Di kantor, Vanya baru saja selesai menghadap pimpinan kantor cabangnya, perihal pengajuan cuti nikahnya. Begitu ia membuka pintu, di depan sudah berdiri Bu Nita.
"Eh, Pagi Bu," sapa Vanya. "Pagi," sahut Bu Nita sambil melirik kertas yang dipegang Vanya di tangan kirinya. "Mau cuti ya." "Iya, Bu," jawab Vanya lagi dengan senyum ditahan lantas berlalu dari hadapan Bu Nita dan menuju ruangan Weni untuk memberikan pengajuan cutinya yang sudah disetujui oleh atasan. "Semoga lancar sampai hari H ya," ucap Weni sambil menerima kertas dari Vanya. "Amin. Makasih ya, Wen. Aku ke atas dulu ya." Vanya beranjak dari ruangan Weni dan menuju lantai tiga. *** Di ruang prioritas, Erin dan Frans datang dan dilayani oleh Reni. Tampak wajah Erin menunjukkan ketidaksukaan pada Reni mengingat cerita yang didengarnya dari Vanya tempo lalu. "Diminum, Om, Tante," ucap Reni saat seorang laki-laki berseragam biru meletakkan dua cangkir teh. "Iya. Makasih," jawab Erin datar. Reni kemudian berbasa basi menanyakan kabar dan menawarkan program terbaru untuk nasabah prioritas. Namun dengan cepat Erin memotong perkataan Reni dan mengutarakan maksud kedatangannya, yang hendak menarik sebagian tabungannya. Bu Nita yang baru datang mendengar ucapan Erin, langsung ikut dan membujuk agar Erin membatalkannya. "Lagi ada keperluan sih, Bu," jawab Erin. "Saya minta formulirnya, biar saya gak bawa uang tunai." "Ren, minta tolong ambilin formulirnya ya." Perintah Bu Nita. Erin menerima formulir yang diberikan Reni tanpa menatap wajah Reni. Sebelum dia tahu bahwa Reni membicarakan hal yang tidak baik tentang Vanya, Erin sebenarnya suka dengan cara Reni melayaninya, sangat baik dan luwes, namun sekarang sudah berubah. "Sini, Tante. Saya bantu transaksikan," ucap Reni yang duduk tak jauh dari Erin. "Saya aja. Biar sekalian langsung pulang." Erin dan Frans kemudian pamit pada Bu Nita dan Reni yang kemudian berpandangan bingung setelah Erin dan Frans meninggalkan ruangan itu. "Tumben Bu Erin ngambil uang tabungannya, biasanya juga selalu nabung. Kenapa, Ren?" "Gak tau juga, Bu. Mungkin buat biaya pernikahan anaknya." "Ah, gak mungkin sampai sebanyak itu biaya pernikahan anaknya. Waktu pernikahan anaknya yang pertama kali malah Bu Erin gak ada ngambil uang tabungannya. Nanti kamu coba kunjungan ke rumah atau kantor dia. Dia nasabah kita yang paling loyal lo. Susah nyari nasabah seperti Bu Erin yang gak banyak maunya," ucap Bu Nita "Iya, Bu," jawab Reni yang kemudian sibuk menatap layar komputernya. Vanya yang baru saja keluar dari ruang atm, melihat mobil Erin keluar dari parkiran. "Itu dia orangnya, Pa. Namanya Reni, yang ngomongin Vanya di kantor. Bilang kalau Vanya matre. Mau nikah sama Charles karena Charles anak orang berada. Gemes Mama jadinya." "Sudah ah, Ma, mungkin dia lagi banyak pikiran jadi sampai ngomongin orang kaya gitu." "Mama sih gak masalah dia mau ngomongin orang, tapi kan ini dia ngomongin Vanya, menantu Mama." "Bakal jadi menantu Papa juga kali, Ma. Menantu kita," koreksi Frans. "Ih, gemes Mama," ucap Erin lagi dengan mata sedikit melotot. Sesampainya di kantor, Frans dan Erin kaget karena melihat Charlos menangis tak henti dalam gendongan Sandra. Dengan tergesa-gesa Erin menghampiri Sandra dan menanyakan apa yang terjadi. Dan ternyata Charlos jatuh. "Kamu sih, main handphone terus!" Erin mengambil Charlos dari gendongan Sandra. "San, kamu ke ruangan Papa aja periksain laporan keuangan,” ucap Frans pada Sandra. Mendengar ucapan Frans barusan, spontan Erin melotot. Tangis Charlos mulai mereda setelah Erin video call dengan Vanya. Perlahan Sandra menghampiri Erin yang baru keluar dari ruangan kecil tempat Charlos tidur. "Ma, Sandra minta maaf ya." Gelayut manja Sandra pada Erin. "Tadi sudah Sandra kasih minyak kayu putih sambil di pijat-pijat kecil juga," "Lain kali diperhatiin Charlos ya, San. Jangan sibuk main handphone aja kamu." "Iya, Mamaku sayang." Sandra mencium pipi Erin. *** Malam ini beberapa keluarganya akan datang ke rumah untuk membicarakan persiapan pernikahan Vanya. Setelah selesai merapikan meja makan, Vanya duduk di kursi belakang sambil menatap langit yang mulai menggelap. Ia sedang menyiapkan hati dan perasaannya untuk menghadapi pertanyaan dan komentar dari om, tante, dan juga beberapa sepupunya mengenai status Charles. "Kenapa?" tanya Yuda yang kemudian duduk di sebelah Vanya sambil membawa setoples rempeyek. "Kira-kira komentar om dan tante apa ya, Bang? Kalau tahu Vanya nikah sama duda anak satu?" "Terserah mereka komentar apa, wong aku sama Mama aja gak masalah. Kan mereka kesini bukan untuk menghakimi pilihan kamu, kita mengundang mereka untuk minta dukungan supaya pernikahan kamu berjalan lancar. Lagian tanpa atau dengan restu mereka pernikahan kamu tetap berjalan, karena kamu sudah dapat restu dari Mama sama Abang. Jadi gak usah galau mikirin apa pendapat om sama tante nanti." Seluruh ucapan Yuda sangat menenangkan hati Vanya. "Makasih ya, Bang. Sudah ngasih restu buat hubungan Vanya. Vanya kira Abang gak akan setuju dengan pilihan Vanya dan bakal tetap ngotot jodohin Vanya sama Wisnu, temen kuliah Abang itu." Vanya ikut memakan rempeyek yang dibawa Yuda "Awalnya sih Abang memang gak setuju, waktu Mama cerita kamu lagi deket sama duda beranak satu. Makanya Abang mau kenalin kamu sama Wisnu. Apalagi waktu Wisnu cerita tentang kalian yang ketemu di cafe trus Charles bilang kalau kamu itu calon istri dia, Abang tambah penasaran sama dia." "Emang rada-rada sih menurut aku Charles itu," gumam Vanya. "Terus kenapa Abang jadi setuju?" "Karena Abang rasa, dia bisa menilai keadaan dan bijak mengambil keputusan." Kening Vanya berkerut mendengar ucapan Yuda, yang kemudian menceritakan kejadian tempo lalu saat ia terjebak dalam operasi patuh lalu lintas. "Oh, jadi sebelumnya Abang sudah pernah ketemu sama Charles?" "Pertemuan tanpa di sengaja sih itu." Nadia lalu datang memberitahukan bahwa beberapa keluarga sudah datang. Mereka kemudian menuju ruang depan menemani Mama menyambut tamu. Setelah basa basi sebentar, mereka menuju ruang makan untuk makan malam sebelum kemudian membicarakan persiapan pernikahan Vanya. Beberapa sepupunya mulai penasaran siapa gerangan calon suami Vanya. "Yang bener, Van? Kok kamu mau sih? Kan yang single masih banyak!" seru beberapa sepupunya. "Ya sudah jodohnya, mau gimana?" Jawab Vanya santai. Seperti pesan Yuda tadi, tak usah memikirkan apa pendapat orang. Begitu selesai acara makan malam, mereka berkumpul di ruang tamu sambil menikmati cemilan dan mulai membicarakan perihal mereka berkumpul pada malam ini. Saat Mama mulai memperkenalkan profil Charles, beberapa tante Vanya buka suara, protes dengan status Charles yang seorang duda beranak satu. "Kan Vanya bukannya merebut suami orang? Dan lagian status calon suaminya jelas, pekerjaan dan keluarganya juga jelas." Adik mendiang Papa langsung bersuara. "Iya sih, tapi masa Vanya sama duda? Setau saya gak ada di keluarga kita yang ...." "Ah, kamu lupa Lia?" Mereka semua terdiam. Sepertinya mereka sudah lupa, kasus Lia, sepupu Vanya, anak dari saudara perempuan Papa yang jadi orang ketiga di rumah tangga orang lain, yang sekarang jadi suaminya. "Sudah. Cukup," ucap Mama menenangkan suasana yang mulai memanas. "Kita ngumpul di sini bukan untuk adu argumen. Bukan untuk mengungkit cerita lama dari keluarga kita. Kita ngumpul di sini untuk saling support supaya acara pernikahan anak kita berjalan lancar." suara Mama mulai meninggi. Yang lain terdiam. "Ayo, Kak, dilanjut saja." Mama menarik nafas, dan mulai menjelaskan apa yang telah disepakati dengan keluarga Charles kemarin. Tidak ada bantahan lagi, setelah Mama menjelaskan semua. "Iya, Kak," sahut yang lain. Sekitar jam setengah sepuluh, satu per satu keluarga mulai pamit pulang. Tinggallah Adik kandung Papa, Om Hendro. "Vanya," panggilnya. Vanya mendekat dan duduk di sampingnya. "Iya Om." "Sudah mantapkan?" tanya Om Hendro. Vanya tersenyum dan mengangguk. Semenjak Papa meninggal, cuma Om Hendro yang intens menanyakan kabar keluarga Vanya. Tak jarang Om Hendro juga mengajak untuk makan siang bersama di luar. Sehingga Vanya tak merasa kehilangan sosok papa. "Makasih ya Om, sudah selalu ada buat Vanya."Pagi ini Vanya dan Charles dengan membawa Charlos, mereka pergi nyekar ke makam Kirana. Ini adalah kali pertama bagi Charlos pergi bersama Vanya dan papanya, dan juga kali pertama buat Charlos ke makam ibunya. Dengan mengenakan kaos biru dan celana jeans hitam, Charlos tampak serasi dengan Vanya dan juga Charles yang sama-sama mengenakan baju berwarna biru. Walau ini hanya kebetulan. "Ayuk kita turun. Charlos Tante gendong ya." Vanya keluar dari mobil yang pintunya telah di bukakan oleh Charles terlebih dulu. Cuaca sangat cerah saat ini. Sinar matahari mengintip dari balik daun-daun di pohon yang berbaris di sepanjang jalan makam. Charles langsung meletakkan seikat bunga di atas makam Kirana. Seperti biasa, ia berjongkok dan mengelus-elus nisan Kirana. "Charlos, ini makam ibunya Charlos ya. Sekarang ibunya Charlos sudah ada di surga. Walau Charlos gak pernah ketemu, tapi ibunya Charlos itu sayang banget sama Charlos." Vanya setengah berbisik di telinga Charlos. Vanya kemudian me
Sabtu yang bertepatan dengan akhir bulan, seperti biasa, Vanya pasti lembur di kantor. Sebenarnya, kalau pagi ini Vanya gak ada kegiatan di kantor, Charles ingin mengajaknya mencarinya cincin pernikahan. Selesai membalas pesan dari Charles, Vanya kemudian asyik dengan komputer, tangannya lincah memainkan mouse berwarna hitam, mencari lalu membaca beberapa artikel parenting sebagai tambahan ilmu untuk diterapkannya saat mengasuh Charlos nanti. Walau pasti nantinya, Erin akan tetap lebih dominan dalam mengasuh Charlos. Tapi paling sedikit banyak ia sudah memiliki ilmu parenting. "Mbak, ini ada yang nungguin di pos satpam. Tinggi gagah, Mbak," ucap pak satpam saat Vanya mengangkat gagang telepon. "Siapa ya? Wisnu?" Gumam Vanya. Di ujung telpon terdengar pak satpam menanyakan pada orang tersebut. Sayup-sayup Vanya mendengar orang tersebut menyebutkan namanya dengan nada sedikit keras. Buru-buru Vanya menutup telpon, mematikan komputernya, dan pamit pulang duluan dengan Pak Irwan. "A
Di kantor, Vanya baru saja selesai menghadap pimpinan kantor cabangnya, perihal pengajuan cuti nikahnya. Begitu ia membuka pintu, di depan sudah berdiri Bu Nita."Eh, Pagi Bu," sapa Vanya."Pagi," sahut Bu Nita sambil melirik kertas yang dipegang Vanya di tangan kirinya. "Mau cuti ya.""Iya, Bu," jawab Vanya lagi dengan senyum ditahan lantas berlalu dari hadapan Bu Nita dan menuju ruangan Weni untuk memberikan pengajuan cutinya yang sudah disetujui oleh atasan."Semoga lancar sampai hari H ya," ucap Weni sambil menerima kertas dari Vanya."Amin. Makasih ya, Wen. Aku ke atas dulu ya." Vanya beranjak dari ruangan Weni dan menuju lantai tiga.***Di ruang prioritas, Erin dan Frans datang dan dilayani oleh Reni. Tampak wajah Erin menunjukkan ketidaksukaan pada Reni mengingat cerita yang didengarnya dari Vanya tempo lalu."Diminum, Om, Tante," ucap Reni saat seorang laki-laki berseragam biru meletakkan dua cangkir teh."Iya. Makasih," jawab Erin datar.
Mama masuk ke kamar Vanya dan melihat anak gadisnya itu meringkuk di dalam selimut. Ia lantas berjalan mendekat dan mengecek keadaan Vanya karena waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi."Kamu demam, Sayang?" Mama meletakkan telapak tangannya di kening Vanya.Vanya mengangguk pelan sambil memijat pelan keningnya.Satu jam kemudian Mama kembali mengecek keadaan Vanya, tapi masih sama. Anak gadisnya itu masih demam. Membiarkan pintu kamar Vanya tetap terbuka, ia kemudian membawa semangkuk bubur. Meraih handphonenya, Mama menghubungi Erin untuk memberitahu bahwa Vanya sedang sakit. Tak tinggal diam, begitu selesai menerima telepon, Erin mengajak Sandra juga Charlos menuju rumah Vanya. "Habiskan buburnya dong, Van!" seru Mama saat melihat semangkuk bubur yang dibawanya tadi masih bersisa setengah."Pahit, Ma. Gak enak.""Biasanya kalau Mama masak bubur, kamu pasti minta tambah." Mama menyuapkan bubur itu dengan paksa. "Sudah mau berumah tangga, mau ngurus anak juga, makan aja masih
Hari ini Vanya mengajukan ijin satu hari untuk mengurus syarat-syarat dan kelengkapan berkas pernikahannya. Setelah mendapatkan surat kesehatan, mereka lanjut ke studio foto. Iseng sang fotografer menanyakan soal foto prewedding yang ditanggapi dingin oleh Charles. Melihat sikap Charles, gadis itu hanya bisa menghela nafas pelan, walau sebenarnya ia sangat ingin memiliki foto prewedding seperti orang kebanyakan. Namun keinginannya itu ia simpan sendiri saja karena tidak ingin menimbulkan harapan palsu.Akhirnya semua berkas-berkas yang diperlukan untuk dokumen kantor Charles sudah selesai."Mama, ke belakang sebentar ya," pamit Mama meninggalkan mereka berdua di ruang tamu. Rasa ingin tahu membawa Vanya melihat beberapa video nikah kantor di dunia maya."Emang kaya gini ya?" Vanya menunjukkan layar handphonenya pada Charles."Kurang lebih kaya gitu."Vanya kemudian terlihat serius menonton video itu sampai selesai. Ia mulai mempersiapkan jawaban yang mungkin akan ditanyakan nanti."Ka
Vanya akhirnya berkata jujur saat Reni terus bertanya mengenai hubungan dengan Charles. Tidak mungkin ia terus menutupi hal ini karena lambat laun Reni juga pasti tahu. Raut wajahnya langsung berubah mendengar jawab Vanya. Sepanjang penerbangan mereka juga tidak saling bicara hingga tiba di hotel tempat mereka menginap. Entah siapa yang sudah mengatur, Vanya malah satu kamar dengan Reni. Meletakkan kopernya di dekat kasur, Vanya lantas masuk ke dalam kamar mandi setelah Reni keluar.“Aku mau keluar, kamu mau nitip makan?” tanya Reni pada Vanya yang masih berada di kamar mandi."Nggak, Ren," jawab Vanya keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan wajahnya.Vanya kemudian mengecek handphonenya yang sedari tadi masih dalam mode pesawat. Terlihat di layar handphonenya banyak pesan dan panggilan tak terjawab dari Charles. Gadis itu hanya bisa menghela nafas membaca satu per satu pesan yang Charles kirimkan. "Ya ampun!" seru Charles di ujung telepon begitu ia berhasil menghubungi Vanya. "