LOGIN"Selesai!" seru Nindya, meletakkan sendok kayu setelah menyiapkan makan malam untuk Arga.Sejak bekerja paruh waktu di cafe milik Rocky, ia selalu memastikan pulang sebelum sore agar bisa memasak untuk suaminya—meski ia tahu, Arga tidak pernah benar-benar menganggapnya istri. Tapi, setidaknya Nindya berpikir harus tetap menjalani kehidupan rumah tangga juga kan? Usai masak, Nindya berpikir untuk mandi, membersihkan tubuhnya. Tapi, baru saja ia ingin mandi, sebuah suara memanggil."Nindya."Ia berbalik cepat, lalu berlari ke pintu.Arga baru pulang.Namun bukan itu yang membuat dadanya menegang saat melihat kehadiran pria itu.Arga masuk bersama seorang wanita—cantik, anggun, dan postur tubuh yang seperti model. "Siapa wanita ini? tidak mungkin kan ini teman? atau.." Kata Nindya didalam hati, ia mencoba menebak siapa wanita itu dan memperhatikan bagaimana interaksi mereka berdua. Tangan kiri Arga melingkar di pinggang wanita itu dengan mesra. Perlakuan yang seakan menusuk jantungny
"Sebentar Celin, aku mengantuk…" Deg. Dunia Nindya seperti berhenti bergerak. Arga, yang masih memejamkan mata, justru memeluknya lebih erat. Pelukannya hangat… tapi bukan untuknya. Celin. Dari semalam… Arga mengira dirinya Celin? "Sayang, kenapa kamu diam? Biasanya kamu langsung cium kening aku…" lirih Arga, suaranya berat dan serak, seperti masih tersisa alkohol dari semalam. "Eun—" Arga tidak jadi melanjutkan. Kelopak matanya terbuka perlahan… dan saat melihat siapa yang ada dalam pelukannya, wajahnya langsung berubah drastis. "Woi, apa-apaan kamu!" Arga memekik panik, mendorong tubuh Nindya menjauh. Tatapannya turun ke tubuh mereka yang sama-sama telanjang. Dan saat itu juga, tatapan Arga berubah. Jijik. Seperti melihat sesuatu yang tidak seharusnya ada di dekatnya. Nindya mencoba tersenyum kecil. “P–pagi…” "Hmm. Pagi." Arga menjawab cepat, pendek, dan dingin. Ia memegangi kepalanya, berusaha mengingat kejadian semalam. Ia mabuk. Ia pulang. Lal
Malam itu rumah besar itu kembali terasa sunyi. Tak ada suara langkah kaki, tak ada dentingan gelas dari dapur. Hanya suara detik jam dinding yang terasa menusuk di antara kesepian. Nindya duduk di ruang tamu dengan wajah lelah. Televisi di depannya menayangkan drama yang sama sekali tidak menarik perhatiannya. Ia bahkan tidak tahu apa judulnya—yang penting ada suara yang menemaninya. Hanya itu yang ia butuhkan malam itu: sedikit suara di tengah sunyi. Di meja makan, dua piring sudah tertata rapi. Makanan masih hangat, tapi jam di dinding sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Arga belum juga pulang. “Hhh…” Nindya mengeluh lirih sambil menatap meja makan. “Sampai kapan aku menunggu orang yang bahkan tak ingin ditunggu…” Ia memegangi perutnya. Lapar. Tapi ia menahannya. Bagaimanapun juga, ia ingin makan bersama suaminya—setidaknya sekali saja malam ini. Namun begitu ia menatap jam sekali lagi, matanya terasa panas. “Sudah jam sembilan lewat tiga puluh… dia bahkan tak membe
Setelah Andreas pulang, Nindya kembali sendiri di rumah besar itu. Rumah yang megah, luas, tapi anehnya terasa begitu sunyi dan dingin. Hening. Bahkan detak jam dinding pun terasa menggema. Ia melangkah pelan ke ruang tengah. Pandangannya kosong. Andai saja... andai saja ada anak kecil yang berlari di sini, mungkin sepi ini tak akan terasa sesakit ini. “Hey... apa-apaan sih, Nindya,” gumamnya sambil menepuk pipi sendiri pelan. “Jangan mimpi yang nggak-nggak. Arga nggak nyiksa aja udah bersyukur.” Ia menghela napas panjang, menatap langit-langit putih di atas sana. Andai saja Arga bisa sedikit lembut. Andai dia memperlakukan dirinya dengan baik, mungkin pernikahan ini nggak akan terasa seperti penjara. Ya, kalau saja begitu... “Huh... bosen banget,” keluhnya sambil terus gonta-ganti saluran TV. Acara gosip, sinetron, berita politik — semuanya terasa sama: hambar. Biasanya, ia sibuk bekerja, nyapu, ngepel, ngatur rumah... sekarang? Sekarang dia cuma punya waktu buat duduk
Byurrrr Nindya terbangun dari tidurnya saat ia merasakan guyuran air di tubuhnya, ia langsung duduk dengan mengusap wajahnya yang terkena air, ia mendongak dan menemukan Arga dengan memegang sebuah ember di tangannya. "Buatkan aku sarapan" perintah Arga dengan wajah dinginnya, setelah itu ia meninggalkan Nindya begitu saja tanpa berkata apapun lagi. Dengan badan yang masih terasa sakit, Nindya perlahan bangun dari tidurnya, kakinya melangkah untuk keluar gudang itu. Tapi tunggu, Nindya sadar akan sesuatu. "Astaga, aku tidak punya baju, bagaimana ini?" Nindya menggigit bibir bawahnya, bingung dengan keadaan. "Huh, tidak mungkin aku masak dalam keadaan begini? Astaga Nindya, seharusnya kau membawa pakaianmu semalam.." Ya Nindya ingat bahwa setelah resepsi pernikahannya selesai ia langsung dibawa oleh Arga ke rumah pemberian mertuanya ini, tanpa kembali ke rumah untuk mengambil pakaiannya lagi. Mata Nindya melilau ke sekitar, ia mencari sesuatu yang bisa ia gunakan. Tapi tunggu,
Setelah acara pernikahan, Arga dan Nindya pun akhirnya pergi ke rumah baru mereka yang diberikan oleh Prasetyo sebagai hadiah pernikahan mereka.Rumah yang terlihat megah dan mewah di mata Nindya.Tapi kata mertuanya itu rumah minimalis biasa? Ck dasar orang kaya. Bahkan rumah Nindya saja belum da seujung kuku rumah megah nan mewah ini. Dan yang mengesalkan bagi Nindya kata-kata dari Gunawan, pengacara tuan Prasetyo."Rumah itu hanya seharga 5 milliar dolar amerika"Wtf? Hanya dia bilang? Hanya? Bahkan jika disuruh untuk mengganti sekua pembayaran dengan seluruh orgn tubuh Nindya, harga semua organ tubuh Nindya tidak akan mampu menutupinya. Dasar orang-orang kaya, Nindya merasa tidak pantas berada di sini jadinya."Apa lagi yang kau tunggu? Ini sudah malam, jika kau sakit karena angin malam, ayahku akan menyalahkan aku." Ketus Arga yang sudah membuka pintu, ia menatap Nindya dengan datar lalu berjalan meninggalkan Nindya sendirian di sana."Apa dia saudara kembar dengan tembok? Datar







