Semua Bab 7 TAHUN SETELAH MENJANDA: Bab 21 - Bab 30
204 Bab
Bab 14A
Pagi itu seusai sarapan roti dengan selai, Mahendra pun keluar dari unit dengan kaos lengan panjang navy dan jeans yang menempel sempurna di tubuhnya. Kaos lengan panjang itu sengaja digeser sampai di bawah siku, memamerkan otot tangan yang kokoh.Bersuka cita, hari itu dia akan mendatangi rumah kontrakan Hana. Dia akan berjuang lagi mendapatkan maaf dari wanita yang sudah ia tinggalkan tujuh tahun yang lalu. Bukan tanpa sebab, dia pergi begitu saja kala itu. Ada sesuatu yang lebih mendesak sehingga dia memilih terbang dan lupa memberi kabar untuk Hana.Sabtu pagi, di jalan yang lumayan padat, Mahendra harus menaikkan level kesabarannya ketika harus mengendarai mobil sendiri. Biasanya ada supir yang selalu standby membawanya pergi dan pulang dari kantor.Sekilas melirik jam digital di dasboard mobil mahalnya, dia berdecak kesal harus berada di antara mobil yang antri depan lampu merah. Angka sepuluh lebih lima belas menit yang terpampang jelas di sana.
Baca selengkapnya
Bab 14B
Tidak sampai di situ, hatinya kembali tercubit ketika dia disuguhkan peristiwa saat pria berkumis tipis itu membawa sang bocah di atas pundaknya. Mereka seperti keluarga kecil yang bahagia, menikmati kebersamaan di hari pekan seperti kebanyakan keluarga kecil yang bahagia. Sungguh pemandangan yang membuat matanya sakit dan memerah. Tatapan itu tadinya terkesan biasa, lama kelamaan berubah menjadi tatapan sinis, tajam dan tak suka.Bibirnya pun tak berhenti mengomel dari tadi. Ingin dia muncul di sana, tetapi hati kecilnya memberontak. Dia tak ingin mendapat penilaian negatif dari Hana lagi. Dia harus menunggu sampai ambang kesabarannya mencapai titik nol.Lagi, hatinya kian memanas, nyaris mencapai level puncak saat melihat Hana dengan berani berdiri mendekati, mengambil sesuatu yang ada di rambut cepak pria itu. Setelahnya mereka saling melempar senyuman, apakah itu senyuman cinta? Bukan, itu hanya senyuman simpati. Mahendra mencoba menepis semua dugaan yang sungg
Baca selengkapnya
Bab 15C
Bab 15A"Mas Hendra? Ke sini juga?"Mencoba bersikap tenang, Mahendra membuang napas berulang. Tanpa dipersilakan, dokter gigi itu pun mengambil duduk bersisian dengannya. "Sama siapa? Sendiri?"Elena bertanya lagi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri. Pria itu mengangguk sambil berpura-pura fokus ke menu dan sesekali melirik ke arah ketiga orang itu lagi. Dia tidak ingin kehadiran Elena, menggagalkan rencananya karena tidak bisa mengikuti aktifitas Hana. Alasan apa coba yang akan dia berikan kepada Elena, ia tak mau ketahuan tengah menguntit Hana."Pas dong kalau gitu, aku juga lagi sendirian. Tadi aku ada janji sama teman, eh, dia dadakan tak bisa datang, anaknya rewel."Elena menarik menu dari genggaman pria penyuka cokelat panas dan memilih makanan dan minuman. Setelahnya, dia menyapu pandangan ke sekeliling kafe. Sorot mata itu berhenti setelah menangkap sosok yang dia kenal kemudian memicingkan mata untuk mempertajamkan penglihatan."Itu bukannya ...." Dia berdiri dan berjalan m
Baca selengkapnya
Bab 15B
Mahendra bertanya. Sebelum mendapat persetujuan, dia langsung duduk di hadapan Hana, di sampingnya ada Kai yang menatap kagum sang juri yang gagah itu."Om juri?"Pria yang dipanggil pun mempersembahkan senyuman hangat sambil mengusap lembut pucuk kepalanya. Dia memberi anggukan kecil sebagai tanggapan. Hana cukup paham, berbeda dengan Arsenio dan Elena yang setengah paham tentang hal tersebut.Sesaat itu, Elena pun ikut duduk di samping Mahendra tanpa ingin bertanya. Buatnya, hal itu tak begitu penting dan matanya menyadari keberadaan Arsernio di meja itu."Eh, kayak kenal, ya? Tapi di mana?" Dia menunjuk ke wajah Arsenio yang mulai memberi senyuman tipis.Sementara dads Arsen masih disisipi sedikit penasaran, mengapa Kai bisa memanggilnya dengan sebutan om juri. Namun, pikirannya teralih ketika Elena mengajak bicara dan mulai menduga-duga tentangnya."Kamu dr.Elena dokter gigi?" Menebak sambil mencomot kentang goreng, Arsenio terlihat lebih santai
Baca selengkapnya
Bab 15C
Elena memberi pendapat dengan nada menggoda. Dia tak begitu mengenal Hana karena gadis itu tak pernah sekalipun curhat atau membicarakan hal yang pribadi kepadanya. Mereka hanya sebatas penjual dan pembeli saja."Oh, tidak, Len. Ini hanya kebetulan saja. Motif yang tersedia hanya itu dan kita sama sekali tidak request atau tak tahu bakal dapat motif yang sama." Mengklarifikasi pernyataan, tangan Hana pun langsung mengaduk dan menyamarkan motif yang tercetak di atas minuman kopi. Entah mengapa dalam hati kecilnya tak ingin Mahendra salah paham dan punyai pikiran yang tidak-tidak terhadapnya. Baru saja, tangan mengangkat gelas putih dan ingin menempelkan ke bibir, terdengar suara bariton Mahendra."Sejak kapan kamu boleh minum kopi?"Suara itu membuat suasana sedikit mencekam, mereka bingung kalimat itu ditujukan untuk siapa. Otomatis pula, Hana menahan tangannya dan membiarkan cangkir tersebut mengambang di udara."Maksud kamu apa, Mas?" Demi membunuh r
Baca selengkapnya
Bab 16A
Beberapa detik dalam kondisi itu, mereka saling mengunci pandangan. Dekat sekali, hanya menyisakan beberapa centimeter saja. Sampai-sampai mereka bisa merasakan hangat napas dan debaran jantung yang tak karuan di rongga dada pasangannya. Nyaman? Iya, tak dipungkiri, Hana hanyut dalam dekapannya. Aroma parfum Mahendra yang familiar membius dirinya. Kalau saja, Elena tak mengeluarkan suara deheman, mungkin saja mereka sudah melakukan hal yang lebih dari itu. Menautkan kedua bibir mereka, mungkin."Dasar mesum, lepaskan!" Hana sengaja mengalihkan, seakan-akan pria itulah tersangkanya. "Tubuh kamu yang datang, Han. Aku hanya menyambutmu." Pria itu pun tak mau disalahkan walau memang tangannya yang refleks menarik tubuh Hana agar tak terjatuh. Itu saja."Aku didorong, mana mungkin aku sengaja mendatangimu. Kamu jangan ngada-ngada nuduh orang atas apa yang tak aku sengaja." Berjalan menjauhi, Hana bisa gila lama-lama berada di dekatnya. Aroma tubuh dan parfum yang dirindukan baru saja men
Baca selengkapnya
Bab 16B
"Kamu apa-apaan, sih, Mas?" Gadis itu menepuk bahunya tetapi Mahendra tak peduli.Bukannya tak suka, Elena hanya tak ingin menambah kadar kejengkelan Hana. Lantaran dia menangkap raut wajah penolakan Hana saat melihat pria itu mengambil anaknya. "Tidak perlu, lepaskan anakku! Biarkan Kak Arsen saja yang menggendongnya."Hana merebut tubuh Kai yang kedua tangannya melilit erat di leher Mahendra. Sepertinya bocah itu tak ingin berpindah tempat. sSemakin tubuhnya ditarik semakin dia mempererat pelukan ke leher pria tersebut."Han, kamu jangan paksa, kamu menyakitinya. Nggak apa-apa aku yang bawa anak ini," ucap Mahendra dan mendapatkan penolakan dari Hana."Tidak bisa, ayo, Nak! Ikut Om Arsen. Kita mau pulang sekarang. Kamu harus istirahat.""Han.""Kamu lepasin tangan kamu.""Nggak bisa, bukan di aku. Kamu tak tahu bagaimana eratnya dia merangkul leherku. Aku juga hampir tercekik."Melihat mereka berdebat lagi, Elena pun mendekat dan memberi pengertian kepada Hana. Demi Kai."Biarkan
Baca selengkapnya
Bab 16C
Di bangku belakang, Hana menatap pemandangan jalan dari balik kaca jendela. Sesekali ia menatap langit yang tanpa ditemani bulan maupun bintang dengan hati dan tatapan kosong. Wanita itu tak berniat sedikitpun menengok ke kursi depan.Tadi Hana tidak ada pilihan lantaran Kai yang memilih menumpang mobil sang ayah. Kalau tidak, dia pun tak sudi berada dalam satu mobil itu bersamanya. Dia sudah mati-matian menghindar, malah sekarang dirinya dipertemukan dalam kondisi seperti itu demi Kai.Melalui kaca spion, Mahendra mengamati setiap gerak-geriknya dalam diam. Dia tahu detik itu bukan saatnya untuk berbicara. Dia khawatir kejengkelan si wanita cantik akan bertambah beberapa level dan dia tak mau itu terjadi.Sempat berhenti di salah satu apotik, Mahendra kembali ke mobil dengan menenteng kresek putih berlogo apotik di tangan kanannya. Lalu, mobil kembali melaju dengan kecepatan sedang. Langit mulai menghitam saat mobil mereka membelah jalan ibukota yang tak pernah kenal kata sepi. Heni
Baca selengkapnya
Bab 17A
"Pulanglah, Nak Hendra. Hari sudah malam. Biarkan Hana dan anaknya istirahat dulu."Mahendra membalikkan badan dan menemukan sang pemilik suara. Seorang ibu tangguh yang sudah berusia senja tetapi masih sanggup menerima pesanan ratusan kue dari pelanggannya. Mata ibu terlihat penuh harap agar pria yang berada di hadapan tidak mengganggu anak dan cucunya lagi. Benci, sepertinya sudah tidak, karena beriringan dengan waktu rasa itu semakin terkikis. Hanya saja, dia tak mau pria yang pernah menghancurkan masa depan putrinya kini kembali saat dia sudah berhasil mengembalikan segenap harapan hidup untuk putri dan cucunya."Maaf, Tante, kalau saya ganggu. Saya pamit dulu."Segan dan malu menghadapi orang tua itu, Mahendra pun patuh dan melangkah keluar. Dirinya merasa terusir dari rumah secara tidak langsung. Tidak ada ramah tamah di wajah ibu Hana, ia merasa dirinya tidak diterima di keluarga itu. Ia dapat merasakan perbedaan sikap wanita senja yang se
Baca selengkapnya
Bab 17B
"Ma, bacakan cerita untuk Kai."Bocah itu duduk dan meminta ketika Hana sedang berdiri di depan meja hias. Wanita itu sedang berusaha menata perasaan yang nyaris hancur ketika melihat masa lalunya hadir kembali. Nyata dan sangat dekat. "Kai, kenapa bangun lagi? Apa ada yang sakit?" Dia mendekati dan menyentuh dahinya. Masih hangat. Sepertinya dia harus memberikan obat penurun panas kepadanya. Hana kembali ke dapur dan mengambil obat yang biasa dikonsumsi jika Kai demam. Obat dari Mahendra di meja sama sekali tak tersentuh olehnya.Setelah selesai minum obat, Kai kembali berbaring dan Hana mulai membacakan buku cerita untuknya hingga bocah enam tahun itu tertidur. Memandang wajah putranya yang terlelap, diam-diam Hana menyadari ada garis wajah Mahendra yang terpahat melekat di sana. Mirip sekali. Bedanya, Mahendra mempunyai kumis tipis, sedangkan Kaindra tidak.Terkadang, tanpa diundang terlintas bayangan wajah Mahendra merajai pikiran,
Baca selengkapnya
Sebelumnya
123456
...
21
DMCA.com Protection Status