Share

Dari Pegawai Jadi Mempelai
Dari Pegawai Jadi Mempelai
Author: Selene21

Bab 1

“PERGI KAMU DARI SINI!”

Elia terbeliak mendengar bentakan saudara tirinya. “Apa katamu?” tanya Elia tak percaya. “Pergi?” Posisi Elia yang sedang duduk, membuatnya terpaksa mendongak menatap wajah sinis di hadapannya.

“Ya, pergi dari sini!” ulang wanita yang usianya terpaut beberapa tahun di atas Elia itu.

“Hahaha … sepertinya kamu lupa siapa pemilik rumah ini.” Elia tersenyum miring melihat kekonyolan saudarinya, Yulia.

“Kemarin, rumah ini masih milikmu, tapi sekarang ….”

Dengan penuh percaya diri, Yulia mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas kerjanya dan melambaikannya di udara, tepat di depan wajah Elia. “Tidak lagi, Nona!” tandas Yulia seraya melepas kertas di tangannya di atas kepala Elia. “Baca itu baik-baik.”

Tanpa melepas pandangannya dari wajah sombong Yulia, Elia meraih kertas yang jatuh di sampingnya. Dibacanya deret kalimat yang tertera dengan cermat, seperti permintaan Yulia. Perlahan, kepalanya menggeleng dan bibirnya menggumam, seiring seulas senyum kemenangan yang terbit di bibir Yulia.

“Apa-apaan ini?!” protes Elia marah. “Jangan kau pikir bisa membodohiku, Yul! Apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat ayah, hah?!”

“Aku hanya membawakannya lebih cepat satu hari untukmu, Adikku. Supaya kau bisa berkemas dan pergi dari sini, malam ini!” ucap Yulia seraya merundukkan wajah sinisnya sejajar dengan wajah Elia yang duduk di sofa.

“Dengan surat ini, aku bisa mengusirmu dari rumah kalau kau tetap menolak untuk angkat kaki,” bisik Yulia.

Bug.

Elia mendorong bahu Yulia menjauh dari hadapannya. “Aku tidak akan pergi dari sini. Ini rumah keluargaku!” tegas Elia marah. “Aku akan cari tahu apa yang sudah kau lakukan dengan surat wasiat itu. Lihat saja.” Elia bangkit dari sofa, menatap Yulia dan ibunya—yang sejak tadi hanya duduk diam—bergantian. “Sampai mati pun, aku tidak akan pergi dari rumah ini!”

Elia melangkah lebar menuju tangga yang mengantarnya ke depan pintu kamar. Dibantingnya pintu besar itu sekuat tenaga hingga berdebum keras. Tak kalah kerasnya, Elia membanting tubuhnya di ranjang.

“Yah, mereka sudah terang-terangan menindasku. Bantu El, Yah.” Elia memejamkan matanya yang mendadak panas. Desahan panjang dan dalam lolos dari bibir cantiknya bersamaan dua bulir bening dari kedua sudut matanya.

Baru genap tujuh hari meninggalnya Surya—ayah kandung Elia—, belum reda kesedihan karena kehilangan sosok cinta pertamanya, Elia dihadapkan pada kesedihan lain yang ditimbulkan oleh saudara dan ibu tirinya.

“Kau harus kuat, El! Hanya tersisa kau sendiri sekarang, jangan lemah!” ucap Elia menyemangati diri.

Hening sejenak, sebelum tiba-tiba Elia duduk di tepi ranjang dengan dahi berkerut. Gadis cantik berlesung pipi itu mencoba mengingat sesuatu yang sepertinya terlepas dari pengamatannya.

“Tunggu … sebelum ayah dinyatakan meninggal, bukannya Tante Rossa bilang ayah sempat pingsan di rumah?” Elia bergumam.

Sejurus kemudian, Elia sudah melesat keluar dari kamarnya menuju halaman belakang. Sepi. Sosok yang dicarinya tidak berada di sana.

“Pak Ujang!” panggil Elia dengan pandangan berkeliling.

Tidak ada jawaban.

“Pak Ujang!”

“Ya, Neng.” Seorang wanita usia pertengahan abad, berlari kecil menghampiri Elia. “Nyariin pak Ujang, ya?”

“Bik, mana Pak Ujang?” tanya Elia antusias.

“Lho, ‘kan disuruh Neng Yulia pulang kampung, Neng?” bingung Minah.

“Pulang kampung? Kapan? Ngapain?” cecar Elia mulai kesal.

Dengan tatapan bingung, Minah berkata, “Bapak yang minta pak Ujang pulang kampung untuk mengerjakan sesuatu. Kebetulan, kemarin Neng Yulia ingat—.”

“Bik, Elia mau tanya,” potong Elia cepat. “Apa Bik Minah tahu kenapa ayah bisa serangan jantung?” tanya Elia tanpa basa-basi.

Mendengar pertanyaan Elia, sontak Minah celingukan melihat sekeliling. “Neng, kita bicara di tempat lain saja. Takut ada yang dengar.”

Makin curigalah Elia.

Minah menarik tangan Elia agar mengikutinya menuju kamar cucian. Merasa belum cukup aman, Minah menutup pintu kamar dan melepaskan pengikat gorden.

“Ada apa, sih? Memang perlu sampai begini, ya?” Elia semakin bingung melihat tingkah Minah.

“Shh, bibik hanya takut kalau ada yang mendengar pembicaraan kita.”

Tingkah Minah membuat Elia teringat pada salah satu judul film komedi yang sering ditontonnya bersama Surya sejak ia kecil hingga dewasa, tentang tiga sahabat kocak yang tidak pernah lepas dari petualangan bersama wanita cantik dan seksi.

“Apaan, sih?! Jadi mirip Kasino.”

“Ehh, serius ini, Neng. Kalau sampai Neng Yulia atau ibu sampai dengar, bisa gawat.” Minah masih terus bersikap misterius yang terlihat semakin konyol di mata Elia.

“Oke.” Elia memegang kedua bahu Minah agar wanita itu menjadi tenang. “Sekarang, katakan apa yang terjadi hari itu.”

Minah mendekatkan wajahnya pada Elia dan berbisik, “Bapak pingsan setelah bertengkar dengan Neng Yulia.”

Elia terbeliak kaget. Pasalnya, baik Yulia atau Rossa tidak ada yang memberitahunya kejadian yang sebenarnya. Tentu saja mereka bungkam, karena ternyata kematian Surya berhubungan dengan mereka.

Ketika mendengar kabar dari Rossa bahwa ayahnya masuk rumah sakit, Elia mengira pasti telah terjadi sesuatu di rumah. Pasalnya, pagi hari sebelum Elia pergi ke kampus, Surya masih sempat bermain tenis dengan teman-temannya dan kondisinya masih prima seperti biasanya.

“Apa Bik Minah melihat atau mendengar mereka bertengkar tentang apa?” tanya Elia penasaran.

“Kalau yang pertama di ruang tamu, bibik ndak dengar, Neng. Bibik masih sibuk nyuci. Suara mesinnya berisik. Tapi, kalau yang kedua, bibik dengar sedikit.” Minah makin merendahkan suaranya.

Merasa tidak sabar, Elia melebarkan matanya. “Bisa gak, ngomong langsung? Yang lengkap, gitu. Jangan bikin penasaran gini!” kesalnya.

Minah berjingkat kaget karena teguran Elia yang dikenalnya sebagai gadis pendiam dan kalem. Ia tertunduk, merasa bersalah.

“Maafkan bibik, Neng.”

“Oke, sekarang Bik Minah bilang ke Elia yang terjadi hari itu. Lengkap dan tidak berbelit-belit.”

Minah mengangguk cepat menyadari emosi nona mudanya mulai merayap naik.

“Di ruang kerja, bapak marah lagi karena Neng Yulia tidak pulang semalaman. Pulang-pulang malah teler. Jadinya bapak marah.”

Elia menghela napas perlahan menahan amarahnya.

“Neng Yulia sempat teriak-teriak sampai bibik dengar ada suara barang pecah dari ruang kerja bapak.”

“Teriak apa, Bik?” desak Elia.

Jeglek.

“Ngapain kalian sembunyi di sini?!” Yulia berdiri di ambang pintu dengan wajah menyelidik.

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status