Ivy terdiam mendengar pertanyaan yang Leanore lontarkan padanya. Tatapan matanya terlihat kosong dengan kunyahan yang berhenti total.Pertanyaan yang terlontar dari bibir Leanore tak pernah melintas sedikitpun dalam kepalanya. Wajahnya menunjukkan kebingungan dengan mata mengedip cepat."Apa yang baru saja kau tanyakan?" Tanya Ivy dengan nada tak percaya ke arah sahabatnya yang kini tengah memasang wajah serius."Aku hanya penasaran. Apa reaksimu jika ayah biologis si kembar memintamu untuk tinggal dengannya? Apakah kau akan menolaknya karena ia sudah membuatmu hamil dan membesarkan mereka sendirian? Atau mungkin kau justru menerima uluran tangannya?" Tanya Leanore bertubi tubi dengan nada menuntut. Ivy menghela napas panjang sembari melirik ke arah kedua anaknya dengan mata berkaca kaca. Terry memilih untuk diam sembari terus mengelus lengan sang ibu dengan penuh kasih sayang, sementara Terra kini beralih ke pangkuan Ivy dan memeluk wanita itu dengan erat.Suasana terasa hening sete
"Maaf, aku tak bisa memberitahumu, Aunty," tolak Terry lalu segera memasukkan kembali buku yang tengah ia baca ke dalam tas.Leanore tentu saja tak terima dengan penolakan dari bocah kecil itu. Wajah wanita berambut merah itu tampak merengut. Saat Leanore akan bertanya lagi, suara Ivy menghentikan aktivitasnya."Lea, aku sudah selesai mencuci piring. Ayo bantu aku memanggang roti ini agar bisa selesai tepat waktu," Leanore terpaksa menelan kembali semua kata katanya saat Ivy meminta tolong padanya, dengan mata lesu, ia segera bangkit dan menghampiri wanita itu.Ivy tentu saja merasa heran melihat ekspresi sahabatnya yang bisa terbilang tidak baik. Benaknya bertanya tanya mengapa Leanore menekuk muka saat ia meminta tolong pada wanita berambut merah itu."Lea, apa kau merasa keberatan menolongku memanggang roti ini sekarang?" Tanya Ivy pelan. Mata hijau miliknya bergulir untuk melihat jam yang tergantung di dinding. Seharusnya, ia dan Leanore bekerja 15 menit lagi karena masih waktu
Ivy dan Leanore kini sudah berada di depan Archer Club's yang kini masih tutup. Kedua wanita itu saling bertatapan satu sama lain karena kebingungan harus pergi kemana untuk mengantarkan pesanan roti yang sudah mereka buat."Ivy, kau tak salah alamat kan?" Tanya Leanore sembari menatap ke dalam keranjang kue yang ia dorong menggunakan troli toko. Ivy segera kembali mengecek ponsel lamanya untuk memastikan jika mereka berdua tak salah alamat. Mata hijaunya membaca dengan teliti tiap baris kalimat yang tertulis di dalam pesan yang dikirim oleh seseorang atas nama Archer Percival."Aku rasa tidak. Lihat, kita berada di alamat yang benar, Lea," sanggah Ivy sembari menyeka keringat yang bercucuran di balik topi yang ia gunakan. Tak jarang, wanita muda beranak dua itu juga mengipasi wajahnya menggunakan tangan karena merasa gerah dan kepanasan."Tapi, jika memang ini adalah alamat yang benar, kita harus pergi kemana? Lihat saja, pintu clubnya bahkan masih tutup," Leanore mencebikkan bibir
"Mommy, kenapa lama sekali?" Tanya Terra yang merasa senang saat Ivy dan Leanore kembali setelah mengantar roti pesanan Archer. Ivy menolehkan kepalanya pada sumber suara, lalu tersenyum tipis mendengar pertanyaan dari anak bungsunya. Ia menyeka keringat yang bercucuran dengan sapu tangan yang memang tertinggal di dalam mobil lalu menjawab pertanyaan si bungsu dengan nada lembut yang begitu menenangkan."Orang yang memesan belum datang saat Mommy dan Aunty Lea kesana, sayang," jelas Ivy sembari mengipasi dirinya menggunakan kipas portabel kecil yang berada di dalam dashboard karena AC mobil tak menyala. Terra menganggukkan kepalanya setelah mendengar penjelasan ibunya itu."Oh begitu. Lalu kenapa wajah Mommy merah sekali? Mommy sakit?" Kini, nada suara Terra berubah menjadi khawatir saat melihat Ivy yang wajahnya memerah seperti kepiting rebus.Terry yang sedang membaca buku yang ia temukan di mobil tentu saja merasa terusik dengan perkataan Terra. Bocah laki-laki itu menatap wajah
Pertanyaan yang pria berambut hijau mencolok yang merupakan rekan kerjanya membuat Ben termenung sesaat. Pria bermata coklat itu tampak terdiam, sambil sesekali menatap lawan bicaranya dengan intens."Darimana kau bisa menyimpulkan jika kedua bocah ini adalah anakku, Frank?" Tanya Ben dengan nada datar miliknya.Pria berambut hijau yang dipanggil Frank balik menatap Ben dengan tangan yang disilangkan di depan dada. Ekspresi Frank tampak datar dengan mulut yang terkunci rapat, berusaha untuk memilah kata mana yang harus ia ucapkan pada pria yang berprofesi sebagai CEO itu.Bukannya Frank takut pada Ben. Akan tetapi ia justru lebih takut jika pria itu tak mau membantunya yang saat ini berada dalam kondisi terjepit. Jadi, Frank tak boleh membuat Ben merasa kesal ataupun tersinggung. Setidaknya, itulah pikirannya saat ini.Kedua orang ini saling beradu tatap satu sama lain, membuat suasana lobby yang tadinya hangat karena penuh dengan orang yang bolak balik kantor untuk menyelesaikan tug
Ben terheran mendengar apa yang Frank katakan. Tidak biasanya ia mendengarkan opini orang lain dengan wajah serius seperti itu. Ditambah lagi, senyuman yang sangat jarang ia perlihatkan pada orang lain—terutama anak anak— membuat Ben harus menerka maksud dari pria berambut hijau di depannya.Ben menepuk bahu Frank dengan cukup keras tanpa berniat melepaskan tangan itu. Malah sebaliknya, Ben justru mencengkeram bahu Frank dengan sedikit tenaga, membuat senyuman itu luntur dan kini digantikan oleh ringisan kesakitan yang lolos dari bibirnya yang menghitam akibat terlalu sering merokok."Kenapa kau mencengkeram bahuku, sialan? Apa salahku padamu?" Tanya Frank tak terima dengan perlakuan Ben yang tak bisa ia tebak."Kesimpulan lain apa yang kau maksud?" Tanya Ben balik dengan nada rendah dan begitu dingin seperti es.Jangan lupakan tatapan menusuk yang Ben layangkan padanya, seolah ia sudah melakukan kesalahan fatal yang tak termaafkan oleh dunia. Frank menepis tangan Ben dengan kasar h
Saat ini, Ben sudah kembali ke rumahnya-tepatnya rumah orang tuanya- ketika waktu telah menunjukkan pukul 7 malam.Pria bermata coklat itu segera melempar tas kantor yang berisi beberapa file penting ke atas meja. Setelah itu, Ben segera merebahkan dirinya di atas sofa ruang tamu untuk menghilangkan rasa penat yang kini mendera tubuhnya.Pria itu memejamkan mata, berusaha untuk mengurai rasa letih dan juga kantuk yang kini menyerang kedua matanya.Efek pekerjaan yang terlalu menuntut membuat tubuh Ben mudah untuk tumbang. Mata pria itu mengerjap, bersiap untuk menyusuri lembah mimpi.Akan tetapi, niatan itu harus tertunda saat seseorang mengguncang tubuhnya dengan perlahan. Tentu saja Ben merasa terusik. Pria itu menepis tangan yang mengguncang tubuhnya tanpa membuka mata.Akan tetapi, bukannya berhenti, guncangan itu malah semakin kuat. Ben mengerang kasar dan terpaksa bangkit dari posisinya menjadi duduk dengan tegap. Pria itu menguap sebentar lalu membuka mata.Di depannya, terdapa
Flora terdiam mendengar apa yang Ben katakan padanya. Sebenarnya, omongan Ben sangat masuk akal tentang Ben. Flora sendiri juga mengakui jika Steve tak sebaik yang ia lihat di layar kaca. Flora merasakan ada suatu rahasia yang Steve sembunyikan darinya, entah itu apa. Akan tetapi, kenapa Ben terlihat memprovokasi dirinya untuk membenci Steve? "Memang apa yang Steve lakukan hingga kau berani berkata begitu pada kakak kembarmu?" Tanya Flora dengan nada menuntut. Kepalan tangannya terurai begitu saja dan kini wanita berambut biru terang itu berkacak pinggang di hadapannya.Ben menghela napas, lalu bangkit dari posisi rebahannya, yang mana membuat Flora mengernyitkan keningnya. Ben tak mengatakan apapun pada wanita itu. Saat Ben hendak melangkah dari sana meninggalkan wanita itu untuk pergi ke kamar,, Flora dengan segera menahan tangan Ben."Ben, tunggu sebentar,"Ucapan Flora membuat Ben menghentikan niatnya. Ben berbalik dan menatap wanita yang berada di belakangnya ini dengan tatapa