Keluarga kecil Aluna yang bahagia hampir hancur berantakan saat Revon--sosok dari masa lalunya kembali untuk mengambil darah dagingnya. Sementara sang suami tidak tahu jika Aluna telah banyak menyimpan kebohongan selama pernikahan mereka. Akankah Aluna dapat mempertahankan keluarga kecilnya yang bahagia?
View MoreSudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya.
Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan lembut. Namun mendengar hal tersebut Arya malah mendesah, dia membuka pintu kamar mandi dan menutupnya dengan keras. Arya marah lagi. Aluna memilih memungut kemeja Arya yang kusut di lantai. Tanpa sengaja, saat mendekapnya, dia mencium aroma alkohol. Jantung Aluna berdegup kencang, tubuhnya membeku di tempat. Dia bahkan sampai tidak sadar Arya sudah keluar dari kamar mandi dan memeluknya dari belakang meminta perhatian. Merasa tidak mendapatkan balasan, Arya mencengkram bahu Aluna dengan kuat, memaksa tubuh kurus itu berbalik dan menatapnya. Aluna meringis, cengkraman itu sangat kuat. Setelah berhasil keluar dari kejadian buruk hari itu, mertua Arya memaksa tinggal di rumah mereka. Aluna harus menyiapkan semua keperluan mertua dan suaminya. Bahkan setelah Arya pergi ke kantor, tubuhnya masih harus bekerja keras membersihkan rumah. Aluna memang tidak pernah mengeluh. Dia sadar diri hanya menantu yang tidak punya pekerjaan, Arya juga selalu menekankan pada Aluna jika orang tuanya adalah prioritas utama. Bagaimanapun sikap orang tua Arya, Aluna tidak boleh protes karena mereka telah membesarkan Arya. “Aluna!!” Pekikan Arya membuat Aluna kembali ke dunia nyata, jiwanya seakan ditarik paksa untuk menyadari waktu saat ini. Mata Aluna mengerjap, dia mendongak menatap wajah Arya yang sudah memerah dengan mata melotot. “Mikirin apa sih sampai suami sendiri tidak digubris dari tadi?” sergap Arya dengan tatapan penuh selidik. Aluna tersenyum kecil, lalu tertawa pelan. Melihat itu Arya langsung mengeratkan cengkramannya pada bahu Aluna, dia langsung terdiam. “Ditanya itu dijawab, bukan malah ketawa, Aluna Sekar Kamelia!” tukas Arya. Dia sengaja menekan setiap kata yang dia ucapkan agar Aluna sadar dia tidak sedang bercanda. Aluna diam sejenak. Dia menatap dalam, menyelami sorot tajam suaminya. Tidak mendapatkan respon yang dia inginkan, Arya mendorong Aluna dengan kasar, membantingnya di atas ranjang. Dia naik ke atas ranjang, kedua tangannya tegak lurus bertumpu di samping kiri dan kanan kepala Aluna untuk menopang berat tubuhnya. Wajahnya mendekat, bibir tipis Arya meraup bibir Aluna dengan kasar. Kecapan itu terasa menyakitkan. Aluna memberontak, kedua tangannya berusaha mendorong dada Arya. Tubuh Aluna bergerak ke sana kemari, air matanya menetes. Namun Arya tak juga berhenti. “Mas, sakit!!” Aluna memekik, dia berusaha membuat Arya sadar akan perlakuan kasarnya. “Mas, kamu beneran mabuk?” Sebuah kalimat berhasil membuat Arya menghentikan kecapannya. Dia memundurkan wajahnya, menatap lekat mata berbinar Aluna yang memerah dengan air mata yang membuat bekas telak di pipi tembamnya. Aluna mencoba mengatur napasnya, dadanya masih naik turun akibat sesak karena tidak mendapatkan ruang masuk oksigen. Dia mendorong Arya kembali, kali ini tubuh Arya menurutinya sampai mereka berdua bisa duduk berhadapan. “Kamu bilang kamu sudah berhenti minum. Kamu berjanji setelah Kiara lahir kamu akan menjauhi alkohol dan rokok—” “Kamu pikir itu mudah?!” Arya memekik. Sorot matanya berubah tajam. Dia menyibak selimut dengan kasar dan melotot ke arah Aluna. “Mas, aku hanya bertanya. Aku tidak berniat—” “Kamu selalu mengungkit hal itu! Kamu tidak pernah percaya aku bisa melakukannya, kan?!” Arya kembali memekik. Jari telunjuk kanannya mengarah ke wajah Aluna, menekan wanita itu untuk diam dan sadar jika Arya-lah pusat kontrol di sini. “Mas—” “DIAM!” Aluna hendak bangkit, namun kembali duduk. Air matanya luruh, tatapan sendu dengan kedua tangan mencengkram selimut itu cukup membuat Arya sadar Aluna sedang ketakutan. Arya segera mendekati Aluna dan memeluk erat tubuh kurus itu. “Maaf. Kamu memancingku untuk berbuat seperti ini, Aluna. Aku sudah pusing dengan pekerjaan, saat pulang larut kamu malah membuat drama seperti ini,” ujar Arya panjang lebar. Aluna berusaha memperkecil suara isak tangisnya. Namun air matanya masih mengalir dan membasahi bahu Arya. “Kamu ini kenapa? Orang tuaku di sini untuk membantumu sepertinya kamu juga tidak senang. Sebenarnya apa yang membuatmu berubah, Aluna?” Air mata Aluna semakin deras, dia menggigit bibir agar tidak ada isakan yang lolos, namun dadanya terlalu sesak. Aluna menelan salivanya sendiri sampai hampir tersedak. Arya kemudian melepaskan pelukannya. “Mas, aku lupa membuang sampah,” ucap Aluna lirih. Arya tersenyum tipis dan mengangguk. Ponselnya berdering bertepatan saat dia keluar dari kamar, dia langsung mengangkat panggilan itu tanpa melihat nama pengguna si penelpon. Aluna terkejut saat mendengar nada berat di ujung telepon. “Kamu tidak lupa, bukan, besok hari apa? Bulan lalu, kamu sudah menunggak dua kali pertemuan denganku.” Jantung Aluna berdegup kencang, tubuhnya sontak menggigil, tangan kanan yang memegang ponsel gemetar. Raut wajahnya berubah ketakutan, air matanya berhenti di kelopak tak mau jatuh. Aluna menatap ke depan dengan kosong. Tubuh ringkih itu luruh ke lantai.Setelah hari itu, Aluna dan Revon tidak lagi bertemu. Perasaan Aluna mulai membaik, dia kembali mengurus keluarga kecilnya seperti biasa.Minggu kali ini, Arya mengajak Aluna dan Kiara ke pantai. Aluna sengaja bangun sangat pagi untuk membuat camilan dan makanan yang akan mereka bawa nanti. Arya juga sudah menyewa mobil untuk mereka, katanya bonus dari bos.Saat Arya bangun dan melihat istrinya tengah berkutat di dapur, dia langsung membantunya. Suasana menjadi lebih romantis dan cepat selesai. Ditambah, mendapatkan jatah pagi setelah selesai memasak.Mereka berangkat pukul 8 agar bisa di sana lebih lama. Aluna duduk di pinggir pantai sambil tersenyum manis melihat Arya dan Kiara yang saling mengejar. Kemudian tak lama dia juga ditarik ikut bermain kejar-kejaran. Setelah lelah, mereka duduk bersama dan makan siang. Lalu Kiara tertidur karena kelelahan."Ingat tidak dengan pantai ini?" Arya mulai buka suara sambil tersenyum manis dengan tatapan penuh arti, menoleh ke arah Aluna dengan
Aluna melancarkan tamparan keras ke pipi kanan Revon. Matanya melotot, kedua tangannya menggenggam erat."Maksudnya apa kamu ngomong kayak tadi?" pekik Aluna seraya menunjuk ke arah wajah Revon.Revon tertawa kecil, lalu menarik lengan Aluna dan menghimpit tubuhnya ke mobil. Revon merapatkan tubuhnya, wajahnya mendekat sampai hidung mereka bersentuhan. Aluna berusaha memberontak, membuat Revon mengeratkan cengkramannya pada lengan Aluna, satu tangan lainnya mencengkram pinggang Aluna. Dia sengaja menunggu wanita di depannya menyerah."Apa sih maumu?!" Aluna kembali memekik. "Kamu yakin mau memberikannya?" ujar Rivon sambil menyeringai.Kedua mata Aluna menelisik mata tajam laki-laki di depannya. Dia berusaha mencari tahu apa yang Revon pikirkan tapi nihil, dia tidak menemukan apapun."Aku mau Kiara. Bukan hanya tahu kalau aku adalah ayah kandungnya, tapi juga memiliki hak milik legal atas dirinya. Dia juga harus tinggal bersamaku!" tukas Revon tegas.Aluna memberontak kembali, namun
Aluna nampak sangat lelah dengan wajah tanpa make-up. Wanita yang telah melahirkan seorang gadis cantik itu, masih tertidur pulas dengan selimut tebal yang menutupi tubuh mungilnya. Kondisi kamar yang masih gelap dengan tirai yang sengaja tidak dibuka, Aluna merasa tubuhnya lebih santai dari biasanya. Satu minggu tidak bertemu sang suami nyatanya sangat cepat berlalu. Anehnya, tidak ada rasa rindu dalam hati Aluna. Dia malah senang, beban di hatinya seakan tidak pernah ada. Satu minggu, rasanya Aluna terbuai dan berharap ini akan menjadi selamanya. Tidak perlu bangun sangat pagi, menyiapkan seluruh kebutuhan rumah tangga. Bersih-bersih rumah, pergi ke pasar dan memasak. Tidak ada yang meneriakinya dan memakinya di pagi hari. Tidak ada yang memarahinya dan menyuruh ini itu. Aluna merasa, kehidupan yang dia dambakan telah tercapai. Senyum kecil terbit di bibir tebalnya. Sepasang mata bulat itu masih tertutup, belum mau keluar dari alam mimpi. Hingga sebuah tangan besar menangkup wajah
Sebuah silau mobil membuat tubuh Aluna tersentak. Dia segera bangkit dari sofa dan tersenyum sangat manis, berlari ke arah pintu dan membuka pintu dengan riang. Mulutnya terbuka, pikirannya tentang segala hal buruk sirna begitu saja. Perasaannya yang kesal, sedih dan kecewa seakan hilang ditelan malam. Namun, pakaian rapi dengan tuxedo mahal, kemeja putih bersih dan dasi senada itu sama sekali bukan suaminya. Aluna mendongak, matanya memicing menyesuaikan cahaya berusaha mengenali wajah di depannya. Jantungnya tersentak seolah baru saja tersandung dan terjun dari gunung dan masuk jurang. Wajah lelah itu pucat seketika, bibirnya bergetar, tubuhnya kaku. Kedua tangannya yang ada di kusen pintu jatuh ke samping kanan dan kiri tubuhnya. "Revon?" Dahi Aluna berkerut, kedua alis tebal itu hampir bersambung. Dia mundur beberapa langkah, kemudian semakin cepat saat tangan besar pria di depannya mendorongnya ke dalam. Memaksanya duduk di sofa. "Merindukanku, huh? Kamu benar-benar membuatku
Sudah lima tahun dia menikah dengan Arya, bahagia dengan kehidupan sederhana dengan seorang gadis kecil yang cantik dan pintar. Namun, Arya tidak pernah tahu jika gadis kecil yang sangat dia sayangi bukan darah dagingnya, dan Aluna juga tidak pernah punya nyali untuk mengatakannya. Saat Aluna menghembuskan napas resah, Arya tiba-tiba datang memeluknya dari belakang. Menyembunyikan kepalanya di ceruk leher sang istri, mencari rasa nyaman setelah pulang bekerja. Aluna menarik kedua tangan Arya, membuatnya semakin erat memeluknya. Dia tersenyum kecil, perasaannya masih campur aduk. “Hari ini lembur lagi, Mas?” tanya Aluna dengan nada lembut. Tangan kanannya terulur hendak mengelus kepala Arya. “Ya,” jawab Arya singkat. Pria itu menjauh, membuka kemejanya dan menaruhnya di sembarang tempat. Melihat itu, Aluna menghela napas panjang. Dia tersenyum tipis dan menggelengkan kepalanya. “Mas, tidak pernah kamu melihat keranjang kotor di dekat pintu kamar mandi, hum?” ujarnya pelan dan le
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments