Share

PART 5: Aktris Cilik

Author: Titi Chu
last update Last Updated: 2025-03-07 10:18:12

"Scene satu, shot dua, take sebelas. Action!" Sang asisten sutradara memberi aba-aba, membunyikan sebuah clapper, papan hitam putih sampai bunyi cletak!

"Sebentar, poni gue berantakan."

"Cut!"

Suara Pak Wisnu, sutradara menggema memenuhi ruangan, membuyarkan adegan yang sedang dijalani Gun dan Prily, aktris cilik yang kini sudah beranjak dewasa.

"Duh, kemarin di workshop talent nggak gini, lo kebanyakan mengkhawatirkan hal yang nggak perlu Pril, muka lo juga terlalu datar," tegurnya. "Walaupun harus sesuai naskah tapi gue butuh lo improvisasi, lo kan bukan amatir! Kita bahkan masih di adegan pertama, kalau seperti ini terus kapan selesainya?"

Perempuan cantik bertubuh semampai itu tampak meringis. "Sorry Mas, bisa kita ulangin lagi?"

Seorang tim wardrobe buru-buru mendekati mereka dan melakukan touch up pada Prily dan Gun, wajah laki-laki itu kelihatan kecut, sudah hampir dua jam adegan iklannya diulangi, dan semakin lama, Gun semakin kehilangan kesabaran.

"Kita break dulu aja, lo pelajarin naskahnya lagi. Gun tetap di tempat."

Prily cemberut, tapi dengan terpaksa perempuan itu nurut dan melangkah menjauh dari set untuk duduk di balik layar, asistennya segera menyodorkan botol minum.

"Lo perhatiin dari sana biar gue kasih contoh." Pak Wisnu kemudian melangkah ke arah Gun lalu melakukan sebuah adegan membuat kopi. "Gue mau chemistry kalian lebih hidup, seperti selayaknya istri yang menyambut suaminya pulang kerja."

Beliau menjelaskan hal tersebut dengan berapi-api, lalu matanya memindai seluruh lokasi dan berhenti padaku.

"Lo, sini."

Aku menatap ke kanan dan kiri kemudian menunjuk diri sendiri. "Saya Pak?"

"Iya, lo yang berdiri di dekat lighting, siapa lagi?" katanya. "Gue butuh orang lain buat kasih contoh, Pril, lo perhatiin."

Mau tidak mau aku mengoper tas dan paper bag pada Ed, lalu perlahan melangkah mendekat, mengernyit ketika menatap sorotan lampu yang cukup silau.

"Berdiri di depan meja island." Pak Wisnu segera memberi perintah.

Aku ragu-ragu karena Gun tepat berdiri di situ. Kupandang wajahnya yang juga sedang memandangku, laki-laki itu mengangkat alis tidak sabar.

"Tunggu apa?" tanyanya. "Buruan."

Cepat-cepat aku menuruti perintahnya. Berdiri di depan island sementara laki-laki itu berada di belakangku.

"Nah, bagus, sekarang Gun lo tahu kan harus gimana?"

Aku belum sempat menarik napas saat tiba-tiba kurasakan sebuah tangan menyentuh ringan pinggulku. Mataku sontak melebar, berdiri kaku.

Loh?

Tadi perasaan adegannya nggak begini, terus kenapa tiba-tiba berubah?

"Bagus, bagus. Kamera coba siap semua, gue mau ngecek di layar." Pak Wisnu tampak semangat bergegas kembali pada posisi semula. Kami praktis ditinggalkan berdua.

Bukannya apa-apa, aku sama sekali tidak memiliki pengalaman berakting, dan tiba-tiba dipanggil untuk sebuah contoh di depan banyak orang dan aktris kelas kakap jelas aku panik!

"Kurang rapat, Gun."

Mataku melotot.

Kurang rapat apanya? Aku bahkan tidak sanggup berdiri didekatnya apalagi...

Telapak tangan Gun bergeser dari pinggul ke perutku, aku sontak menahan napas, saat menoleh hendak protes jantungku berdegup kencang menyadari betapa dekatnya wajah kami. Aroma musk parfumnya seketika menyerbu indera penciumanku, Gun menunduk, dari jarak sedekat ini aku bahkan bisa melihat pantulan wajahku sendiri di bola matanya.

"Cocok!" Pak Wisnu berteriak. "Pertahankan, tambah dialognya Gun."

"Bikin apa, Sayang?"

Aku sontak merinding, sejak kapan Gun memanggil Sayang? Tapi ini cuma akting, aku tidak yakin harus menjawab apa, syukurlah Pak Wisnu tidak berteriak menyuruhku untuk membalas, tapi bisa kurasakan kini ruangan mendadak hening seolah berkonsentrasi.

"CoffeKu?" tanyanya, mengerling pada produk di atas meja.

Ah, benar!

Buru-buru aku menarik bungkusan itu dan menggoyangkannya, Gun sontak tersenyum.

Mataku mengerjap.

"Boleh kamu buatkan untuk aku?"

Aku??

Baiklah, aku mencoba mengikuti alurnya, menerima uluran mug berisi kopi dari kru di balik layar.

Namun belum sempat aku menoleh untuk memberikan minuman itu, Gun sudah membalikkan tubuhku, lalu kedua lengannya berada di kanan dan kiriku, mengurungku di antara meja dan tubuhnya.

Aku megap-megap.

"Napas Mita," bisiknya.

Oke, tarik napas, embuskan.

"Angkat mugnya."

Tanganku malah gemetar.

"Senyum ke saya."

Bibirku kaku.

"Senyum bukan menyeringai."

"Saya nggak bisa, Pak."

"Kamu nggak bisa senyum?"

"Maksudnya saya nggak bisa akting."

"Look at my eyes."

Jelas itu keputusan yang salah, karena mata Gun begitu cerah, lengannya terasa membujuk agar tanganku terangkat, saat menuruti perintahnya, lesung pipi Gun terbit.

"Good," pujinya, kemudian pura-pura menghidu aroma kopi di mug sebelum perlahan menyeruputnya. "Lakukan hal yang sama."

"Apa?"

Dengan lembut dia mendorong pelan mug itu, aku pun menyesap sedikit.

"Siap-siap."

"Gimana?"

"Kamu terbiasa mengulangi perintah saya, ya?"

Belum sempat aku mencerna apa yang dia katakan, Gun sudah menarikku menjauh dari island, lalu mengangkat sebelah tungkaiku seperti gerakan dansa, mataku sontak melebar dan nyaris menumpahkan mug berisi kopi, tapi Gun cekatan menahan.

Astaga, ini gila, bisa kulihat mata Gun cepat sekali berubah, sesaat dia begitu datar, tapi kini dia tampak berbeda, begitu hidup, begitu ceria, begitu mudah dijangkau, dan itu sejenak mengingatkanku dengan Gun yang dulu kukenal...

"Cut!"

Suara Pak Wisnu memecah lamunan, Gun langsung melepas tungkaiku begitu saja, tubuhku sempoyongan. Aku meraba-raba pinggiran island untuk mencari pegangan.

"Bagus Gun, bagus."

Sialan, apanya yang bagus? Laki-laki itu hampir menjatuhkanku!

"Lo lihat Pril, begini maksud gue dengan chemistry, ekspresi Mbanya juga dapet, muka ketakutan yang manja."

Dia menyebutku manja?

Prily mendengus, matanya memandangku tidak senang. Sambil meringis kualihkan tatapan pada Gun, laki-laki itu sudah menjauh dan sedang dipasangkan jas oleh Ed. Saat aku mendekat semua sikap manisnya telah musnah, kembali menyisakan rahang keras dan tatapan tajam tanpa kompromi.

"Saya tunggu kamu di ruangan, kita masih harus bicara."

Kutelan ludah susah payah.

Matilah aku!

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 157: Rumah

    "Ma guarda chi si è sposato, ecco il miracolo!" Dua orang laki-laki berwajah latin dengan setelan jas mengkilat menghampiri kami begitu acara resepsi tiba. Kebayaku sudah diganti dengan ball gown berwarna silver grey yang berkilauan di bawah cahaya. Bagian atasnya berbentuk bustier dengan detail kristal dan manik-manik yang rumit, menampilkan bahu dan leherku yang terbuka. Roknya mengembang indah, terbuat dari beberapa lapis tulle dan organza dengan taburan sequin halus, menciptakan efek shimmer yang memukau setiap kali aku bergerak. Mengikuti gaun, rambutku pun kini ditata dengan updo yang lebih glamor sesuai tema resepsi, lalu dihiasi jepit rambut bertabur kristal. Sementara dibandingkan akad yang natural, saat repesi ini makeupku sedikit lebih berani dengan smokey eyes dan lipstik nude. Gun tidak henti-henti memuji, dan mengecupi pelipisku setiap ada kesempatan. Sejujurnya sejak tadi gigiku kering karena dioper ke sana-kemari menyalami para tamu lalu dikenalkan dengan tema

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 156: Mrs. Saliba

    They say when you meet the love of your life, time stops, and that’s true. Mungkin itulah yang menggambarkan perasaanku saat ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir bahwa aku akan menikah. Aku hanya ingin hidup bersama anak-anak. Menjalani hari-hari dengan rutinitas yang mungkin sedikit mendebarkan. Tapi kehadiran Gun seperti sebuah nahkoda yang membawa ke mana kapal kami harusnya berlabuh agar kami tidak lagi tersesat dan kehilangan arah. Dia menjadi teman, sahabat, Papa dan pasangan yang kubutuhkan. Kami masih bertengkar, kami masih berdebat, kami masih saling mengejek saat memasak. Tapi kurasa itulah bahasa cinta kami, seperti itulah cara kami saling menyampaikan bahwa kami peduli. "Mama..." Hiro dan Naga masuk bersama Madrid ketika aku sudah selesai dimakeup dan mengenakan pakaian pengantin. Berbeda dari kebaya tradisional yang biasanya terbuat dari brokat tebal, kebaya yang kukenakan adalah sebuah impian yang menjadi nyata, dirancang khusus oleh desainer kepercay

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 155: Blangkon

    H - Seminggu pernikahan. Ya ampun, aku stres. Segala hal berjalan sesuai rencana, tapi debarnya semakin liar. Aku sampai insomnia, dan sedikit sakit kepala, dan akhirnya Mama ikut turun tangan, mengambil alih segala printilan pernikahan yang bisa dihandle seperti food testing dan seat table tamu. Gun juga makin sibuk, dia seperti kerja rodi, pergi pagi, pulang saat matahari terbit lagi. Dan sekalinya weekend serta ada di rumah, kami yang harus angkat kaki. "Ini sudah nggak relevan, ada gadget yang bisa dipakai buat komunikasi jadi nggak ada bedanya kalau kamu di sini atau di apartemen," katanya memprotes untuk yang kesekian kali. "Justru itu Gun, karena ada HP kita bisa tetap saling bertukar kabar. Jadi apa yang kamu cemaskan? Kita

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 154: Figura

    "Tumben jam segini kamu udah pulang Gun?" Aku mencoba mengulur-ulur waktu dengan berjalan santai ke arah living room, di mana anak-anak sudah lari-larian. Dia tidak mungkin mengamuk di depan mereka kan, jadi aku tersenyum setenang yang kuharapkan terlihat. Gun segera mengekori di belakang, suara langkahnya terdengar tegas seperti pemangsa yang sedang memburu santapannya. "Biasanya kamu masih syuting." "Kalau kamu bisa jalan-jalan sama Ed, itu artinya jadwal aku juga sudah selesai." Kutelan ludah susah payah. "Aku nggak jalan-jalan, cuma main sebentar—" "Kenapa kamu nggak angkat telepon

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 153: Som Tum

    Kami disambut seorang perempuan muda, mungkin pertengahan 20-an ketika perlahan pintu terbuka. Lalu diarahkan untuk masuk ke sebuah kamar luas dengan interior klasik Japandi. Mami Vero duduk di kepala ranjang, beliau kelihatan berbeda dari yang kutemui terakhir kali di De Luca. Kini wajahnya tampak pucat dan sedikit cekung. "Tipes dan asam lambung, dokter berkata saya terlalu banyak makan-makanan yang asam. Memang beberapa bulan terakhir saya stay di Thailand dan sedang hobi sekali menikmati Som Tum. Kamu harus mencobanya sekali-kali." "Aku udah pernah mencobanya Mami, memang enak buat camilan." "Oh kami menikmatinya dengan bihun, orang Thai suka sekali makanan yang pedas dan asam, cocok buat lidah Indo.

  • Chef Galak Itu Mantan Pacarku   PART 152: BBQ

    Setelah makan malam di rumah Om Frankie. Kami kembali sibuk dengan rutinitas mempersiapkan pernikahan. Lebih tepatnya aku, karena Gun sibuk menyelesaikan pekerjaannya yang tertunda dan dia kelihatan setuju-setuju saja dengan apa pun yang kupilih. Padahal aku tuh butuh pendapatnya, seperti dekorasi atau venue misalnya, aku perlu tahu apa yang dia suka, tapi dia hanya menjawab sederhana. "Apa yang kamu suka, aku juga suka." Dahlah. "Yang penting tuh bill lancar Mita, masalah bayar membayar. Nah, baru lo serahkan ke Gun." Jenardi ikut berkomentar ketika melihatku senewen sendiri.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status