LOGINKisah tentang Abdul dan Fitri, Abdul yang berniat melamar Mayang, anak dari majikan ibunda Fitri, langsung di tolak mentah-mentah oleh kedua orang tua Mayang, hanya karena Abdul seorang pedagang bakso. Siapa sangka, ternyata Abdul bukanlah pedagang bakso biasa.. ikuti ceritanya yuk..
View More"Lindungi Pangeran! Lindungi Pangeran!"
Pangeran bersembunyi di semak-semak melihat pasukan istana bertarung melawan bandit, sementara iring-iringan Kaisar telah lama pergi.
Pangeran paham jika dia tidak bergerak, mereka akan menangkapnya. Pemuda jangkung kurus mengerti dengan pakaian mahal akan dengan mudah dikenali bandit. Dengan cerdik pemuda berusia dua belas tahun memakai pakaian bandit yang tewas.
"Pangeran, jangan kabur!" teriak bandit memergoki Liu Bian mengendap-endap keluar dari semak-semak.
Anak naga kabur berlari secepat mungkin, tetapi sebagai calon kaisar dia tidak dilatih berlari. Baru beberapa li saja dia terengah nyaris pingsan.
Suara tawa para bandit membuat Liu Bian merinding. Mereka mau membunuh? Atau menculik? Dua pilihan sama saja.
Bandit membalik tubuh tengkurap Bian memakai kaki. Dia meludah lalu hendak menusuk golok ke perut Pangeran. "Mati kamu, anak tidak berguna!"
"Hentikan!" Beberapa pencari kayu bakar datang sambil melempar batu. Beberapa mengangkat golok menyerang bandit.
"Apa yang kalian lakukan?" tanya Bandit. "Kami hendak berjasa pada Langit dengan membunuh keturunan Kaisar!"
"Bohong! Kalian pasti rampok!"
Pencari kayu bakar menyerang bandit. Mereka berkelahi beradu golok seakan lupa akan Pangeran. Liu Bian masih membatu berusaha mengatur nafas. Kejadian tadi benar-benar membuatnya terkencing-kencing. Baru kali ini dia berada di ujung kematian. Sepertinya Dewa masih sayang kepadanya.
Tiba-tiba terdengar suara aneh dari kejauhan.
"Psst, hei, heei, sini sini." Anak kecil melambai-lambai dari dalam semak-semak. "Ayo Xiongdi, sini."
Dipanggil dengan sebutan saudara membuat Liu Bian bingung. Bahkan adik tirinya memanggil dengan sebutan Putra Mahkota. Namun, dia tetap merangkak masuk ke semak-semak menemui bocah yang sekiranya berusia sepuluh tahun, seumuran adik tirinya.
Bocah berusia sepuluh tahun menutup hidung sambil mengibas tangan. "Haiya, bau kencing. Kamu ngompol ya? Ya sudah, tidak penting, ayo kita ke desa. Di sini berbahaya."
Mereka berlari hingga tiba di jalan setapak yang tertutupi dedaunan kering. Merasa aman, mereka melangkah menyusuri jalan di tengah hutan bambu.
"Xiongdi, jalan ini menuju Desa Sulu, kamu akan aman di sana. Yuk." Bocah polos menggandeng Pangeran.
Pada awalnya Pangeran enggan disentuh. Dia titisan naga, sementara bocah kecil kunuh hanya rakyat jelata. Strata mereka jauh seperti utara dan selatan. Namun, dia penolong Pangeran. Hak istimewa diberikan pada bocah yang entah siapa namanya.
"Xiao Didi, siapa namamu?" tanya Pangeran, turut memanggilnya dengan saudara muda.
Dipanggil dengan sebutan adik kecil, bocah menoleh. "Sima Zhou. Kalau Xiongdi?"
Seluruh negeri tidak mengenal nama asli Putra Mahkota, baru kali ini dia memperkenalkan nama asli pada rakyat. "Liu Bian."
"Woah, nama yang aneh, tapi cukup keren." Si polos mengacung jempol pada Bian.
Setelah melangkah cukup jauh, mereka tiba di kuil tua untuk beristirahat. Sima Zhou bisa berjalan terus ke desa, tapi kaki Pangeran seperti kehilangan tulang. Pangeran kelelahan dan butuh istirahat. Sima Zhou memutuskan menemaninya duduk di dalam kuil tua yang ditinggalkan warga.
"Para bandit semakin berani merampok di siang hari Xiongdi." Zhou membagi mantau kering untuk Bian, mempersiapkan air dalam wadah bambu. "Semua karena kaisar serakah menarik pajak besar."
Sebagai calon kaisar Bian geram meremas mantau. Rakyat jelata mengatainya seperti itu, tapi hendak marah juga apa guna?
Dia sadar tidak tahu keadaan negaranya sendiri. Bian selalu terkurung dalam sangkar emas bernama Kediaman Kaisar. Dia hanya keluar untuk acara berburu seperti sekarang, hingga para Bandit mengacau.
Ini kesempatan baik untuknya mengetahui keadaan sebenarnya rakyat jelata.
"Menurutmu begitu Xiao didi?"
Zhou mwngangguk. "Kata ayahku semua terjadi karena pajak terlalu tinggi, banyak rakyat kelaparan dan Kaisar gentong hanya tertarik pada surga dunia. Oleh sebab itu beberapa rakyat memilih menjadi bandit. Para prajurit enggan melindungi rakyat, memilih hidup bersenang-senang di kedai. Kamu tahu Xiongdi, di seluruh daerah Han sekarang bagai hutan rimba. Membunuh untuk hidup. Yang kuat yang berkuasa."
Bian mengangguk sambil memakan mantau. Andai tidak melihat sendiri betapa banyaknya bandit menyerang, dia pasti meminta pengawal memenggal bocah di depannya karena berani menjelek-jelekkan kaisar.
Bian menghela napas panjang yang cukup kencang. "Mungkin Kaisar tidak tahu akan keadaan rakyat. Mungkin yang keluarga Kaisar ketahui rakyat hidup makmur berkecukupan. Hei, siapa nama ayahmu? Kenapa dia tahu banyak hal?"
"Sima Yi. Dia cendikiawan miskin yang suka berjudi. Xiongdi jangan bilang ayah ya, kalau aku mengatainya miskin."
Bian terkekeh mengangguk kecil. "Aku berjanji akan merahasiakan hal ini. Aku berjanji akan mencoba memperbaiki kualitas hidup masyarakat Han kelak, jika aku menjadi kaisar."
Zhou terdiam memandang wajah serius Bian. Dia tidak tahu kalau pemuda di hadapannya adalah Putra Mahkota. Tentu bagi rakyat jelata ucapan tadi lucu, Zhou sampai terpingkal memegang perut karena celotehan Bian.
"Jangan mimpi Xiongdi. Haiya, kamu membuat perutku sakit."
"Aku serius."
Zhou duduk mengatur napas. "Ya, selamat mencoba. Mungkin kamu butuh bantuan dua pedang."
"Apa maksudmu Xiao didi?"
"Mungkin hanya dengan pedang Meteor dan pedang Naga dunia bisa damai."
Bian baru mendengar tentang dua pedang ini. Apa bocah sedang menceritakan cerita rakyat? "Apa maksudmu bocah?"
"Ayah bercerita, ini kuil Liu Bang dan Xiang Nu." Bian berdiri menunjuk patung dua pria bersebelahan. "Mereka para penumbang tirani dan katanya jika keadaan dunia kacau, Pedang Meteor akan muncul, membawa kedamaian."
Liu Bang dan Xiang Nu tertulis di buku sejarah Han sebagai dua bapak pendiri kekaisaran. Mungkin kah bocah ini tahu lebih banyak dari Bian?
Bian tidak serta merta percaya ucapan Zhou. Dia meniup batu tua di bawah patung perunggu. Tertulis pahatan huruf dinasti Qin kuno. Beruntung Pangeran bisa membacanya.
[ Dua sahabat bersatu menumbangkan tirani Qin. Tetapi keserakahan dan nafsu membuat mereka saling membunuh, mengotori pedang Meteor dan pedang Naga dengan darah suci.
Kedamaian abadi tertunda. Empat ratus tahun waktu untuk kedamaian berjaya sebelum hancur.
Kesempatan ketiga bagi dua sahabat untuk bangkit memperbaiki kesalahan. Pedang Naga di barat, pedang Meteor di timur. Sentuh dengan darah keturunan Xiang Nu dan Liu Bang, maka kediaman pedang akan muncul]
Tulisan ini dibuat dengan pahatan yang sulit. Pertanda keaslian ucapan dalam tulisan. Bian keturunan ketiga belas Liu Bang. Dia menyentuh batu dan patung Liu Bang bercahaya.
(Aku melihatmu ….)
"Wah, apa yang kamu lakukan Xiongdi?" Zhou berusaha menarik tangan Bian, tapi gagal. Tidak sengaja dia menyentuh batu yang sama.
Patung Xiang Nu menyala terang. Dua patung semakin terang menyilaukan mata. Cahaya terang membentuk cagak menerjang langit, membelah awan putih. Lalu hempasan angin kuat muncul dari batu.
Mereka serentak terpental menabrak pintu di belakang hingga hancur.
"Haiya, boyokku aduduh. Xiongdi jangan aneh-aneh! Apa yang kamu lakukan?" Zhou membantu Bian berdiri.
"Entahlah, tiba-tiba saja batu menyala."
"Ah kamu ini, aku nyaris ngompol tahu!"
"Maaf, maaf. Apa kamu mendengar sesuatu tadi?" tanya Bian, mengguncang badan Zhou.
"Tidak, aku tidak mendengar apapun. Jangan membuatku takut! Sudahlah, aku mau buang air besar dulu." Zhou menepis tangan Bian, pergi ke semak-semak jauh di belakang kuil. "Jangan ngintip! Nanti kamu takut terus ikut!"
Bian duduk bersandar cagak kuil, melihat dua patung aneh. Apa mungkin tadi hanya bayangan belaka? Tapi telinganya benar-benar menangkap kalimat mengerikan.
Dari arah ujung jalan puluhan prajurit Han menunggang kuda tiba. Mereka mengenali wajah calon Kaisar, langsung berhenti di depan kuil.
Lima prajurit turun, bertekuk lutut di hadapan Pangeran. "Panjang umur Pangeran, panjang umur Han!"
"Berdirilah para punggawaku."
"Pangeran, di sini tidak aman. Ayo kita harus segera kembali ke istana."
Bian menanti Zhou untuk kembali. Dia ingin berterima kasih secara formal juga memberi hadiah, tetapi sepertinya bocah itu akan lama kembali. Sementara dari wajah para penjemput sepertinya para bandit masih berkeliaran di sekitarnya.
"Pangeran, ayo!"
Bian mengepal tangan di depan dada. "Saudara Zhou, aku berjanji akan berusaha merubah Han lebih baik. Tunggulah aku."
Seorang pengawal bersujud di sebelah kuda, menjadi pijakan Bian yang hendak menunggang kuda.
Rombongan pun berangkat meninggalkan kuil.
*
Di tempat lain cahaya terang yang meluncur dari kuil tua menghantam sebuah makan tua. Tangan keluar dari makam seperti hendak meraih sesuatu.
****
(Halo selamat datang di novel ini. Jangan lupa memasukkan ke dalam daftar bacaan ya, semoga suka)
Waktu terus berlalu, Ustadz Ibrahim yang awalnya terus melakukan pendekatan pada Mayang, kini malah sedikit demi sedikit mulai menjauh.Padahal Rudi sudah mulai mengalah, karena ia merasa, mungkin Mayang akan lebih cocok bersama dengan Ustadz Ibrahim, yang alim itu.Semuanya berawal, kala itu ustad Ibrahim secara tidak sengaja, mendengar percakapan Mayang bersama sang ibu.Ustadz Ibrahim, yang ingin menjemput Raya bersekolah seperti biasanya, mendadak membeku di depan pintu rumah Bu Retno, saat dia secara tak sengaja, mendengar percakapan mereka."Aku ini tidak pantas untuk ustad Ibrahim Ibu..apalagi dulu aku pernah hamil di luar nikah dan menggugurkannya, bahkan juga sering berzina" ucap Mayang, saat sang ibu menanyakan tentang ustad Ibrahim, yang sering bertandang ke rumah mereka.Ustadz Ibrahim yang bersiap mengetuk pintu rumah itu, segera menurunkan tangannya, dan berbalik, bergegas pergi dari rumah Mayang.Sepanjang jalan menuju madrasah, pikirannya terus saja berkecamuk, dengan
"Aku mohon Mayang, kembalilah kepadaku" mohon Mahmudi sore itu, saat Mayang bersiap untuk berangkat menuju kedai bakso, tempat dia bekerja sekarang, setelah tadi pulang sebentar, untuk melihat ibunya, dan menyiapkan peralatan sekolah Raya, untuk belajar mengaji di Madrasah.Raya tampak ketakutan, takut di bawa pergi oleh ayahnya, yang selama ini tak begitu dekat dengan nya."Kenapa Mas? harus berapa kali lagi, kamu menyakiti ku?? aku sudah capek Mas, terus-menerus di khianati, dan di bohongi sama kamu.Aku juga sudah lelah, dengan semua perlakuanmu, yang selalu merendahkan aku" jawab Mayang dengan suara yang bergetar, karena menahan emosi yang selama ini terpendam."Aku pikir, menikah dengan orang yang jauh lebih tua sepertikamu, bisa melindungi dan membuatku nyaman. Tapi nyatanya apa yang aku dapat selama ini??" ujar Mayang lagi, kemudian menyeka air matanya, dari pipi tirusnya. "Aku mohon sayang, kali ini Mas sungguh-sungguh" tahan Mahmudi, mencekal lengan Mayang erat."Lepas Mas!!
Lima tahun telah berlalu....Desa Mekarsari kini menjadi lebih ramai, apalagi saat Abdul mendirikan sebuah Madrasah, tempat sekolah mengaji setiap sore di desa itu. Hal itu di sambut dengan sangat antusias oleh warga.Dengan menggandeng para pemuda dan tokoh agama, sekolah itu sudah berjalan selama kurang lebih 3 tahun lamanya.Muridnya yang awalnya hanya puluhan orang, kini sudah menjadi ratusan, karena dari desa-desa tetangga, juga banyak yang belajar mengaji di situ.Letaknya yang ada di sebelah rumah bu Siti, menjadikan rumah itu tak pernah sepi setiap harinya. Apalagi Abdul juga membuka cabang baksonya yang entah ke berapa, di dekat Madrasah nya itu.Fitri pun sekarang juga tengah hamil anak yang kedua, setelah Salman putra sulungnya berusia 4 tahun."Sayang, jangan terlalu lelah, ingat kandunganmu" peringat Abdul, saat istrinya itu masih saja membuat adonan kue-kue donat, yang akan ia bagikan untuk anak-anak mengaji nanti, di bantu oleh beberapa tetangga. "Aku kan cuma tunjuk
"Selamat datang kembali di desa ini bu Siti" ucap para tetangga, sambil memeluk bergantian, berharap juga bisa mendapatkan keberkahan, dari para tamu Allah, yang baru kembali. Cukup lama para warga bercengkerama, mendengarkan cerita bu Siti, selama menjadi tamu Allah, dan berkunjung ke tempat-tempat bersejarah. Semuanya larut dalam ceritanya, bahkan ada yang sampai meneteskan air mata, karena juga ingin, bisa segera mendapat panggilan, supaya bisa segera berangkat ke Baitullah. Di penghujung acara, setelah semua para tamu mendapatkan makan, dan juga mencicipi air Zamzam, walau hanya sedikit, bu Siti meminta Abdul, untuk melantunkan doa, supaya semua yang hadir, juga bisa segera berangkat.Abdul kemudian membacakan doa, yang segera di amini oleh hadirin.Selesai doa, Yu Karsiyem dan kawan-kawan nya, di mintai tolong, untuk membagikan oleh-oleh, yang telah disiapkan, berupa sajadah, tasbih, dan minyak wangi. Dengan cekatan, oleh-oleh yang sudah di siapkan pun di bagikan kepada selur
Keberangkatan bu Siti dan anak menantunya, juga besannya, di iringi oleh para warga, yang juga hadir, untuk ikut doa bersama. Semua warga, mendoakan yang terbaik. Agar senantiasa selamat sampai tujuan, hingga kembali lagi ke rumah.Sebelum berangkat, tak lupa bu Siti menitipkan rumahnya kepada para tetangganya. Supaya tidak kosong dan sepi.******Dua minggu telah berlalu, pak Suryo dan Juminten, tengah cemas, menunggu pembagian keuntungan, yang telah di janjikan oleh pihak investasi. "Mas, kok belum cair-cair ya" ucap Juminten, sambil terus memeriksa ponselnya.Pak Suryo hanya diam, tak menyahut, karena pikirannya saat ini juga sedang kalut.Bagaimana tidak, uang di tangannya sudah semakin menipis, sawahnya juga sudah habis ia jual, menuruti perkataan Juminten, dan uangnya semua dia investasikan. Juminten tampak resah, sambil terus mengusap perutnya yang sudah membesar, karena sudah memasuki masa melahirkan. Di saat mereka tengah menunggu pembagian hasil itu, bu Retno datang ke r
Mahmudi meraup wajahnya kasar. Dia benar-benar merasa tertipu oleh Juragan Suryo. Karena waktu itu, katanya masih gadis, nyatanya sudah tak ber segel.Mau di kembalikan, sayang. Untung saja Mayang cantik, andai biasa saja, tentunya ia akan langsung minta ganti rugi, dan mengembalikannya."Ya sudah lah, mau bagaimana lagi, sekarang kamu harus selalu patuh pada perintahku!! supaya tidak rugi, aku sudah membayar maharmu dengan sangat mahal!!" ucap Mahmudi, kemudian melanjutkan aksinya lagi, dengan kasar.Tak di perdulikannya Mayang yang menangis kesakitan, dia benar-benar merasa sangat jengkel, karena sudah di tipu oleh ayah mertuanya. Semalaman Mayang di paksa nya, untuk terus melayaninya, tanpa mengenal belas kasihan, pada istri yang baru ia nikahi itu.***"Mana istrimu Di?? pagi-pagi kok belum keluar dari kamar?!!" decak bu Susan tampak kesal."Masih tidur tuh, di kamar" jawab Mahmudi, sambil membuat kopi di dapur.Bu Susan benar-benar murka melihat ini, sudah bayar mahar mahal, te


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments