membuka usaha di sini dan berhenti kerja di luar negeri.Selain sudah punya modal usaha, kedua orang tuanya juga melarangnya pergi jauh. Alasannya karena mereka sudah cukup tua, takut Rony tak bisa pulang jika mereka kenapa-kenapa. Kembali kuhela napas panjang. Saat ini aku hanya mendengarkan obrolan mereka dari kamarku yang bersebelahan dengan ruang tamu. Aku tak berani duduk diantara mereka. Aku berusaha menguping pembicaraan mereka, tapi tetap saja tak terlalu jelas terdengar. Suara tele
Read more
Bab 44 Kabar Mengejutkan
Ibu dan Bapak akhirnya sampai di Jakarta, Rony tampak cukup kelelahan karena tak ada yang gantiin menyetir. Sementara kegiatan ngecraft memang kustop dulu. Orderan yang masuk pun sudah aku selesaikan sebelum mudik ke Solo enam hari lalu. Rony bersama bapak memilih tidur di kontrakan sebelah menggunakan kasur lantai, sementara ibu tidur bersamaku dan Zahra di kontrakan utama. Gegas kukirimkan pesan pada Bang Baim untuk mengantar lima porsi bakso dan es buahnya. Meski di jalan sudah mampir makan, tapi saat ini mereka pasti sudah lapar lagi. Bakso dan es buah lumayan seger buat mengisi perut siang bolong begini. Kami sampai kontrakan pukul sebelas siang karena Rony memang sering istirahat sebentar di pom bensin untuk sekadar melepas lelah. Maklum, dia menyetir sendirian karena memang nggak ada pengganti."Hallo, Wit. Bapak dan Ibu ikut ke Jakarta, ya?" tanya Mas Aris dari seberang. Entah darimana dia tahu kalau ibu dan bapak ikut serta ke Jakarta hari ini. Aku yakin Mas Aris akan cari
Read more
Bab 45 Kecelakaan - Kritis
Aku siap-siap mengantar Zahra ke sekolah karena hari ini dia ada tes harian. Nggak boleh telat, apalagi tes di jam pertama. Gegas kukeluarkan motor dari dalam kontrakan. Zahra pun buru-buru mengenakan jilbab putihnya lalu keluar rumah sudah dengan seragam dan tas lengkap. Dia memang sudah cukup mandiri di usianya kini. Jika aku masih sibuk di dapur atau packing orderan pun, anak gadisku itu ikut membantu. Beberes rumah yang dia bisa atau memintaku untuk menggunakan tenaganya. Aku sangat bersyukur memiliki Zahra yang begitu pengertian. Tak banyak mengeluh tentang keadaan, cekatan dan dia juga bukan anak yang manja. Apapun yang dia minta selalu berusaha kupenuhi, hanya saja jika belum mampu dia mau menahan keinginannya. Mau menabung sedikit demi sedikit sampai cukup untuk membeli barang yang diinginkannya. Dia anak yang cukup sabar dibandingkan dengan anak lain seusianya. "Kunci sekalian, Ra," ucapku pada anak gadisku itu. Dia pun mengangguk pelan. "Ini kuncinya, Bu. Zahra masukka
Read more
Bab 46 Permintaan Sulit
Kulihat malaikat tanpa sayapku itu terbaring lemah di pembaringan. Banyak perban di sana-sini, selang infus pun tertancap di tangannya. Bapak mengedipkan matanya ke arahku. Duka itu menggantung di wajahnya yang menua. "Pak ... bagaimana keadaan bapak sekarang? Bapak harus sembuh, ya?" Aku terisak di sampingnya. Mencium punggung tangannya yang mengeriput. Kedua mata itu pun berkaca-kaca melihatku begitu berduka. Ya Allah ... aku benar-benar takut kehilangan bapak. Aku takut bapak pergi sebelum aku bisa mewujudkan semua impian-impiannya. Panjangkan lah umurnya, agar dia bisa menjadi wali dan menyaksikan hari bahagiaku nanti. Seperti yang dia inginkan selama ini. "Zahra mana?" Lirih kudengar suara bapak menanyakan cucu kesayangannya. "Di Jakarta sama Mbak Mayang, Pak. Kasihan dia kalau diajak ke sini," ucapku lirih. Kuseka bulir bening yang menetes di kedua pipinya yang mengeriput. "Rony baik-baik saja, kan? Kasihan dia," tanya bapak lagi. Aku pun kembali menyeka air mata yang meniti
Read more
Bab 47 Kejutan Spesial
Hari keenam di rumah sakit, Bapak sudah mulai membaik dan diizinkan pindah ke ruang perawatan untuk pemulihan, Rony pun sudah membaik namun belum dipindah ke ruang rawat. Dia masih di ruang ICU. Kata Dokter, jika hari ini makin membaik InsyaAllah besok juga akan dipindah ke ruang rawat. Sejak keputusan Bapak untuk menikahkanku dengan Rony lima hari lalu, tak ada obrolan lagi tentang itu. Bahkan Pakde Samsul dan Budhe Nur pun belum memberikan keputusan apa pun. Mereka bilang, keputusan ada di tangan Rony. Biar dia yang menjawab, iya atau tidak. Sementara Mas Hanan masih tetap mengurus semua keperluan Bapak, tanpa pernah memaksaku menjawab apa jawaban istikharahku selama ini. Ya ... semua diam seolah tak terjadi apa-apa dan tak ada pembahasan apa-apa sebelumnya. "Bagaimana jawaban Pakde Samsul, Wit?" tanya Bapak di sela-sela sarapan paginya. Aku menyuapi Bapak dengan menu bubur ayam. "Belum ada jawaban, Pak. Pakde Samsul masih sibuk mengurus Rony, lagipula Pakde bilang semua kepu
Read more
Bab 48 Kok Bisa Begini?
Pagi yang cerah. Mentari pagi menyinari bumi. Hangat. Kuhembuskan napas lega setelah melewati perjalanan panjang yang menengangkan. Sejak kemarin sore, Mas Hanan menginap di rumah pakde Samsul. Mereka ingin menjamu dengan makanan 'ndeso' katanya. Betapa bahagianya aku melihat keikhlasan dua lelaki itu. Mereka tak ada yang memaksakan kehendak. Menerima segala keputusan yang ada dengan lapang dada, saling merangkul dan melayangkan doa untuk kebaikan bersama.Indahnya dunia seandainya masing-masing orang memiliki keikhlasan dan tak bersikap memaksa seperti mereka. "Assalamu'alaikum." Terdengar salam dari luar. Ibu yang masih sibuk di dapur gegas menjawab salam dan keluar menuju pintu. "Wa'alaikumsalam. MasyaAllah Zahra ikut ke rumah Mbah Putri?" Ibu terdengar begitu girang. Ibuku yang menua dengan daster dan hijab simpelnya. Hijab yang warnanya sudah memudar, tapi masih terus dipakainya. Kadang ada luka yang menganga di dalam sana, betapa selama ini aku kurang memperhatikan ibuku.
Read more
Bab 49 Ternyata...
"Gimana kabarnya, Ul?" tanya Rony dengan senyum lebarnya. "Baik, Ron. Kamu sendiri apa kabar? Sudah lama nggak ketemu, ya," ucap Mbak Ulya kemudian. Mereka saling melempar senyum."Iya sudah enam tahunan, kan? Sejak aku pergi ke Korea lost contact kita," ucap Rony lagi. Rony memang kerja di Korea sekitar lima tahunan, kontrak pertama tiga tahun lantas ada perpanjangan kurang lebih dua tahun. Baru pulang sampai sekarang. Bapak bilang mulai membuka usaha kuliner dan bengkel. Tapi aku masih heran dan bingung, kenapa mereka bisa saling kenal? Dimana bertemunya dan kapan? Apa sebelum Rony pergi ke Korea? Iya, saat dia kerja di Jakarta untuk modal kerja di Korea itu? "Bener banget kurang lebih enam tahunan. Ohya kamu nggak tahu kan kalau bos kita dulu itu papanya Pak Hanan?" Rony tampak kaget mendengar cerita dari Mbak Ulya. Dua insan beda kelamin itu pun menoleh ke arah Mas Hanan yang sudah duduk santai di sofa. "Benarkah? Wah, ternyata dunia itu berasa sempit, ya?" Mbak Ulya mengang
Read more
PREV
1
...
34567
...
11
DMCA.com Protection Status