แชร์

Bab 4 – Dia yang Dicintainya

ผู้เขียน: Phoenix's Writing
last update ปรับปรุงล่าสุด: 2025-05-24 02:44:00

Suzy memandangi langit pagi dari balik jendela. Langit biru tampak bersih, seolah ingin menghapus keraguan dan luka yang masih menyelinap di hati siapa pun yang melihatnya. Ia memeluk cangkir tehnya, mencoba mencerna apa yang semalam ia saksikan dengan mata kepala sendiri.

Hellen.

Wanita itu datang dengan percaya diri, mengenakan blazer putih gading dan rambut hitam panjang yang jatuh teratur di bahunya. Senyumnya hangat, namun sorot matanya tajam. Tapi yang paling membuat Suzy terpaku adalah bagaimana Ardian memandangnya.

Itu bukan pandangan biasa. Itu cinta. Dan untuk pertama kalinya, Suzy merasakan sesak… bukan karena cemburu, tapi karena kesadaran.

Cinta tidak selalu berarti memiliki. Kadang cinta berarti merelakan.

Di ruang makan, pagi itu hening. Ardian duduk dengan gelisah, sementara Suzy dengan tenang menuangkan teh ke cangkirnya sendiri.

“Dia cantik,” kata Suzy, memecah keheningan.

Ardian menoleh cepat. “Apa?”

“Hellen. Dia cantik,” ulang Suzy, lalu menatap mata kakak tirinya itu.

“kamu kelihatan… bahagia waktu bersamanya.”

Ardian membuka mulut, lalu menutupnya kembali. Ia tak tahu harus mengatakan apa.

“Aku bisa lihat, kamu mencintainya,” lanjut Suzy, suaranya datar tapi tidak dingin.

“Dan itu hal terbaik yang pernah kulihat dari kamu selama ini.”

“Suzy…” suara Ardian berat.

“Kamu nggak perlu menjelaskan apa-apa,” potong Suzy lembut.

“Aku bukan anak kecil. Aku bukan gadis yang mudah baper hanya karena kamu bersikap manis.”

Ardian menatapnya dalam diam.

“Aku tahu siapa aku. Aku adik tirimu. Dan aku juga tahu siapa Hellen bagimu—dia cinta yang kamu perjuangkan.”

Suzy tersenyum kecil. “Dan aku… aku mendukung itu.”

“Kenapa kamu begitu pengertian?” Balas Ardian.

Suzy menatap ke luar jendela. “Karena kamu satu-satunya pria yang Aku percayai setelah Papa.

Dan karena itu, perasaan nggak harus egois kan.” Lanjut Suzy

Beberapa hari kemudian, Hellen datang kembali ke rumah mereka. Tapi kali ini, bukan hanya untuk Ardian. Hellen ingin mengenal Suzy.

“Aku tahu ini mungkin aneh,” kata Hellen sambil tertawa canggung.

“Tapi aku ingin kenal lebih dekat sama kamu. Ardian selalu bilang kamu adik yang luar biasa.”

Suzy tersenyum hangat. “Aku juga ingin kenal kamu. Kalau kamu bisa buat Ardian setenang itu… kamu pasti istimewa.”

Mereka berbicara lama. Tentang kuliah, karier, hingga hal-hal ringan seperti film favorit. Dan semakin lama Suzy berbicara dengan Hellen, semakin ia sadar Hellen bukan wanita sembarangan. Hellen kuat, berani, dan penuh kasih sayang. Pasti Ardian mencintainya bukan tanpa alasan.

Malam itu, saat mereka semua duduk di ruang tamu, Suzy berdiri untuk pamit ke kamar. Sebelum masuk ke dalam, ia menoleh dan berkata pada Ardian

“Kalau suatu hari kalian menikah, aku mau jadi bridesmaid-nya, ya?”

Ardian terkesiap. Hellen tertawa pelan.

Dan Suzy hanya melangkah pergi penuh percaya diri, tanpa luka, tanpa drama. Karena ia tahu satu hal pasti: ia adalah bagian dari kisah ini, tapi bukan pusatnya. Dan itu tidak masalah.

Langit mulai meremang jingga saat Suzy duduk di teras rumah sambil membaca buku. Angin sore membawa aroma tanah basah yang khas setelah hujan tadi siang. Di balik halaman rumah, terdengar suara mesin mobil yang dimatikan. Pak Dion baru pulang kerja. Ia masuk ke halaman dengan langkah berat, bahunya terlihat letih namun senyumnya tetap hangat saat melihat Suzy.

“Papa pulang,” katanya.

Suzy berdiri dan memeluknya singkat. “Capek ya, Pa?”

“Sedikit, tapi lihat kamu langsung segar lagi,” jawab Pak Dion sambil tersenyum lebar.

Suzy tertawa kecil. Tapi senyumnya perlahan memudar saat ia melihat Ardian yang berdiri di ambang pintu depan. Lelaki itu hanya memandangi ayah tirinya sekilas, lalu memalingkan wajah tanpa sepatah kata.

Pak Dion menoleh ke arah Ardian dan mencoba menyapa. “Ardian...”

“Aku mau mandi dulu,” potong Ardian cepat, lalu masuk ke dalam rumah tanpa menunggu tanggapan.

Suzy menarik napas dalam-dalam. Ia tahu ini bukan hal baru. Sejak pernikahan Mama dan Papa mereka, sikap Ardian kepada Pak Dion memang selalu… datar. Tak pernah marah secara langsung, tapi juga tak pernah akrab. Pak Dion menatap pintu yang sudah tertutup. Raut wajahnya surut.

“Dia masih belum bisa terima Papa, ya?”

Suzy menoleh pelan. “Dia butuh waktu, Pa.”

“Papa sudah coba, berkali-kali. Tapi dia tetap menjaga jarak.” ucap Pak Dion dengan nada kecewa campur pasrah.

“Bukan karena Papa buruk,” Suzy mencoba menenangkan.

“Tapi karena luka Ardian dari masa lalu belum benar-benar sembuh.”

Pak Dion tersenyum getir.

“Papa tahu. Tapi kadang… rasanya seperti menabrak tembok setiap kali ingin mendekatinya.” Pak Dion berusaha menyanggah.

Suzy duduk kembali dan menepuk kursi di sebelahnya, mengajak Papanya duduk.

“Ardian itu bukan orang yang gampang percaya. Dia terlalu sering lihat Mamanya disakiti, jadi sekarang dia jadi pelindung diam-diam.”

“Pelindung?” tanya Pak Dion.

“Ya. Dia takut Mama jatuh cinta lagi pada pria yang salah. Dia takut harus melihat Mamanya terluka untuk kedua kali. Makanya… dia selalu waspada.”

Pak Dion tertunduk.

“Jadi, dalam matanya, Papa masih bisa jadi orang salah itu?”

Suzy tak menjawab. Tapi diamnya adalah konfirmasi yang halus.

Di dalam rumah, Ardian berdiri di kamar mandi sambil menatap cermin. Air menetes dari rambutnya yang baru dibilas. Tapi yang paling basah bukan rambutnya melainkan matanya yang merah. Ia mendengar percakapan Suzy dan Pak Dion dari jendela terbuka. Ia mendengar semua tentang dinding yang ia bangun, tentang ketakutan yang belum ia akui bahkan pada dirinya sendiri. Dan itu menyakitkan. Karena ia tahu sebenarnya Pak Dion belum tentu pria jahat. Tapi ia juga tahu, bayangan tentang ayah kandungnya yang menghilang tanpa pamit dan meninggalkan Mamanya dalam tumpukan utang dan air mata terlalu lekat untuk bisa dilupakan. Pak Dion, walau baik, tetap pria lain. Tetap bukan Ayahnya.

Saat makan malam, suasana meja makan tetap sama, tenang, rapi, dan… dingin. Suzy mencoba membuka obrolan, tapi Ardian hanya menjawab seperlunya. Pak Dion beberapa kali melempar senyum dan kalimat ringan, tapi balasan dari Ardian hanya anggukan, atau angkat alis. Namun malam itu berbeda. Suzy menatap Ardian dengan tatapan penuh makna, lalu berkata pelan

“Kadang, luka lama memang nggak bisa hilang. Tapi kalau kita terus menolak yang baru karena takut masa lalu terulang… kita nggak akan pernah benar-benar sembuh.”

Ardian berhenti mengunyah. Ia menatap Suzy. Lalu menoleh ke arah Pak Dion. Untuk pertama kalinya sejak lama, tatapan mereka bertemu. Dan Ardian tak langsung berpaling. Hanya sesaat. Tapi cukup untuk menunjukkan… mungkin, tembok itu mulai retak.

อ่านหนังสือเล่มนี้ต่อได้ฟรี
สแกนรหัสเพื่อดาวน์โหลดแอป

บทล่าสุด

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 28 — Mata-mata di balik Pohon Jati

    Udara pagi di Dusun Girilaya terasa lembap dan segar. Embun masih menempel di daun jati, menampakkan kilau halus ketika sinar matahari menembus sela pepohonan. Angin lembut berdesir membawa aroma tanah basah sisa hujan semalam.Namun di antara barisan pohon jati yang berdiri kokoh di tepi jalan setapak, seseorang sedang memperhatikan dalam diam.Dia adalah Linda, sepupu Hellen yang serakah sekaligus istri kedua Pak Wisnu, ayah kandung Ardian. Wajahnya teduh tapi matanya tajam menyimpan sesuatu antara rasa ingin tau dan ambisi. Ia memegang ponsel di tangannya, memperbesar layar kamera, mengamati tiga orang di depan rumah besar milik Ana.“Jadi benar disini tempat tinggal Mira… dan kau... Hellen juga di sini, sudah mulai berkhianat kau ya sama saudarimu ini yang sudah membantumu, ku pastikan kali ini kamu berhutang budi sama aku”, gumamnya pelanSudah beberapa hari yang lalu, Linda menguntit Ardian dan Suzy diam-diam. Ia selalu ingin tahu sesuatu yang besar, sesuatu yang berkaitan denga

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 27 — Disembunyikan Oleh Hujan

    Hujan baru saja reda ketika mobil Pak Tommy berhenti di depan rumah besar di Dusun Girilaya. Bangunannya berdiri anggun di antara pepohonan jati, terekspos dengan jendela kayu tinggi yang membuatnya tampak klasik dan tenang. “Ini rumah saya,” kata Ana sambil tersenyum kecil. “Terima kasih sudah menolong saya tadi." Hellen turun lebih dulu, lalu membantu Ana keluar. “Ruma Mbak Ana besar juga ya, untuk tinggal sendiri." Ana tertawa ringan. “Iyaa... sepi sekali. Tapi saya sudah terbiasa kok" Hellen ikut tersenyum sopan. “Kalau begitu, kami pamit dulu. Semoga lukanya cepat sembuh.” “Sebentar,” tahan Ana. “Hujan sebentar lagi turun lagi. Masuk dulu saja. Saya buatkan kopi. Tidak enak membiarkan tamu pergi tanpa jamuan.” Pak Tommy menatap Hellen, lalu mengangguk kecil. “Baiklah, sebentar saja.” Di dalam rumah, suasana hangat. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi udara. Dinding ruang tamu dipenuhi bingkai foto pemandangan laut dan ladang teh. Di meja kecil dari kayu jati,

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 26 — Pencarian Terus Belanjut

    Siang itu, matahari di Kabupaten Kiribaru bersinar redup, menembus tipis awan kelabu yang menggantung di langit. Jalanan berliku di antara perbukitan tampak sepi; hanya sesekali truk tua lewat membawa hasil panen dari desa sekitar. Sebuah mobil hitam melaju perlahan di jalur utama menuju kota kecil itu. Di balik kemudinya, Pak Tommy tampak tenang seperti biasa, sementara di kursi penumpang Hellen menatap peta di ponselnya. “Kata Kevin, Suzy dan Ardian sudah lebih dulu sampai di sini Om" Kata Hellen Baru saja Hellen memberi informasi, sesuatu melintas cepat di depan mobil sebuah sosok wanita yang menyeberang tanpa melihat. Pak Tommy membanting setir, tapi tetap brak!—benturan keras terdengar, mobil berhenti mendadak di pinggir jalan. Hellen terlonjak, jantungnya berdebar. "Astaga! Om !” Mereka berdua segera keluar. Di depan mobil, seorang wanita tergeletak di aspal dengan lutut berdarah dan siku lecet. Wajahnya pucat tapi masih sadar. “Aduh… maaf, saya tidak lihat mobil

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 25 — Jejak di Kiribaru

    Langit sore menggantung kelabu ketika mobil yang dikendarai Ardian menembus jalan berliku menuju Kabupaten Kiribaru. Udara di luar jendela semakin dingin, pepohonan pinus berderet rapat di sisi jalan, seolah menutup setiap celah cahaya matahari yang tersisa. Perjalanan itu memakan waktu hampir empat jam dari Cendana Timur, dan jika diukur dari Kota Cemara, tempat semua kisah ini bermula, jaraknya mencapai sepuluh jam penuh. Suzy bersandar di kursi penumpang, menatap ke luar jendela tanpa suara. Rasa lelah bercampur dengan resah—ia merasa seperti sedang menuju sesuatu yang belum bisa ia definisikan, entah kebenaran atau bahaya baru. “Masih jauh?” tanyanya akhirnya. Ardian melirik jam tangan. “Sekitar tiga puluh menit lagi. Kita istirahat di penginapan dulu malam ini. Aku nggak mau nyetir dalam kabut begini.” Suzy mengangguk pelan. Ia tahu Ardian benar. Tapi entah kenapa, setiap kali mobil melintasi jalan yang kian sunyi, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat—seperti ada sesuat

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   Bab 24 — Siapa Di Balik Nama Itu

    Rumah Kevin terasa terlalu hening sore itu. Jam dinding berdetak pelan, nyaris tenggelam oleh desir angin yang menyusup lewat jendela terbuka. Di meja makan, secangkir teh yang sudah dingin masih mengepulkan aroma samar daun mint. Hellen duduk di kursi paling ujung, menatap kosong pada dinding tempat bayangan sore menempel seperti noda masa lalu yang tak bisa dihapus. Dia tahu waktunya hampir habis. Rumah ini bukan lagi tempat aman. Sejak malam terakhir ketika suara langkah-langkah asing terdengar di luar pagar, nalurinya berteriak keras: “tinggalkan semuanya sebelum terlambat.” Hellen menarik napas panjang, lalu menulis di selembar kertas putih, dengan pesan: "Pak Raymond dan Bu Karin, mohon maaf yaa Hellen harus meninggalkan rumah kalian karena Hellen merasa disini sudah tak aman. Maka dari itu saya akan mencari tempat aman saat ini juga. Mohon maaf sekali bila Hellen hanya bisa membantu sampai disini, bila Bapak dan Ibu memerlukan bantuan, silahkan kirim chat dinomor ini 08

  • Bukan Sekadar Kakak Tiri   BAB 23 - Pencarian Melelahkan

    Sore itu, langit di Dusun Merbabu mulai memudar. Matahari merayap turun di balik bukit, meninggalkan semburat jingga di langit Cendana Barat. Suzy dan Ardian baru saja tiba di jalan sempit bernama Jalan Bata Merah, nomor 6 — alamat yang selama ini mereka buru dari data Hellen. Mereka berhenti di depan rumah sederhana bercat krem yang terlihat sepi. Dindingnya dipenuhi lumut tipis, dan pagar kayunya sedikit lapuk dimakan usia. Suzy menarik napas panjang. “Ini… seharusnya rumahnya, kan?” Ardian mengangguk, menatap papan nama kecil di depan pagar. “Entahlah, Kita lihat apakah benar orangnya.” Mereka melangkah perlahan ke arah rumah itu. Suara ayam berkokok dan bau tanah lembap bercampur dengan aroma kayu tua. Tak lama, pintu terbuka. Seorang wanita paruh baya muncul — rambutnya disanggul rapi, wajahnya ramah. “Iya, ada apa ya, Nak?” tanyanya dengan suara lembut. “Permisi, Bu. Kami sedang mencari seseorang bernama Mira Desiana. Apa Ibu mengenalnya?” tanya Ardian sopan. Wa

บทอื่นๆ
สำรวจและอ่านนวนิยายดีๆ ได้ฟรี
เข้าถึงนวนิยายดีๆ จำนวนมากได้ฟรีบนแอป GoodNovel ดาวน์โหลดหนังสือที่คุณชอบและอ่านได้ทุกที่ทุกเวลา
อ่านหนังสือฟรีบนแอป
สแกนรหัสเพื่ออ่านบนแอป
DMCA.com Protection Status