Cinta yang Kamu Katakan, Datang Terlambat
Pacarku meninggal karena sakit. Sebelum menghembuskan napas terakhir, dia menitipkan satu-satunya adik lelakinya, Dilan Pratama, kepadaku.
Aku membiayai kuliahnya hingga lulus, bahkan membantunya mendirikan perusahaan. Namun, suatu malam, setelah dia pulang dari jamuan dan mabuk berat, kami justru berakhir di ranjang yang sama.
Saat aku masih diliputi kebimbangan tentang hubungan kami, pandanganku terhenti pada sebuah foto diriku yang dia pajang di meja kerja. Di sampingnya, tergeletak sebuah cincin pertunangan.
Hatiku bergetar hebat. Dengan perasaan penuh harap, aku mendorong pintu ruang istirahat untuk mau membicarakan hubungan kami.
Namun, begitu pintu terbuka, sebuah kamisol putih jatuh tepat di kakiku.
Aku tertegun di tempat. Sementara Dilan buru-buru menyelimuti tubuh asisten wanitanya yang panik.
"Riana, nggak bisakah kamu mengetuk pintu dulu?"
Wajahku mendadak pucat. Aku melangkah mundur dengan kikuk, tetapi langkahku tertahan oleh suara pelan sang asisten. "Kak Riana, bisa tolong ambilkan pakaianku?"
Aku tidak memedulikan sorot permusuhan di matanya. Sambil berusaha menutupi kegugupanku, aku melemparkan pakaiannya ke tempat tidur, lalu buru-buru melarikan diri.
Begitu keluar dari gedung perusahaan, ponselku berdering. Peneleponnya adalah Dilan.
"Kak Riana, lain kali jangan seenaknya membuka pintu kamarku."
Aku hanya tertawa kecil dan mengiyakan. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi melangkahkan kaki ke dalam dunianya.