(Sudah TERBIT) ISBN : 978-602-429-559-2 Nayla Arinza rela mengorbankan impian dan cita-citanya menjadi seorang arsitek. Ia juga rela mengorbankan cintanya kepada sang kekasih, Revano Satria, demi memenuhi permintaan terakhir kakaknya. Setelah melahirkan putri pertamanya, kondisi Aleya sangatlah kritis. Sebelum meninggal dunia, ia menyuruh sang adik untuk menikahi suaminya dan merawat anaknya. Abyan Raffasya, pemilik perusahaan properti terbesar di Jakarta. Ia menikahi Nayla hanya karena desakan dari keluarganya. Selama menikah, Abyan tidak pernah memperlakukan Nayla sebagai istrinya. Berbagai usaha telah Nayla lakukan untuk meluluhkan hati sang suami. Namun, tidak membuahkan hasil karena Abyan masih belum bisa melupakan Aleya bahkan setelah tiga tahun kepergiannya. Kota Yogyakarta dan keindahannya, menyeret Nayla kembali ke masa lalu. Ia dipertemukan kembali dengan sang mantan yang sudah menjadi senior arsitek di Amerika Serikat. Cinta mereka pun kembali bersemi. Sampai akhirnya takdir menghadapkan Nayla dengan dua pilihan, antara mempertahankan rumah tangganya atau kembali kepada cinta pertamanya. Lalu siapakah yang akan ia pilih? Untuk pemesanan melalui IG penulis @_anita.rai
Lihat lebih banyakSiang itu cuaca tampak tidak bersahabat. Gumpalan awan hitam menghiasi dada langit. Sang bayu pun bertiup semakin kencang, membuat daun-daun kering dan kelopak bunga kemboja yang telah layu berjatuhan ke tanah. Tak lama kemudian, titik-titik air hujan pun turun membasahi bumi. Sepertinya semesta turut berduka dan menangisi kepergian Aleya, istri yang sangat Abyan cintai.
Pria tampan berusia tiga puluh dua tahun itu masih berdiri tegak menatap gundukan tanah merah yang dipenuhi rangkaian bunga di hadapannya. Ia sama sekali tidak beranjak dari sana. Walaupun wajah dan pakaiannya sudah mulai basah tersiram hujan, ia tidak peduli.
Gurat-gurat kesedihan terpancar jelas di raut wajah Abyan. Walaupun ia berusaha tetap tegar di hadapan semua orang, tidak dapat dipungkiri kalau ia begitu kehilangan.
Tuhan, kenapa secepat ini Engkau ambil istriku? Aku masih sangat membutuhkannya. Begitu juga dengan putri kami, Airin. Dia baru saja melihat dunia ini, tapi Engkau tega mengambil ibunya.
Tanpa terasa, air mata Abyan menetes berbaur dengan air hujan yang membasahi wajahnya. Kejadian di rumah sakit kemarin masih terekam jelas dalam ingatan.
Sebelum melahirkan, Aleya diketahui mengalami pre-eklampsia, yaitu tekanan darah tinggi pada masa kehamilan. Menurut dokter yang menangani, pre-eklampsia yang dialami Aleya tergolong berat karena trombositnya sangat rendah.
Dihadapkan pada situasi yang sulit, Aleya tidak bisa berpikir terlalu banyak. Belum lagi kondisi psikologisnya turut terpengaruh. Sementara Abyan berpikir agar operasi Caesar dijalankan ketika kondisi istrinya sudah benar-benar kuat. Namun, saat itu tiba-tiba Aleya kejang yang merupakan efek dari pre-eklampsia-nya, sehingga sudah tidak ada pilihan lain selain operasi.
Semula operasi yang dilakukan pada tengah malam itu berjalan dengan lancar. Abyan dan ibu mertuanya sangat bersyukur. Dokter yang menangani juga merasa senang, karena baik ibu maupun bayi berhasil diselamatkan. Hasil pemeriksaan setelah operasi pun menunjukkan kondisi napas dan jantung ibu, maupun bayi terbilang bagus. Selain itu, kekhawatiran akan pendarahan berlebih saat operasi juga tidak terjadi.
Pada saat itu, tidak pernah terlintas atau terbayang di benak Abyan dan ibu mertuanya kalau Aleya akan pergi meninggalkan dunia ini untuk selama-lamanya. Namun, nyatanya takdir berkata lain. Ketika dini hari, kondisi Aleya mulai menurun. Dia mengalami komplikasi dari pre-eklampsia yang mengarah ke HELPP Syndrome, yaitu komplikasi serius akibat tekanan darah tinggi selama kehamilan. Organnya banyak yang kena karena itu.
Abyan dan ibu mertuanya begitu panik. Melihat kondisi Aleya yang semakin memburuk, membuat mereka ketakutan dan terjaga sepanjang malam.
“Bertahanlah, Sayang. Demi anak kita. Aku mohon,” bisik Abyan dengan kelopak mata yang sudah berair. Ia sama sekali tidak melepas genggamannya dari tangan Aleya yang terbaring lemah menahan sakit.
“Aku akan bertahan, Mas. Aku enggak akan pergi sebelum melihat putriku,” sahut Aleya sambil terisak. Butiran kristal bening tidak berhenti mengalir dari sudut matanya.
Dada Bu Saida kian sesak. Wanita paruh baya yang sejak tadi berdiri di samping ranjang putrinya itu tidak mampu membendung air matanya lagi. Ia menyeka bulir bening yang berjatuhan menodai wajahnya dengan sehelai sapu tangan yang sejak tadi digenggamnya. Dalam hati tidak putus-putus ia mendoakan keselamatan Aleya.
Pukul delapan pagi, seorang suster muda yang memakai pakaian serba hijau dan berhijab masuk ke ruang rawat Aleya sambil menggendong bayi.
“Selamat pagi, Bu Aleya, ini bayi Ibu. Saya sudah memandikannya. Tolong segera disusui ya, Bu!” ucap suster itu dengan ramah, lantas meletakkan bayi perempuan yang digendongnya itu ke dalam box bayi.
“Terima kasih, Suster,” sahut Aleya lirih. Wajah dan bibir wanita berusia dua puluh delapan tahun itu terlihat sangat pucat. Ia tidak bisa tidur semalaman karena menahan sakit yang teramat sangat di bagian perutnya. Namun, begitu melihat putrinya, rasa sakit itu seolah menguap begitu saja.
Bu Saida pun menggendong cucunya. Cucu pertama yang sangat ia idam-idamkan selama ini. Bayi perempuan berbobot tiga kilogram itu terlihat sangat cantik dengan kulit seputih susu, hidung mancung, bulu mata yang lentik, serta rambut yang hitam legam dan lebat. Perlahan ia mengecup pipi tembam bayi itu sebelum diserahkan kepada ayahnya.
“Alhamdulillah ya Allah, akhirnya Engkau memberi kami putri yang sangat cantik dan lucu,” ucap Abyan dengan mata yang berkaca-kaca saat menggendong putrinya untuk pertama kali.
Rasa haru sekaligus bahagia membuncah dalam dada Aleya saat melihat pemandangan di depan mata. Sudah lama sekali ia mendambakan seorang anak. Akhirnya Tuhan mengabulkan doa-doanya setelah tiga tahun usia pernikahannya dengan Abyan.
Abyan pun meletakkan bayi itu di sisi pembaringan istrinya. Aleya menggigit bibir bawah untuk menahan rasa perih di bagian perutnya. Ia berusaha sekuat tenaga untuk memiringkan tubuhnya dan menyusui buah hatinya.
Air mata Aleya kembali menetes saat bayi itu mulai menyusu dengan kuat di payudaranya. Wanita yang memakai jilbab instan berwarna mocca itu begitu terharu. Walaupun ia tahu umurnya tidak akan lama lagi, tetapi ia bersyukur kepada Allah karena masih diberi kesempatan untuk melihat dan menyusui putrinya.
“Mas, kasih nama bayi kita Airin ya, Mas! Aku sangat menyukai nama itu,” desis Aleya sembari menatap Abyan yang saat itu berdiri di sampingnya.
“Iya, Sayang. Aku juga suka nama itu,” sahut Abyan sembari memaksakan senyumnya.
Selesai menyusui, Aleya pun menciumi wajah bayinya secara bertubi-tubi untuk menumpahkan kasih sayangnya yang begitu besar. Seolah-olah ia tidak akan punya kesempatan lain untuk menciumnya.
“Sayang, semoga kelak kamu tumbuh menjadi anak yang salehah, cantik, dan pintar,” desis Aleya dan langsung diamini oleh suami dan ibunya.
Setelah kenyang menyusu, Airin tertidur dengan pulas. Bu Saida mengambil cucunya itu dan meletakkannya kembali ke dalam box bayi.
Aleya perlahan meraih tangan kanan suaminya, lantas menggenggamnya erat. “Mas, aku minta maaf ya, Mas, kalau selama ini aku punya salah sama kamu. Aku titip Airin. Tolong jaga dia baik-baik!” ucap wanita itu getir.
“Kamu ngomong apa, Sayang? Kamu enggak boleh bicara seperti itu! Kamu enggak akan ke mana-mana!” seru Abyan sembari menggelengkan kepalanya perlahan.
“Mungkin waktuku sudah enggak banyak lagi, Mas.”
“Jangan pergi, Aleya! Jangan tinggalkan Ibu!” tukas Bu Saida yang sudah berdiri di samping Aleya sembari menyeka air mata yang kembali membanjiri wajahnya.
“Bu, Aleya juga minta maaf sama Ibu.” Aleya pun beralih menggenggam tangan ibunya. “Maafin Aleya kalau selama ini Aleya belum bisa membahagiakan Ibu.”
Bu Saida menggeleng lemah. “Tidak, Aleya. Selama ini kamu selalu berusaha membahagiakan Ibu. Kamu anak yang berbakti.”
Aleya menarik kedua ujung bibirnya.
“Oh ya Bu, kenapa Nayla dan yang lainnya belum datang? Aku ingin sekali bertemu mereka, Bu.”
“Mungkin mereka masih di jalan. Tadi Ibu sudah menelepon adikmu.”
Aleya mengangguk pelan. Ia berharap masih bisa bertemu dengan adik, ayah, dan juga keluarga dari sebelah mertuanya sebelum pergi. Aleya bisa merasakan, seolah-olah malaikat maut sudah semakin dekat dan bersiap untuk mencabut nyawanya. Ia sudah tidak punya banyak waktu lagi.
“Mbak Aleya!” Tiba-tiba pintu terbuka dan sosok Nayla muncul dengan napas terengah-engah. Gadis berusia dua puluh tiga tahun itu habis berlari maraton dari tempat parkir sampai ruang rawat kakaknya.
Aleya tersenyum lega saat melihat sosok Nayla. Gadis berambut ikal dan panjang itu pun berhambur menghampirinya. Disusul oleh ayah, kedua mertua, dan juga adik iparnya dari belakang.
“Mbak Aleya baik-baik saja kan, Mbak? Aku takut sekali waktu Ibu meneleponku tadi. Kata Ibu kondisi Mbak Aleya ngedrop,” tanya Nayla dengan panik.
Aleya pun menggenggam tangan adiknya, lantas berkata, “Nay, Mbak minta maaf ya, kalau selama ini Mbak punya salah sama kamu.”
“Apa yang Mbak Aleya katakan? Jangan menakutiku, Mbak!” Air mata Nayla pun jatuh tanpa permisi. Ia merasa seolah-olah kakaknya itu akan pergi meninggalkannya untuk selama-lamanya.
“Nay, Mbak titip Airin ya. Tolong kamu jaga dan rawat dia! Anggap dia seperti putri kandungmu sendiri! Mbak yakin, kamu adalah orang yang paling tepat untuk menjadi ibu sambungnya.”
“Apa maksud kamu, Sayang?” potong Abyan tiba-tiba. Dia tidak mengerti kenapa Aleya menitipkan bayi perempuan mereka kepada Nayla.
Aleya pun mengalihkan pandangannya ke arah suaminya. “Mas, kamu mau ‘kan menikah sama Nayla?”
“Apa?” Mata Abyan membulat sempurna. Begitu juga dengan Nayla. Semua orang yang ada di ruangan itu sangat syok mendengar ucapan Aleya.
Semua masalah sudah terselesaikan dengan baik. Abyan menghela napas lega. Hatinya diliputi dengan kebahagiaan yang tak terkira. Karena pada akhirnya, Nayla lebih memilih dirinya daripada Revan. Walaupun Nayla tidak mengatakan apa-apa, tetapi Abyan tahu kalau sebenarnya wanita itu sangat mencintainya. Setelah Revan pergi, Nayla menggendong Airin dan membawanya naik ke lantai atas untuk menidurkannya. “Mama, Om yang tadi itu siapa, Ma? Apa dia orang jahat yang udah bikin Mama nangis?” tanya Airin dengan polosnya. “Bukan, Sayang. Om tadi enggak jahat. Dia baik hati seperti malaikat,” sahut Nayla sambil berjalan menaiki anak tangga dengan hati-hati. “Terus, kenapa Mama nangis?” “Karena Mama sayang sekali sama Airin.” Nayla pun mendaratkan kecupan lembut di pipi kanan putrinya. “Airin juga sayang sama Mama.” Gadis kecil itu pun memeluk leher ibunya dengan manja. “Makasih, Sayang. Sekarang kita bobok ya. Airin mau dibacain dongeng ap
Jarum jam dinding telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Hati Nayla semakin dirundung resah dan gelisah, karena sampai sekarang Revan tidak mau menjawab teleponnya maupun membalas pesannya. Nayla takut kalau laki-laki itu akan nekat datang ke rumah dan membongkar semuanya. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana reaksi Abyan kalau mengetahui soal hubungan mereka.Tok tok tok!Nayla tersentak saat seseorang tiba-tiba mengetuk pintu kamar Airin. Ia pun menoleh ke arah pintu yang kebetulan sedang terbuka lebar.“Ada apa, Mbok?” tanya Nayla saat melihat sosok Mbok Sum berdiri di ambang pintu.“Anu, Nyah. Nyonya disuruh turun sama Tuan. Katanya ada tamu.”Deg! Jantung Nayla tiba-tiba berdesir kencang. Jangan-jangan tamu yang Mbok Sum maksud adalah Revan.“Siapa Mbok tamunya? Laki-laki atau perempuan?” tanya Nayla ingin memastikan.“Laki-laki, Nyah. Masih muda.”Tidak salah lagi.
“Ehem.”Nayla dan Revan sontak menoleh ke belakang saat mendengar suara deheman yang cukup keras.Begitu melihat wajah pria yang berdiri tegak di hadapannya, Nayla terperanjat kaget. Jantungnya berdesir kencang. Matanya membulat sempurna. Mulutnya pun sedikit ternganga.“M-Mas ... Abyan?” gumam Nayla dengan suara yang tersekat-sekat di kerongkongan.Revan juga ikut terkejut saat mengetahui kalau pria yang berdiri di hadapannya itu adalah Abyan, suami Nayla. Ia dan Nayla terlihat seperti dua orang pencuri yang sedang tertangkap basah.Di luar dugaan, Abyan ternyata tidak marah, murka, ataupun mengamuk. Ekspresi wajahnya terlihat datar. Pria yang memakai setelan jas hitam itu bahkan menarik kedua ujung bibirnya membentuk sebuah senyuman yang sukar dimengerti.“Nayla, aku tidak menyangka kamu datang ke pameran ini juga. Kalau aku tahu kamu mau datang ke sini, aku akan mengajakmu sekalian,” ungkap Abyan. Lalu
Malam hari, setelah menidurkan Airin di kamarnya, Nayla pun membuka ponselnya. Seharian tadi ia tidak sempat mengecek benda pipih hitam itu karena ia selalu bersama dengan Abyan dan kedua mertuanya. Begitu melihat layar, Nayla terkejut karena menerima banyak sekali pesan dan panggilan tak terjawab dari Revan. Nayla pun segera meneleponnya kembali.“Halo, Sayang, kamu ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku dan tidak menjawab panggilanku?” tanya Revan dengan panik sebaik saja panggilan tersambung.“Maaf, Van. Saat ini aku sudah ada di Jakarta. Tadi pagi Mas Abyan ngotot ngajak Airin pulang. Aku terpaksa ikut. Aku enggak tega membiarkan Airin nangis-nangis memanggilku.”“Kenapa kau tidak memberi tahuku? Setidaknya kirimlah pesan.”“Aku takut, Van. Seharian tadi Mas Abyan selalu ada di dekatku. Kedua mertuaku juga tiba-tiba datang. Aku enggak sempat membuka ponsel.”“Lalu kapan kau akan memberi
Keesokan harinya, setelah mandi dan sarapan pagi, Abyan memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Ia benar-benar kecewa karena Nayla tidak mau menerima permintaan maafnya. Bahkan sejak bangun tadi, wanita itu hanya mendiamkannya. Mungkin saja Nayla lebih mencintai laki-laki itu daripada dirinya.Aku benar-benar bodoh! Seharusnya aku sudah sadar saat melihatnya berpelukan mesra dengan laki-laki itu. Seharusnya aku sudah sadar sejak ia menanggalkan cincin pernikahan kami. Untuk apa lagi aku di sini? sungut Abyan dalam hati.“Kamu mau ke mana, Mas?” tanya Nayla saat melihat pria itu keluar dari kamar sambil menarik kopernya.“Aku mau pulang ke Jakarta. Kalau kamu tidak mau ikut denganku, aku akan pulang bersama Airin,” tegas Abyan tanpa menatap wajah Nayla.“Pulang? Kenapa secepat ini, Mas? Nayla tampak kaget.“Airin, ayo kita pulang, Sayang!” Alih-alih menjawab pertanyaan Nayla, Abyan malah mengajak bicara putriny
“Aku mau makan kalau kau yang menyuapiku.”“Apa?” Ucapan Abyan sontak membuat Nayla terkejut.“Kalau kamu tidak mau menyuapiku, aku tidak mau makan. Kepalaku pusing sekali. Aku tidak kuat duduk.”Nayla terdiam. Dalam hati ia merasa heran dengan sikap Abyan saat ini. Kenapa tiba-tiba dia berubah manja seperti bayi? Seperti bukan dirinya saja.“Emh ... baiklah. Aku akan menyuapimu.” Nayla tidak punya pilihan lain. Dengan ragu, ia kembali duduk di bibir ranjang dan mulai menyuapi ‘bayi besar’ itu.Abyan meraih satu bantal lagi untuk menyangga kepalanya agar lebih tinggi. Ia langsung membuka mulut lebar-lebar saat Nayla mulai menyuapinya. Lantas ia mengunyah makanannya sembari menatap Nayla tanpa berkedip. Hingga membuat wanita di hadapannya itu menjadi salah tingkah.Suasana di kamar itu pun menjadi sangat canggung dan kikuk. Tidak ada seorang pun yang bersuara. Nayla hanya bisa menund
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen