"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu.
"Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri. "Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi. "Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet. Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya. Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan diantar satpam sampai keluar kantor, takut nasabah itu kembali mengamuk tiba-tiba. "Mbak, petugas yang tadi itu, suaminya polisi ya?" tanya salah satu polisi itu saat telah dilayani oleh Tyas. "Betul, Pak. Bapak kenal ya?" "Atasan kita di kantor.” Vanya baru kembali dari toilet setelah nasabah di depan Tyas itu pergi. *** Dalam perjalan pulang, Sebenarnya Charles ingin langsung menanyakan bagaimana keadaan Vanya. Namun karena raut wajah Vanya yang tampak biasa-biasa saja dan tak ada tegur sapa darinya, Charles mengurungkan niatnya. Semenjak kejadian sebut nama itu lagi, sikap Vanya benar-benar berubah. Ia tak seperti dulu lagi, tak banyak bicara tak banyak protes, meskipun walau di depan orang lain Vanya bersikap seperti biasa, seolah tak terjadi apa-apa. Sikap Vanya yang seperti itu membuat Charles sangat tidak nyaman. Ia jadi bingung bersikap, takut salah dan sering menjadi salah tingkah saat mereka sedang berdua saja. Setibanya di rumah, Vanya menyapa Charlos yang telah menunggunya di teras rumah dengan di temani Erin. "Ami, mandi dulu ya. Setelah itu baru kita main," ucap Vanya menyentuh lembut pipi Charlos. "Hoee …." teriak Charlos girang sambil mengangkat kedua tangannya ke udara. Charles mengikuti Vanya yang berjalan lebih dulu masuk ke kamar. Sesampainya di dalam kamar, ia langsung menuju kamar mandi. "Ini apa maksudnya?" tanya Vanya sengit begitu keluar kamar mandi, malah melihat sepucuk pistol nangkring di atas meja rias. "Kenapa?" tanya Charles yang baru saja melepaskan baju yang dipakainya, bersiap hendak masuk ke kamar mandi. Vanya menatap Charles dan pistol yang ada di meja secara bergantian. Buru-buru Charles menyimpan pistolnya ke dalam laci yang ada di lemari pakaian. "Maaf, aku gak ada maksud apa-apa," ujar Charles memegang lembut tangan Vanya, yang langsung di tepis Vanya dan berjalan menjauh dari Charles. “Ampun, salah lagi salah lagi. Sampai kapan kayak gini” gumamnya. Ia masih berdiri di tempat yang sama sementara Vanya telah duduk di tepi ranjang sambil memainkan handphonenya. Baru beberapa langkah menuju kamar mandi, Charles berbalik mendekati Vanya dan duduk di sampingnya. "Mau sampai kapan kita kayak gini terus?" tanya Charles sambil menjangkau tangan Vanya yang sudah berdiri lagi, ingin menjauh darinya. "Kita? Harusnya, kamu! Sampai kapan kamu mau kayak gini terus?!" seru Vanya yang membuat Charles terdiam untuk beberapa saat. Dengan cepat, ia memeluk Vanya dari belakang. Sangat erat, hingga sekuat apapun Vanya meronta, ia tak bisa lepas. "Aku minta maaf. Benar-benar minta maaf sama kamu," ucapnya lirih tepat di telinga Vanya. Tak ada jawaban dari Vanya. "Aku sudah belajar membuka hati untuk kamu dan belajar membalas perasaan kamu." Sama. Tetap tak ada jawaban dari Vanya "Aku sudah benar-benar mengikhlaskan dia. Tapi aku mana bisa mengatur alam bawah sadar aku," ucap Charles bergetar. Vanya menelan salivanya dan mengatur nafasnya, saat Charles beraksi. Ia menghujani leher Vanya dengan kecupan-kecupan nakal. "Geli tahu," ucapnya saat sudah tak bisa menahan lagi, sambil menginjak kaki Charles agar ia menghentikan aksinya. Bukannya berhenti, ia malah membawa Vanya menuju tempat tidur dan menjatuhkannya. Membuat kaki bagian atas Vanya yang tertutupi rok menjadi sangat terlihat jelas. "Sampai kapan?" tanya Charles menatap dalam kedua bola mata hitam Vanya. Tangannya tetap beraksi membuka kancing kemeja yang dikenakan Aminya Charlos satu persatu secara perlahan. Tak ada perlawanan dari Vanya, karena ia memang sengaja membiarkan Charles bersenang-senang sejenak. Jari-jari tangan Charles mulai menari di atas perut langsing Vanya. Sedikit menggelitik, namun masih bisa ditahannya. Sebelum Charles berbuat lebih jauh lagi dan merasa telah cukup membuat Charles senang, Vanya berdiri dan balik mendorong Charles sekuat tenaga ke atas tempat tidur. "Sampai kamu benar-benar yakin hati dan perasaan kamu memang untuk aku! Percuma kamu minta maaf kalau nanti kamu bakal ngelakuin hal yang sama lagi! Percuma Charles!" serunya kesal tepat di telinga Bapaknya Charlos itu. Tangannya dengan nakal menarik beberapa rambut halus yang ada di balik kemeja Charles, hingga membuatnya menjerit kecil. "Kamu harus ingat, jangan pernah bermimpi untuk menyentuh aku lagi!!!" Vanya membenahi pakaiannya lantas menuju meja riasnya. "Ya ampun, dosa apa aku? Diginiin sama istri sendiri." Charles mengacak-acak rambutnya. Frustasi. "Kamu mau apa lagi?" tanya Vanya ketus tanpa memandang wajah Charles. "Mau apalagi, kalau bukan mau kamu, Aminya Charlos," ucapnya sambil meniup telinga Vanya. "Kamu jangan macam-macam ya." Vanya menatap Charles. "Aku mana pernah macam-macam sih, satu macam aja sudah cukup," ucap Charles lagi. Ia tak peduli dengan ultimatum Vanya tadi dan tetap berusaha mendekati Vanya. Tok tok tok "Ayo, kita makan dulu," ucap Erin dari balik pintu kamar. "Iya, Ma," sahut mereka berdua kompak. Vanya memandang Charles senang. Senang karena berhasil membuatnya pusing tujuh keliling.Charles masih sibuk mengerjakan laporannya, padahal ini sudah jam lima sore. Belum lagi waktu perjalanan Bandung Jakarta yang memakan waktu beberapa jam bila ditambah dengan kemacetannya. Sambil terus menyelesaikan laporannya, ia terus melirik jam di layar laptopnya. Tak tahu kenapa hati sedikit gusar. Maunya ingin cepat pulang saja.Di kantor Vanya.Ia baru saja selesai absen pulang. Sebelum pulang ia mampir ke toko mainan yang baru buka di dekat kantornya, membelikan mainan mobil-mobilan untuk Charlos."Makasih ya, Mbak," ucap Vanya sambil menenteng bungkusan berwarna biru itu. Setibanya di depan rumah, Vanya turun dari mobil dan membuka pagar rumah."Ami … Ami …" teriak Charlos dari depan pintu rumah saat melihat Vanya yang barusan turun dari mobil tadi.Teriakan Charlos bertambah kencang saat Vanya menunjukkan bungkusan plastik pada Charlos. Senyum yang mengambang di bibir Vanya, berubah menjadi ekspresi sedikit takut saat melihat Charlos hendak menuruni
"Maaf Pak, Bapak silahkan duduk dulu." Vanya tetap berusaha tenang menghadapi nasabah yang datang dan langsung marah-marah padahal ini masih pagi. Saat Vanya mulai bicara hendak memberikan pilihan, nasabah itu bangkit berdiri dan mengambil pistolnya yang sedari tadi ia letakkan di atas meja. Tak perlu waktu lama petugas keamanan dan beberapa orang langsung mengamankan nasabah itu."Bapak silahkan ke sebelah sini," ucap satpam yang berjaga di sana dengan dibantu dua orang nasabah yang kebetulan berprofesi sebagai polisi, mengarahkan ke ruangan Pak Tri."Sakit tuh nasabah," komentar Tyas. "Kamu gak apa-apa kan?" tanya Tyas lagi."Gapapa," sahut Vanya. Ia meninggalkan mejanya sebentar, menuju toilet.Dari dalam ruangan Pak Tri, dua polisi yang ikut mengamankan nasabah tadi memperhatikan Vanya.Setelah dijelaskan oleh Pak Tri, nasabah yang mengamuk tadi akhirnya paham dan meminta maaf karena telah membuat kegaduhan di kantor ini. Ia meninggalkan tempat itu dengan di
Ia tak bicara sama sekali saat Charles mengantarnya kerja. Memandangnya saja pun tidak. Rasa kesal dan sakit di hatinya teramat menumpuk. Ia turun dari mobil dan menutup pintu dengan sedikit kencang. Charles hanya bisa menghela nafas melihat hal itu. Selesai morning briefing, Vanya dan yang lain kembali ke unit masing-masing. Ia duduk di kursinya dan mengambil handphonenya.'Pesan apa ini' tanyanya dalam hati melihat pesan yang dikirimkan Charles kemarin malam.'Besok, upacara kenaikan pangkat' gumamnya. Matanya membaca dengan teliti, mencari nama Charles diantara sekian nama yang ada di sana. Ia berdecak kagum melihat pangkat dan jabatan baru yang akan diemban Charles sekarang. Masih muda dan sangat berprestasi di pekerjaannya. ***Sebelum pulang, Vanya menemui Priska untuk minta izin masuk kerja agak siangan."Kenapa gak sekalian satu hari aja izinnya?""Gapapa, Mbak?” Vanya tak enak.“Gapapa, santai aja.”Di pos satpam, tampak Charles telah m
Sebelum akhir pekan benar-benar berakhir, hari Minggu ini Charles mengajak jalan-jalan keluarganya. Mereka telah siap di dalam mobil, hanya tinggal menunggu Charles yang katanya sakit perut."Vanya lihat dulu ke dalam ya Ma," ucap Vanya tak telah melihat yang lain telah menunggu. Vanya keluar dari dalam mobil dan masuk ke dalam kamar mandi yang ada di kamar. Berkali-kali diketuk tak ada sahutan dari dalam. Vanya memberanikan diri membuka pintu kamar mandi yang ternyata tak di kunci."Loh, kosong? Dia dimana?" Vanya bingung mendapati kamar mandi yang kosong. Ia keluar kamar dan melihat Charles berjalan dari arah dapur."Kamu ngapain dari kamar?""Kamu yang ngapain dari dapur?" tanya Vanya sambil menutup pintu kamar."Dari kamar mandi belakang, sakit perut.""Kirain kamu di kamar. Ayo cepet, sudah ditunggu," ajak Vanya.Alhasil jam setengah sembilan pagi mereka baru mulai jalan. Berharap jalanan menuju kesana tidak macet dan antrian masuk ke Kebun Ray
Vanya mengirim screenshot percakapan grup kepada Charles. Percakapan grup istri-istri polisi yang tengah berencana untuk membentuk arisan di luar arisan yang setiap bulan rutin dilakukan, meskipun Vanya belum pernah sekalipun bergabung.Ikut aja, nanti tiap bulan aku yang transfer uang arisannya."Baik bener suami," bisiknya sambil membalas pesan Charles.Uang arisan sebanyak lima ratus ribu itu lumayan untuk Vanya, walau gajinya masih bisa menutupi tapi rasanya sedikit berat. Tapi kalau Charles sudah bilang bahwa dia yang akan membayarkannya, dengan senang hati diterimanya. Selama ini untuk masalah gaji Charles, Vanya tidak pernah mencampurinya. Ia juga tidak pernah meminta jatah pada Charles karena merasa gajinya lebih dari cukup. Sebagian gaji yang diterimanya, Vanya beri untuk Mama karena ia tahu, gaji pensiunan almarhum ayahnya hanya cukup untuk keperluan setiap bulan saja. Dan itu sudah jadi komitmennya dengan Yuda juga.***Sebelum pulang ke rum
Dengan sigap Charles menarik Vanya sebelum Vanya benar-benar terjatuh dari tempat tidur."Kamu tidur kayak main kungfu aja. Kalau gak cepet aku tarik, pasti sudah jatuh kamu," ucap Charles."Untung cuma mimpi." Vanya mengatur nafasnya. "Mimpi apa?" tanya Charles."Gak mimpi apa-apa kok.""Kalau gak mimpi apa-apa kenapa sampai mau jatuh dari tempat tidur?" Charles tetap ngotot bertanya. Penasaran."Bukan apa-apa," jawabnya sambil berbalik membelakangi Charles. Mencoba untuk tidur lagi, karena jam baru menunjukkan pukul setengah dua belas malam."Atau jangan-jangan kamu mimpiin aku ya," goda Charles sambil mencolek telinga Vanya."Enggak. Pede banget sih kamu," ucap Vanya seraya memuk pelan tangan Charles."Terus mimpi apa? Mimpi hamil ya?" tebak Charles."Enggak, enggak, enggak." Dengan cepat Vanya membantah."Jadiin kenyataan aja mimpi kamu yuk." Perkataan Charles membuat Vanya bergid