"Yang lebih kejam ia menjadikan mantan istrinya itu tahanan kerangkeng, dimanfaatkan tenaganya bisa jadi juga dijual ke luar negeri."Delia bicara dengan mulut penuh lalu meneguk air dalam botol."Kamu tahu dari mana, Nak?" tanyaku."Tentu saja aku tahu karena sudah bertahun-tahun hidup dalam penjara lelaki itu, dan selanjutnya akulah yang akan dinikahinya secara kontrak."Mendengar cerita Delia ingin sekali aku meb*nuh pria bernama Bram itu dengan tanganku sendiri, aku tak akan mengampuninya jika ia benar telah memperlakukan putriku seperti binatang."Ya sudah kita ke villa itu, apa kamu tahu tempatnya?""Aku tahu, kebetulan dua kali aku dibawa ke sana."Syukurlah semoga putriku ada di sana."Sebaiknya kita ke sana sore hari, Tante, aku takut ada anak buah Bram melihat kita, kebayang kalau ditangkap lagi," ujar Delia."Ya sudah sambil menunggu sore kita tidur dulu di sini ya, badan Tante lemes banget."Kami pun tertidur entah berapa jam, terbangun karena Delia menepuk-nepuk pipiku."
Aku melirik Delia yang kini wajahnya terlihat pucat, sebagai seorang ibu tentu aku begitu iba melihatnya, terlebih ia memerlukan obat-obatan untuk mengobati luka di v*gin*nya."Delia, apa kamu baik-baik aja?"Gadis itu hanya mengangguk tanpa suara."Kita harus lihat ke dalam, Tante, siapa tahu suara wanita barusan itu anak Tante," ucapnya, wajah gadis itu terlihat sangat letih.Aku terdiam sejenak, bagaimana caranya masuk ke dalam sana sedangkan di depan sana kulihat ada satu orang penjaga."Kamu kesakitan, Delia, lebih baik kembali ke hutan tunggu Tante di sana ya."Ia kembali menggelengkan kepala lagi, sungguh aku tak tega mengajaknya dalam kesulitan."Aku baik-baik aja, Tante, di dalam siapa tahu ada obat anti nyeri dan antibiotik, sementara Tante bisa cari anak Tante.""Tapi kalau ga kuat bilang ya, Tante khawatir."Ia mengangguk lalu kami berjalan mengendap-endap menuju depan villa yang lumayan besar ini.Di depan sana ada satu orang yang sedang berjaga sedang memainkan ponsel, k
Tak kuasa lalu tatapan ini beredar ke sekeliling ruangan, hanya ada kasur lusuh dan lemari usang, bahkan tempat ini mirip-mirip seperti gudang "Apa di luar tidak ada penjaga?" tanya perempuan itu.Aku terkesiap mendengar pertanyaannya, lalu menghampiri."Dia sudah mati, ayo keluar," bisikku."Tapi ... aku takut." "Tidak usah takut, aku akan melindungimu, saat ini Bram pasti sedang sibuk mengurus tawanan lainnya yang ada di kerangkeng.""Sayangi hidupmu lalu kita pergi dari sini."Perempuan itu mengangguk ketakutan lalu melirik anaknya."Nak, kita pergi sekarang ya, kamu mau makan 'kan?" Suara perempuan itu terdengar bergetar."Mau, Bu, ayo aku sudah sangat lapar."Aku membantunya untuk bangun.Namun, saat sudah bersiap ingin pergi tiba-tiba aku mendengar suara teriakkan seorang perempuan di luar sana."Ajo! Ajo! Kemana kamu hah?! Kenapa pintu dibiarkan terbuka!"Celaka, itu suara Erina."Dia masuk ke sini, sepertinya kita harus sembunyi dulu sebelum perempuan itu pergi," bisik Delia
Aku bingung harus melakukan apa sekarang, tiba-tiba saja Delia merampas tongkat yang kupunya lalu membuka pintu yang terkunci dari dalam ini.Lalu Bukk!Ia memukul kepala Erina dengan keras hingga tersungkur ke lantai, Erina sempat membuka mata dan melihat keberadaan kami. Namun, lagi-lagi Delia memukul kepalanya hingga ia tak sadarkan diri."Ayo keluar!" titah Delia.Kami semua keluar dari tempat itu dengan perlahan karena takut ada penjaga di luar."Tunggu dulu,Tante." Delia berlari ke arah kiri.Ternyata ia mengambil dua buah senapan panjang, satu ia pegang satunya lagi diberikan padaku."Ini untuk senjata, Tante tahu caranya?""Begini nih caranya." Ia mengajarkan cara menembak menggunakan senapan ini, dua kali diberi contoh aku langsung mengerti."Bu, kita akan ke mana?" tanya anak lelaki yang entah berusia berapa itu.Jika ia memanggil putriku dengan sebutan ibu otomatis ia cucuku, melihat tubuh anak itu hatiku teriris nyeri seketika.Badannya Kumal dengan baju tak layak pakai,
"Kita lihat dulu mau apa mereka," bisik Delia.Saat ini dadaku berdegup kencang, putriku juga bersembunyi dibalik tubuh ini"Itu anak buah Bram!" teriak putriku sambil mengguncang tubuh Delia."Kamu yakin?""Ya."Lelaki tadi terlihat turun dari tangga helikopter yang masih terbang di atas sana."Ayo tembak, Tante!"Aku dan Delia menembak bersaman, dan kali ini tembakanku tak meleset sama sekali, tepat di tenggorokan lelaki itu.Kedua lelaki tadi terlempar ke tanah lalu terkapar tak sadarkan diri. Namun, ancaman sepertinya belum usai Karen dari atas helikopter itu masih ada beberapa orang anak buah Bram.Dari atas mereka mulai menembaki kami, kali ini rasa takutku seakan menghilang, sekarang ada putriku dan kedua anaknya mereka butuh perlindunganku.Bagaikan superhero aku terus membidik melawan serangan mereka, sementara Delia dan kedua anaknya kusuruh untuk bersembunyi dibalik batu besar."Aww!" Aku melirik Delia, tangan gadis itu berdarah."Sial*n!" teriak DeliaDengan penuh kebera
"Apa? Kamu menyebut nama ayahku hahahaha." Putriku tertawa sambil menengadah.Entah kenapa tiba-tiba menyelusup rasa khawatir tentang kejiwaannya, terlebih ia membenci kedua anaknya karena berasal dari benih Bram.Oh Tuhan, jangan biarkan putriku menjadi gila, ia harus hidup menjadi perempuan baik seperti yang aku harapkan."Ya, aku tahu dia di mana sekarang, Delia, tapi lepaskan aku dulu." Erina bicara sambil merintih."Aku tidak peduli sama sekali, baik pada ayahku atau ibuku, yang Kumai adalah kebebasan, aku ingin hidup bebas dan seorang diri, kamu mengerti!" tegas Delia Jelas saja tenggorokan ini tercekat mendengarnya, mental anakku tidak sedang baik-baik saja."Hei kamu, cepat ikat lagi mulutnya aku muak mendengar omong kosong yang keluar dari bibir busuknya," putriku memerintah pada Delia.Gadis itu menuruti titah putriku, ia kembali mengikatkan kain sehingga ke mulut Erina."Kau benar, Mbak, kita sebaiknya tak usah mendengar omong kosongnya, nasibmu dan nasibku sama, sama-sama
"Heuh! Bikin susah aja, lihat nanti aku akan membuangmu ke panti asuhan," cerocosnya sambil meraih bayi dalam gendonganku dan ia mulai menyusuinya.Syukurlah ternyata ia masih memiliki hati nurani terhadapnya anak kecil, kini hanya gadis itu yang masih memainkan kesakitan Erina."Nek, Tante itu kasihan," sahut Frans yang sejak tadi berlindung dibalik tubuhku."Iya, Nak, kamu tidur ya nih pakai bantal ini." Aku meraih tas Delia untuk alas tidur Frans."Lihat ini, Mbak, kita punya banyak senjata." Delia membawa beberapa pistol milik anak buah Bram dan mengumpulkannya di hadapanku."Bagus, itu bisa jadi senjata untuk besok perjalanan pulang," sahut putriku."Sekarang ajarkan aku cara menggunakan benda ini ya," pinta putriku lagi.Di ujung sana Erina masih merintih dengan tubuh tak berbusana dan luka di sekujur tubuhnya, aku mendekat menghampirinya lalu membuka ikatan di mulutnya "Erina, katakan apa yang kamu tahu tentang Ilyas?" tanyaku dengan suara pelan.Bukan menjawab wanita itu mala
Kali ini suara tembakan tak terdengar lagi, malah suara teriakkan perempuan yang terdengar dan itu pun sepertinya suara putriku dan Delia."Frans tunggu di sini ya, Nenek mau lihat ke luar dulu."Sambil menggendong bayi aku keluar dari gua dengan hati-hati karena di samping gua ini ada sebuah jurang yang begitu dalam.Mataku membelalak kala melihat para lelaki terkapar di tanah berlumuran darah, tatapanku kini beralih pada Delia dan putriku dan ternyata ada yang membantu mereka.Ya orang itu Meri, gadis yang kutemui di kerangkeng Bram, entah bagaimana ceritanya hingga ia bisa sampai kemari?"Meri!" teriak Delia.Saat akan melangkah aku dikejutkan oleh sosok tubuh Ali yang tergeletak di tanah, sedangkan tubuh Erina masih berada di dekat putriku."Dia belum mati kok, Bu," ucap putriku yang kini berada di belakang punggung.Entah bagaimana ceritanya ketiga wanita ini bisa menang melawan anak buah Bram yang lumayan banyak, dan juga bisa melumpuhkan pria bernama Ali ini."Ayo seret dia ke