Sudah jatuh, tertimpa tangga, kejedot tembok, ketiban genteng, mungkin komplikasi kesialan ini cocok menggambarkan situasi yang dialami Ashanna Dewi Purnama. Ia kehilangan pekerjaan, ibunya sakit, dan ayahnya terlilit utang sampai-sampai dirinya nyaris dibawa paksa untuk dijadikan istri muda sang rentenir. Ngeri-ngeri nggak sedap sih, kalau kayak gini! Yang tak kalah menyakitkan kekasih yang dicintainya berkhianat dengan sahabatnya sendiri. Sungguh terlalu! Namun, keajaiban itu ada. Yudistira Adi Nugraha, kawan masa kecil Ashanna, hadir kembali dalam hidupnya, menyelesaikan masalah yang dihadapinya tanpa syarat. Sayang, karena kecerobohannya sendiri, gadis itu harus menikah dengan Yudistira. Yah, kalau nikahnya sama cowok ganteng, kaya, penebus kehidupan kita, siapa yang bakalan nolak, sih? Meyakini bahwa cinta bisa tumbuh seiring berjalannya waktu, Ashanna berupaya membuat pernikahannya berhasil. Bagaimana bila ternyata Yudistira tak sebaik yang Ashanna bayangkan, serta menyimpan rahasia yang tak diketahui oleh siapapun?
Lihat lebih banyak(Tiga tahun kemudian) "Tangkap, anak-anak!" "Ayo, Dik! Lari!" "Ahahaha! Kakak!!!" Teriakan dan jeritan tawa khas bocah yang sanggup memekakkan telinga, membuat suasana di halaman belakang rumah mertuaku begitu ramai. Berisik, sekaligus menghangatkan hati. Yudistira, suami yang amat kucintai, bermain tangkap bola dengan kedua anak kami, Dias dan Nara. Meskipun keduanya mewarisi wajah sang ayah, sifat mereka sangat berbeda. Nara pemberani, cerewet, dan berjiwa pemimpin, cocok banget dengan suasana hati yang kurasakan ketika aku hamil. Sedangkan Dias lebih tenang, dan mudah tersentuh, cocok juga dengan pembawaanku yang suka mewek saat mengandungnya. Kupandang mereka bertiga penuh sayang. "Lucu banget, ya, cucu-cucu Mama," celetuk ibu mertuaku yang tiba-tiba berdiri di sampingku. "Anak Mama lebih lucu, Ma," sahutku sambil cengengesan. Kan, suamiku memang lucu. Sesaat Mama Ani terbengong, lalu dia memukulku main-main. "Baguslah, kalau kamu masih menganggap anak Mama yang paling luc
"Selamat, Nak! Sudah lengkap sekarang, satu perempuan, satu laki-laki." "Selamat, ya, Yudistira dan Ashanna, anak kalian ganteng banget!" "Lucunya anak kalian!" Pujian semacam itu sering kudengarkan beberapa hari ini setelah si Cendol lahir ke dunia. Membanggakan memang, tetapi tak semua pujian membuatku senang. "Ya, ampun! Ini sih foto copy-an Yudistira." "Mirip banget dengan bapaknya." "Benar, mirip plek ketlipek-tiplek." Katanya anak perempuan lebih mirip ayahnya, sedangkan anak lelaki lebih mirip ibunya. Nah, sekarang aku punya dua anak, satu perempuan, satu laki-laki, mengapa nggak ada satu pun yang mirip aku? Mereka berdua mirip bapaknya, ibunya kebagian apa? Seakan-akan aku cuma dijadikan jalan lewat mereka lahir ke dunia. Aku mau nitipin bentuk hidung saja mereka menolak.Memang sih, hidung suamiku lebih mancung ketimbang hidungku, jadi sudah pasti hidung anak-anakku juga mancung. Hah!"Malah bagus kali, Sha. Nggak akan ada yang meragukan bahwa kamu punya anak sama Yudi
"Sayang, ini kabar bahagia, mengapa kamu bersedih?" Pertanyaan suamiku, meskipun disampaikan dengan suara yang lembut, malah membuatku semakin galau, hingga rasanya aku ingin menangis. Bagaimana aku tidak sedih, baru juga enam bulan lalu aku melahirkan, eh, aku sudah hamil lagi. Bukannya aku tidak senang, tetapi anak pertamaku masih kecil, ia masih butuh banyak perhatian dariku, aku bahkan berencana untuk memberikan ASI eksklusif untuk Nara paling tidak selama setahun. "Seorang ibu hamil bisa saja menyusui, tetapi itu juga tergantung kondisi sang ibu. Bila ibu sehat, tak menutup kemungkinan untuk tetap menyusui," kata dokter kandunganku memberiku sedikit harapan.Sayangnya, aku tidak termasuk ibu sehat itu. Kehamilan kedua, aku malah teler luar biasa. Bukan hanya mengalami morning sick, tubuhku rasanya sangat lemas hingga tak mampu melakukan banyak aktivitas. Dan lagi-lagi suamiku yang harus repot mengurus kebutuhanku, membantuku bila aku perlu makan, atau ke kamar mandi.Namun, yan
"Sakit banget, ya, Sayang?" suamiku bertanya dengan wajah penuh kecemasan.Hanya seulas senyum yang mampu kuberikan sebagai jawaban, karena kuyakin ekspresi wajahku saat ini sudah cukup menggambarkan apa yang kurasakan.Kata orang sakit bersalin tuh sakit banget, dan itu benar kurasakan, padahal ini barulah awal prosesnya. Perut melilit seperti saat sedang kebelet BAB, ada desakan yang kuat untuk mengeluarkan isi perut, tetapi sayangnya melahirkan tak semudah itu.Belum lagi kontraksi yang terjadi, mirip sekali dengan kram perut. Aku pernah membaca di internet bahwa rasa sakit persalinan itu setara dengan 20 tulang yang dipatahkan secara bersamaan. Dalam kasusku kayaknya 21 tulang yang patah, deh."Sha, kamu benar-benar sanggup melahirkan secara normal? Atau mau operasi saja?" tanya suamiku tiba-tiba.Kupalingkan mataku kepadanya, matanya berkaca-kaca. Aku tertawa lemah. "Yud, aku yang sakit, tapi mengapa kamu yang menangis?" aku balik bertanya. Kusentuh pipi pria yang kucintai itu.K
"Mbak, ini serius pilihanmu, Mbak? Asli, bukan Mbak Ashanna banget, lho." Ketiga adikku memandangku dengan tatapan penuh komplikasi, antara kagum, heran, dan sedikit tak percaya. Nada suara mereka terdengar mencemooh. "Unbelievable! Cantik, sih, cantik ...," komentar Desi mengambang, masih belum sanggup menerima kenyataan. Selama ini aku memang suka tampil cantik, tapi kecenderungannya cantik yang anggun, elegan, bukan cantik ala ciwi-ciwi yang girly dan kemayu. Mengingat tema acara untuk wedding anniversary ketiga kami adalah pernikahan, sudah sewajarnya aku mengenakan gaun pernikahan. Namun, karena perutku yang semakin membesar, jalan bulan keenam gitu loh, aku tak bebas memakai sembarang baju, karena bentuk perutku yang seperti balon bisa terekspos. Berdasarkan rekomendasi dari ahli bridal yang sudah berpengalaman belasan tahun, aku dibantu untuk memperoleh gaun yang tepat. Pilihannya jatuh kepada gaun pengantin ala-ala princess berwarna putih cantik, dengan bagian rok merekah
"Gimana sih kokinya? Kenapa masakannya begini semua? Nggak asyik, ah!" gerutuku dengan wajah tidak senang. Ketiga adikku, terutama Desi yang menjadi koki utama, memandangku dengan wajah merengut. Mereka sebal, karena aku mencela makanan yang mereka buat. Iya, aku yang mengomel tadi, karena sedikit kecewa dengan hasil masakan mereka. "Ya sudahlah, Mbak, tinggal makan pun," gerutu Disa tak senang. "Nggak perlu protes, tinggal buka mulut, nyam nyam nyam, perut kenyang," timpal Desi. Dida pun menimpali, "Rempong bener, sih, Mbak Ashanna ini." "Habis gimana, dong? Kalian masak western food, katanya, makanan Italia, tapi kok semua mengandung keju begini?" Aku mempertegas alasanku memprotes mereka. "Namanya western food, Mbak, pakai keju. Kalau pakai cabai, brambang bawang, ya masakan Jawa. Kalau pakai andaliman masakan Batak. Sudah autentik itu," Desi berdalih lagi. "Lagian tuh makanannya mengandung kalsium tinggi. Bagus untuk pertumbuhan bayi dalam kandungan, sehat untuk bayinya Mbak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen