Abidzar Aidan Adhitama, seorang miliarder yang belum lama ditinggal oleh pasangan hidupnya, tak sengaja dipertemukan kembali dengan seseorang dari masa lalu. Rasa kesepian membuatnya lupa bahwa Binar bukan lagi gadis kecil yang dulu sangat mengaguminya. Binar telah berkeluarga dan tumbuh menjadi sosok wanita yang menjunjung tinggi sucinya sebuah ikatan pernikahan. Namun Abidzar justru semakin terobsesi. Segala cara dia lakukan untuk bisa mendapatkan perhatian dan cinta Binar kembali. Bahkan dia tak segan menyakiti orang-orang yang ada di sekitar Binar.
Voir plusTujuh belas tahun lalu aku tak pernah menganggapnya ada. Bahkan, aku sering memilih untuk pura-pura tidur di dalam kamar rumah pakde saat dia dan beberapa teman sebaya sengaja datang untuk mengajakku bermain. Aku tahu Binar menyukaiku dari teman sekelas kami yang mulutnya bocor kemana-mana. Anak ketua RT di kampung kakak papa tempat aku dititipkan untuk ber-Sekolah Menengah Tingkat Pertama itu, entah kenapa senang sekali mengirimkan benda-benda aneh untukku yang dititipkan lewat budhe.
"Ini kue bikinan Binar sendiri loh, Bi. Kamu nggak mau coba nih? Enak loh." Budhe selalu menggoda dengan kalimat sama sembari mencomot sepotong kue kering dari toples yang disodorkannya padaku.
Memang sih aku akui, makanan-makanan yang dikirimkan Binar biasanya baunya sangat menggoda. Tapi aku gengsi untuk menyentuhnya.
Tak hanya makanan, dia juga sering memberikan benda-benda yang menurutku sangat norak. Buku cerita, pensil atau pulpen yang bentuknya membuat alisku berkerut, gantungan kunci, dan masih banyak lagi. Namun sedikitpun, benda-benda itu tak pernah ingin kusentuh. Aku ingat, budhe selalu menyimpan rapi benda-benda pemberian Binar itu di sebuah kotak kayu, lalu menaruhnya di atas lemari pakaianku waktu itu.
Entah bagaimana nasib benda-benda itu sekarang. Aku sangat jarang berkunjung ke rumah itu lagi sejak lulus SMP dan papaku memasukkanku ke salah satu SMA elit di ibukota. Terakhir kali, kami ke sana saat pakde meninggal. Itu pun sudah beberapa tahun silam.
Belasan tahun kemudian, sosoknya tiba-tiba muncul di kantor tempatku menjalankan roda bisnis bernilai milyaran. Penampilannya sudah sangat jauh berubah. Aku hampir tak mengenalnya lagi andai dia tak memanggilku dengan nada yang sama seperti dulu.
Aku yang sedang sangat terluka dan kesepian, tiba-tiba seperti menemukan obat. Entah kenapa, mendadak begitu kurindukan sosok masa kecil itu. Lebih gila lagi, aku sampai berpikir andai waktu bisa diputar. Mungkin jika Binar yang menjadi pendampingku, aku tak perlu merasakan sakit seperti ini.
Sayangnya, aku sudah sangat terlambat. Gadis kecil yang dulu pernah memujaku itu ternyata sudah tak ada lagi. Dia sudah pergi entah kemana, tapi aku bertekad untuk membawanya kembali. Bagaimanapun caranya, Binar harus menjadi milikku.
(Abidzar Aidan Adhitama)
*
Di saat hidup sedang berat-beratnya. Rumah tangga sedang diguncang masalah demi masalah, aku malah dipertemukan dengan Abidzar dengan status dudanya. Pria dari masa lalu yang pernah sangat ku puja itu hadir dalam sosok pria dewasa yang nyaris sempurna.
Jujur, hati kembali bergejolak. Apalagi, saat Abidzar yang dulu begitu sulit digapai kini justru begitu dekat. Bahkan memaksa masuk tanpa kendali. Tapi mungkinkah kutinggalkan keluarga yang telah menemaniku sekian lama hanya untuk pria kaya raya yang baru saja patah hati itu?
Aku yakin, Abidzar hanya sedang mencari pelampiasan atas kekecewaan hidup yang sedang dialaminya. Sayangnya, dia menjatuhkan pilihan konyolnya itu padaku dan aku bukanlah Binar yang pernah dikenalnya dulu.
(Binar Kanaya Shasmita)
Tujuh belas tahun lalu aku tak pernah menganggapnya ada. Bahkan, aku sering memilih untuk pura-pura tidur di dalam kamar rumah pakde saat dia dan beberapa teman sebaya sengaja datang untuk mengajakku bermain. Aku tahu Binar menyukaiku dari teman sekelas kami yang mulutnya bocor kemana-mana. Anak ketua RT di kampung kakak papa tempat aku dititipkan untuk ber-Sekolah Menengah Tingkat Pertama itu, entah kenapa senang sekali mengirimkan benda-benda aneh untukku yang dititipkan lewat budhe.
"Ini kue bikinan Binar sendiri loh, Bi. Kamu nggak mau coba nih? Enak loh." Budhe selalu menggoda dengan kalimat sama sembari mencomot sepotong kue kering dari toples yang disodorkannya padaku.
Memang sih aku akui, makanan-makanan yang dikirimkan Binar biasanya baunya sangat menggoda. Tapi aku gengsi untuk menyentuhnya.
Tak hanya makanan, dia juga sering memberikan benda-benda yang menurutku sangat norak. Buku cerita, pensil atau pulpen yang bentuknya membuat alisku berkerut, gantungan kunci, dan masih banyak lagi. Namun sedikitpun, benda-benda itu tak pernah ingin kusentuh. Aku ingat, budhe selalu menyimpan rapi benda-benda pemberian Binar itu di sebuah kotak kayu, lalu menaruhnya di atas lemari pakaianku waktu itu.
Entah bagaimana nasib benda-benda itu sekarang. Aku sangat jarang berkunjung ke rumah itu lagi sejak lulus SMP dan papaku memasukkanku ke salah satu SMA elit di ibukota. Terakhir kali, kami ke sana saat pakde meninggal. Itu pun sudah beberapa tahun silam.
Belasan tahun kemudian, sosoknya tiba-tiba muncul di kantor tempatku menjalankan roda bisnis bernilai milyaran. Penampilannya sudah sangat jauh berubah. Aku hampir tak mengenalnya lagi andai dia tak memanggilku dengan nada yang sama seperti dulu.
Aku yang sedang sangat terluka dan kesepian, tiba-tiba seperti menemukan obat. Entah kenapa, mendadak begitu kurindukan sosok masa kecil itu. Lebih gila lagi, aku sampai berpikir andai waktu bisa diputar. Mungkin jika Binar yang menjadi pendampingku, aku tak perlu merasakan sakit seperti ini.
Sayangnya, aku sudah sangat terlambat. Gadis kecil yang dulu pernah memujaku itu ternyata sudah tak ada lagi. Dia sudah pergi entah kemana, tapi aku bertekad untuk membawanya kembali. Bagaimanapun caranya, Binar harus menjadi milikku.
(Abidzar Aidan Adhitama)
Jalanan mulai menanjak, berkelok-kelok di antara perbukitan yang diselimuti kabut tipis. Dari jendela mobil, Binar melihat hamparan kebun teh terbentang sejauh mata memandang, hijau dan tenang, kontras dengan kegelisahan yang ia rasakan di dadanya. Aroma tanah basah masuk melalui celah kecil ventilasi, mengingatkan pada pagi-pagi masa kecilnya, saat ia masih berlari di jalan berbatu desa itu.Abidzar melirik sekilas ke arahnya, lalu kembali fokus ke jalan. “Kapan terakhir kamu pulang?” tanyanya.Binar tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba itu. Ia langsung menunduk. Jemarinya meremas pangkuan, suara mesin mobil terdengar lebih keras daripada detak jantungnya sendiri. “Sudah… sangat lama,” jawabnya pelan. “Sejak aku menikah.”“Kenapa?” nada suara Abidzar terdengar datar, tapi ada sesuatu di baliknya. Rasa ingin tahu yang sengaja ditahan agar tidak terdengar seperti interogasi.Binar menelan ludah, menatap keluar jendela. Pemandangan indah itu mendadak terasa asing. “Aku ikut suamiku. Hi
Pagi itu, di ruang tamu rumah, Binar menatap Dhimas dengan mata yang berat. Tangannya menggenggam tas kerja yang belum sempat ia siapkan sepenuhnya, sementara Dhimas berdiri di hadapannya dengan senyum mengembang. Bukan senang karena istrinyaakan pergi, tapi lebih ingin menyemangati.“Nggak ada yang ketinggalan kan, Sayang? Ayo dong yang semangat, jangan lesu gitu,” suara Dhimas ringan.Binar menelan ludah. “Sudah kok, Mas. Maaf ya harus ngrepotin Mas dengan Aaron.”“Ngomong apa sih, Sayang? Nggak repot. Kamu have fun ya, nikmati aja, anggap liburan.” Mata Dhimas mengerling. Lalu merengkuh tubuh istrinya dalam pelukan. “I will miss you,” bisiknya lembut di telinga Binar. “Aku janji akan langsung balik setelah sampai kantor, Mas.”Dhimas mengangguk. “Oke… hanya dua hari kan? Kamu hati-hati ya, Sayang.” Dhimas merengkuh makin erat, mencium kening istrinya dalam dalam, lalu melepaskannya dengan senyuman. Binar hanya tersenyum tipis, tak paham kenapa merasa ada hal yang mengganjal di dad
Beberapa hari berlalu setelah makan siang itu. Binar merasakan suasana yang berbeda. Abidzar sama sekali tak menghubunginya, pun tak ada panggilan untuknya pergi ke ruangan direktur. Bahkan, sekali waktu dia pernah berpapasan dengan lelaki itu di koridor, tapi Abidzar tak merespon sapaannya. Ia sekadar melirik, lalu melangkah cepat, seolah Binar tak lebih dari kursi kosong di sudut ruangan.Koridor kantor terasa asing dalam diam yang mendadak tercipta. Derap sepatu Abidzar yang biasanya membuat jantung Binar berdegup kencang kini hanya lewat tanpa menorehkan jejak apa pun. Kelegaan menyelinap, tapi entah kenapa ada ruang kosong di dadanya, seakan sesuatu yang dulu menakutkan kini malah menyisakan kehampaan.Tiba-tiba Binar merasa asing. Seperti ada yang hilang. Namun bersamaan dengan itu, ada kelegaan telah terbebas dari tatap intimidasi Abidzar. Binar sempat berpikir, mungkin pria itu tak lagi penasaran padanya setelah pertanyaan-pertanyaan pribadi di makan siang hari itu, hingga kem
Langkah kaki Binar terasa berat memasuki gedung kantor pagi itu. Aroma khas pengharum ruangan mewah yang beberapa hari ini menenangkan, kini tak mampu mengusir resah di dadanya. Jemarinya menggenggam erat ujung tas kerjanya, seolah benda itu bisa jadi perisai dari segala kemungkinan buruk yang menantinya. Hatinya terus menimbang, apakah hari ini Abidzar akan kembali membuatnya sesak?"Pagi, Binar," sapa Mili dari meja sebelah, suaranya ringan seperti biasa, sumringah. Binar sempat berpikir mungkin gadis itu sedang jatuh cinta."Pagi," jawab Binar lirih, mencoba tersenyum walau bibir terasa kaku.Mili mencondongkan tubuh sedikit, suaranya diturunkan. "Mukamu pucat sekali. Kamu sakit?""Nggak. Nggak apa-apa kok, Mil." Binar buru-buru menjawab, lalu menyalakan komputer di depannya. Ia tidak ingin membiarkan ketakutannya terbaca, bahkan oleh Mili yang paling dekat dengannya di kantor itu.Namun kegelisahan itu tak bisa begitu saja ditekan. Setiap suara langkah berat di lantai membuatnya m
Binar menapaki tangga menuju basement dengan langkah ragu. Gema langkah kaki di lantai marmer membuatnya semakin waswas. Ponsel di sakunya terus berdering dari satu menit yang lalu, tapi ia tak berani mengangkat. Perasaan aneh menghantui, seperti sesuatu yang tak terlihat mengawasi setiap gerakannya.Di salah satu sudut parkiran, sosok tinggi tegap nan tampan itu sudah menunggunya. Abidzar berdiri di samping mobil mewah berwarna metallic, tangan mengepal di saku celana. Jas abu gelap rapi menempel di tubuhnya, memancarkan wibawa yang menusuk relung hati Binar. Mata tajamnya seolah bisa menembus isi pikiran. Bahkan dalam jarak beberapa meter, aura arogan pria itu membuat Binar ciut nyali.“Lama sekali.” Suara Abidzar berat, terkesan menggerutu, tanpa senyum. Tak ada sapaan hangat, hanya terdengar seperti otoritas yang mengancam.“Ma-maaf, Abi. Eh, maksud saya, P-pak. Tapi ini sudah jam pulang. Apa ada hal yang masih harus saya kerjakan?” Binar berusaha berucap pelan, menatap lurus ke w
"Kamu kenapa, Binar? Kok pucet gitu sih?" Mili melambaikan tangannya di depan wajah teman kerja barunya yang kembali dengan kondisi mengkhawatirkan. Binar dengan jantung masih berpacu segera duduk dengan tatap kosong. Tak diperhatikannya Mili bertanya. "Binar!" Mili mulai panik karena Binar masih belum bereaksi."Eh iya, Mil." Akhirnya dia menyahut setelah Mili menepuk lumayan keras bahunya."Heh? Kenapa sih kamu? Habis dimarahin bos ya?" Mili penasaran. Binar langsung menggeleng."Lalu kenapa?" Mili makin penasaran. Sementara Binar menatap Mili ragu. Apakah dia harus menceritakan kejadian yang dialaminya di ruang direktur pada teman barunya? Tapi, bagaimana kalau hal itu malah akan menimbulkan masalah untuknya?"Mmm ... anu itu, ternyata big bos itu masih muda banget ya?" Binar bicara asal setelah tak menemukan kalimat yang tepat untuk mengarang cerita."Hmm." Mili segera memajukan bibir satu senti. "Harusnya sih tadi aku peringatkan kamu sebelum ke sana. Aku lupa." Mili segera menep
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Commentaires