Adalah Rama Mahendra, seorang suami juga seorang anak. Sebagai anak laki-laki satu-satunya Rama merasa punya tanggung jawab penuh terhadap Ibunya. Sampai kapanpun, aku tetap milik Ibuku, adalah simbol Rama menjalani kehidupannya. Bahkan apapun akan Rama berikan jika sang Ibu yang meminta. Namun disisi lain, sang istri kerap kekurangan uang karena merasa pas-pasan. Namun Rama tak mengindahkan dan mengatakan istrinya boros. Puncak masalah terjadi ketika sang Ibu dan saudaranya memutuskan untuk tinggal bersama Rama. Sang istri pun tak tahan dan akhirnya memilih untuk berpisah. Namun tak semudah itu. Rama yang katanya mencintainya, berusaha mati-matian untuk mencoba mempertahankan rumah tangganya. Di tengah proses perceraian mereka, banyak kejadian mencengangkan. Terlebih ketika masa lalu hadir diantara mereka, yang akhirnya membuat mereka saling mengubah diri. Akankah rumah tangga mereka benar-benar kandas? Bagaimana Rama menyikapi masalah demi masalah yang terjadi di keluarganya?
View MoreSAMPAI KAPANPUN, AKU TETAP MILIK IBUKU.
Bab : 1
Oleh: Enik Wahyuni
"Mas tolonglah, aku sudah tak punya uang lagi, susunya Sania habis," ucap istriku sore ini.
"Lalu kemana saja larinya uangku, Sal, makanya jangan boros-boros jadi istri," ucapku kesal.
"Uang yang kamu kasihkan kemaren buat beli gas, Mas, kemaren gasnya habis, ditambah juga minyak habis," ucapnya dengan derai air mata.
Sebenarnya aku juga bingung jika Salma sudah mengeluhkan uang. Mau bagaimana lagi, kemaren Ibu di kampung meminta kiriman lagi, katanya untuk mengikuti arisan. Mana kuasa aku menolak permintaan Ibu. Ibu pasti akan menangis jika aku bilang tak ada uang.
"Coba ngutang dulu aja, Sal, di warungnya Bu Siti, nanti kalau gajian, Mas akan ganti," ucapku akhirnya.
Perempuanku itu akhirnya pergi ke warung Bu Siti, tentu saja untuk ngutang keperluan Sania. Aku tahu dihatinya pasti terluka, karena menyembunyikan airmatanya dibelakang Sania. Namun mau bagaimana lagi, aku pun juga sudah tak memiliki uang.
Sebenarnya gajiku di kantor juga lumayan. Dengan gaji 8 juta per bulan sangatlah cukup jika hanya untuk memenuhi kebutuhan keluarga kecilku. Namun Ibu di kampung serta adikku yang kini ditinggalkan suaminya, menjadi tanggunganku juga.
Belum lagi jika keponakanku minta mainan ini dan itu, tadinya ibu cukup ku jatah 2 juta per bulan, sedangkan adikku Fera ku jatah 1 juta perbulan. Namun lama kelamaan Ibu selalu meminta kiriman jika mendekati pertengahan bulan. Malaikatku itu banyak mengikuti arisan katanya, sehingga mau tidak mau aku juga harus mengirimnya.
"Kemaren Ibu dan Fera habis beli baju, Rama, malu kalau kita pergi arisan bajunya itu-itu terus. Fera juga anaknya tak beliin satu stel, kasianlah masa nggak dibeliin," ucap Ibu ketika aku menelponnya kemarin.
Sedangkan dasternya Salma yang sudah koyak dan bolong sana sini, entah berapa jahitan yang digunakan untuk menambal dasternya, tapi Salma tidak pernah mengeluh. Kata ibu aku juga harus tegas, agar istriku tidaklah manja.
"Punya istri itu jangan terlalu dimanjakan, nanti tuman, kalau sampai ngelunjak dan susah diatur, kamu sendiri yang susah nantinya," ucap Ibu waktu itu.
Ya, Malaikatku itu akan marah jika uang gajiku dipegang oleh istriku. Istri itu harus bisa mandiri, bukan ingin menguasai gaji suami sendiri, katanya waktu itu.
Sebenarnya kalau mau dihitung, Istriku itu cuma memegang seberapa dari gajiku. Aku menjatahnya satu juta per bulan, dengan segala keperluan dapurnya. Tapi kata Ibu, aku harus tegas. Terbukti akulah hasil didikan Ibu, sayang sama keluarga dan kerja di tempat yang nyaman. Semua ini adalah berkat kerja keras dan susah payah Ibu.
Jelaslah aku tak bisa menolak apapun permintaan Ibu, beliau yang sudah membesarkanku. Apapun akan kulakukan asal Ibu bahagia, ya, walaupun keluarga kecilku harus sedikit kesusahan. Tak apalah yang penting Ibu bahagia. Bukankah aku bisa kerja di tempat bagus seperti ini karena hasil dari didikan Ibu, dan aku tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
Ku tengok Salma yang sedang menidurkan Sania di sebelahnya, nampak sekali wajah lelahnya, tergambar jelas ada raut sedihnya juga wajah sayu anakku, Sania, yang akhir-akhir ini sering ku abaikan.
Biarlah, untuk mengurangi kebosanan aku beranjak nongkrong bersama teman-teman untuk menghilangkan suntuk dirumah. Pergi ke warung kopi tempat Mbak Lela, yang biasa nongkrong bersama temanku disana.
"Kusut amat, tuh muka," ucap Arman ketika sampai di warung kopi Mbak Lela.
"Iya, biasa," ucapku cuek.
"Pulang kerja tuh, harusnya senang, ini malah kusut mukanya, bukannya gajian baru kemaren ya," ucap Arman.
"Iya, tapi ya, begitulah," ucapku akhirnya.
"Salma kan nggak kerja, ya, kayak bini gue dong, bini gue kerja bro, jadi ya aku gak capek-capek banget,"
Aku langsung menoleh, coba seandainya Salma juga kerja seperti Istrinya Arman. Mungkin aku tak sepusing ini. Jika seandainya Salma kerja, gajinya Salma yang buat memenuhi kebutuhan rumah sedangkan gajiku untuk memenuhi kebutuhan keluargaku yang dikampung.
Seketika ide brilian itu langsung muncul, aku harus berkomunikasi dulu, agar Salma mau mempertimbangkan. Dulu dia sempat kerja memang, sebelum menikah denganku kerjanya juga lumayan waktu itu posisinya. Tapi karena menikah denganku akhirnya dia memilih resign.
Aku juga yang menyuruh resign waktu itu, posisi kerjanya lebih bagus daripada posisiku. Gengsi dong dengan teman-teman yang lain, akhirnya dia mengikutiku untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya.
Aku beranjak pulang setelah jam menunjukkan tengah malam, dengan mengendarai motor butut aku pun sampai di depan rumah juga.
Tok … tok … tok ….
"Sal, bukain pintunya," ucapku sambil teriak. Lama banget buka pintu gitu aja.
Akhirnya pintu pun terbuka, dengan wajah kantuk dengan menguap dia membukakan pintu.
"Maaf, Mas, aku kira Mas gak pulang," ucapnya dengan masih terus menguap.
"Lah, kalau nggak pulang, terus aku tidur dimana?" ujarku sambil merebahkan diri.
--------------------
"Sal, sarapanku mana?" ucapku pada Salma karena tak mendapatkan makanan apapun yang ada di meja.
Tapi rupanya Salma masih baik hati, dia menyuguhkan teh yang masih hangat terhidang di meja. Iyalah, suaminya kan mau kerja, masa nggak ada apa-apa. Pelan ku sruput teh yang masih mengepul mengeluarkan aroma khas. Kemudian ke teguk pelan untuk mengeluarkan penat di pagi ini.
"Huweeeekkk ….
Aku memuntahkan teh yang disediakan oleh Salma, hingga berhamburan airnya ke lantai.
"Kamu mau meracuniku, Sal, aku ini mau berangkat kerja, bukan dilayani malah dibikin emosi," ujarku kepada Salma.
"Maaf, Mas Rama, gulanya habis, makanya bikin teh doang," ujar Salma sambil berlalu ke kamar.
"Terus sekarang sarapanku mana?" ucapku mengikutinya ke kamar.
"Beras habis, Mas, beliin dulu berasnya, nanti aku masakin, atau …." ucap Salma menggantung.
"Atau apa," tanyaku.
"Atau Mas Rama minta makan sama Ibu saja, bukannya uangnya sudah dikirim semua di kampung?" ujar Salma membuatku membelalakkan mata.
"Jangan kurang ajar kamu, Sal, itu memang jatah Ibuku, ya," ucapku semakin emosi.
Sial memang, pagi-pagi mau berangkat kerja malah kena prank sama Si Salma. Segala menyebut nama Ibu lagi, emang dia pikir dia siapa.
"Yaudahlah, Mas, aku ngantuk mau tidur dulu. Semalem Sania rewel jadi aku kurang tidur," ucapnya sambil ikut rebahan di sebelah Sania.
Aku yang menyaksikan Salma ikut rebahan dengan Sania, seketika emosiku memuncak. Ku tarik Salma lantas mendorongnya.
"Aaaauuu … sakit, Mas," ucapnya.
"Kamu bener-bener keterlaluan, Sal, suamimu ini mau berangkat kerja, kamu malah enak-enakan tidur," ucapku dengan menunjuk mukanya.
"Kamu kalau minta dilayani, minta saja sama Ibumu, Mas, bukannya uangmu selalu habis buat keluargamu, lihat Sania, bahkan beli susu buat Sania saja harus ngutang ke warung, dimana pikiranmu, Mas, dimana?" ujar Salma emosi.
Kenapa Salma sekarang jadi seberani ini, selama ini dia tak masalah dengan sikapku dengan keluargaku. Ah, lebih baik aku segera berangkat kerja jika sudah seperti ini. Mungkin Salma butuh istirahat, hingga pikirannya oleng begini. Aku harus segera berangkat kerja, tak apalah kalau tak sarapan.
********
BAB : 154.ENDING.***Suasana pernikahan begitu ramai dan ceria, terlihat di wajah cerah sang pengantin. Daffa dan Lean, yang begitu banyak melewati jurang terjal, akhirnya mencapai kebahagian, dengan mengikat janji suci sakral kebahagiaan mereka. Zeanna mendekat, dengan wajah bahagia plus haru, memandang sendu pada sang menantu.“Duh, mantu Mama cantik banget sih. Iya kan Pah?” ujar Mama mertua yang kini tengah berada di depan Lean.“Makasih, Ma, Pa,” sahut Lean dengan senyum malu malu. “Selamat Lean sayang, kamu sekarang udah jadi istri orang, Nak. Jadi tidurnya udah nggak sendiri lagi, udah nggak sama Bibi juga. Jadi Bibi minta, kamu kalau tidur nggak boleh ngigau ya,” ujar Bibi sambil memeluk Lean.Mendengar ucapan Bibi spontan mertua Lean tertawa. “Bibi mah kalau ngucapin selamat ya udah, selamat aja! Nggak usah bahas tidurnya Lean juga kali!” Lean menggerutu, pura pura manyun.“Ye, Bibi kan cuma bilangin.” Mulut Bibi mencebik, membuat Lean sendiri gemas lantas memeluknya.“Le,
BAB : 153Ketika Pernikahan Terjadi.***~Lima Bulan Kemudian.“Mbak Lean cantik banget. Subhanallah, cantiknya…!” puji MUA yang menangani Lean saat ini. “Soalnya Mbak Lean tuh dari sananya udah cantik, jadi dipoles sedikit aja udah luar biasa cantiknya. Aku yakin, nanti suami Mbak Lean nggak berkedip lihatnya!” Imbuhnya lagi, sembari merapikan baju yang dikenakan oleh Lean kali ini. “Ah, Mbak terlalu berlebihan deh, semua wanita kalau dirias seperti pasti cantik, kan.” Sambil tersenyum di depan cermin Lean berucap.“Itu mah pasti. Tapi nggak tau lo Mbak, sebagai MUA aku seneng rias Mbak Lean tuh. Cantik!” ucap MUA lagi.“Saya keluar sebentar ya, Mbak. Bentaran!” Pamitnya, lantas berlalu pergi meninggalkan Lean yang masih mematut diri di cermin.Perempuan cantik dengan berbalut kebaya putih nan megah itu tengah mematut diri di cermin. Ya, Leandita Herlambang kini akan segera melepas masa lajangnya hari ini. Mengikrarkan janji suci di depan penghulu dengan seseorang yang dicintai adal
BAB : 152Rahasia Tentang Kinara.***Daffa langsung mengambil ponselnya ketika ada pesan yang masuk. Ia membuka pesan tersebut, senyumnya mengembang karena ternyata Restu yang berkirim pesan. Namun matanya seketika membulat setelah melihat apa isi pesan tersebut."Kenapa, Daff?" tanya Zeanna ketika melihat raut wajah Daffa yang terlihat tak bersahabat."Kinara, Mah. Ternyata Kinara selama ini menjadi istri simpanan Koswara. Ini Restu yang baru saja mengabari." Papar Daffa, yang membuat sang Mama tercengang seketika."Kinara, Daff?" tanya Zeanna seakan tak percaya. Lean memilih diam, karena sebelumnya sudah menduga ke arah situ. Jika tidak ada sesuatu, mana mungkin Kinara terus dibelanya. Ternyata ini rahasianya."Mama mending baca sendiri, deh! Restu sudah menyita semua yang dimiliki oleh Kinara, termasuk rumah mewah yang ia tempati saat ini. Karena semua adalah milik Lean." Daffa melirik ke arah Lean seraya memberikan ponselnya pada Mamanya."Dan media sosial adalah hukuman yang pa
BAB : 151Mengunjungi orang yang kita cintai dalam keadaan sudah berada di pusara, itu sangatlah mengiris hati.***“Mama, semoga Mama tenang di sana, Ma! Lean ikhlas melepas Mama!” ucap Lean di depan pusara sang Mama.Pagi ini Lean dengan ditemani oleh Daffa sedang berziarah di makam sang Mama. Air mata Lean kembali luruh melihat sang Mama yang kini benar benar telah tiada. Sedangkan sejak tadi Daffa menenangkan Lean dengan terus mengelus punggungnya. Setelah lima hari pasca pulang dari rumah sakit, Daffa baru berani membawa Lean bepergian. Selain takut Lean kelelahan, ia juga takut luka Lean masih belum sembuh benar.“Sabar ya, Le.” Daffa terus menguatkan Lean yang terlihat rapuh. Ia mengelus pundak Lean yang sejak tadi berguncang. Sungguh, ia tak kuasa melihat Lean yang terus menangis seperti ini. Hatinya perih, melihat orang terkasihnya sedih. Sudah banyak air mata yang Lean tumpahkan, dan sekarang kembali ditumpahkan di pusara sang Mama.“Lean pamit ya, Ma,” Lean mencium pusara
BAB : 150Setelah Kepulangan Lean.***~Satu minggu kemudian.Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah hati Daffa dan Lean karena sedang berkemas pulang. Daffa sedang berkemas, sedangkan Lean baru saja keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang lebih segar. Namun masih ada yang mengganjal hati Daffa, sehingga wajahnya terlihat murung. Lean yang menyadari itu langsung mendekat.“Mas kenapa? Kok kayak sedih gitu?” tanyanya.“Kamu yakin, mau pulang ke rumahmu Le? Lukamu masih belum sembuh banget lo, nanti kalau ada apa apa dengan kamu gimana?” tanya Daffa khawatir.“Lean nggak enak lah, Mas, sama Mama. Kalau dulu Lean ke rumahmu kan karena menjadi Sumi, terus sekarang apa alasanku untuk tetap bertahan di sana?” tanya Lean.“Ya tapi kan ada Bi Nina yang pasti juga kangen sama kamu Le. Mama aja nggak papa kok, kamu tinggal di rumah,” Rayu Daffa yang merasa berat pisah dengan Lean.“Nanti kalau Bibi kangen, tolong anterin ke rumah ya Mas! Bi Nina sangat sayang dengan Lean, ya… walaupun ia m
BAB : 149Pengusiran Brenda dan Laura. Dan di sini, Laura merasakan pontang panting karena tak mempunyai pegangan.***"Maaf, para Bapak ke sini mau mencari siapa?" tanya Brenda yang kini merasa menjadi tuan rumah. "Perkenalkan, kami adalah orang suruhan Bu Lean. Boleh kami masuk?" tanyanya dengan menatap Brenda.Brenda merasa tercekat mendengar nama Lean. Bagaimana bisa Lean masih hidup? Bukankah waktu itu Koswara telah menembaknya? Walaupun akhirnya Koswara tertangkap polisi, dan kini Brenda yang menjadi pemenangnya. Ia hanya mematung di tempat karena syok. Syok menghadapi kenyataan, bahwa ternyata Lean masih hidup."Boleh kami masuk, Bu?" Brenda tersentak mendengar laki laki berumur 40 tahunan itu kembali memanggil."Bo-boleh, silahkan!" Brenda mempersilahkan mereka masuk, walau dengan tergagap.Mereka yang berjumlah empat orang pun kini masuk ke dalam rumah dan duduk berhadap hadapan dengan Brenda. "Begini, Bu. Kami mendapat tugas dari Bu Lean bahwa Bu Brenda dan juga Laura sege
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments