Pintu digedor berulang kali. Teriakan memanggil nama Bu Susi menggema. Tak bisakah lebih sopan? Ini sudah malam, menganggu orang lain saja. Namun sebuah logika bertanya, tak mungkin mereka bertindak seperti itu tanpa alasan yang jelas. "Ada apa ini, Pak?" tanya Mas Ridho seraya melangkah mendekat. Aku mengikuti lalu berdiri tepat di belakang Mas Ridho. Sambil bersandar di pagar aku menatap sekitar. Lima orang lelaki berdiri sambil memanggil nama Bu Susi. Semuanya adalah bapak-bapak komplek. "Bu Susi keluar! Kamu harus bertanggung jawab," ujar Pak Rudi sambil mengetuk pintu keras. "Ada apa, Pak?" tanya Mas Ridho lagi. "Bu Susi memberikan oleh-oleh peyek udang dan undur-undur. Setelah kami makan jadi muntah-muntah. Makanan itu pasti sudah tak layak di konsumsi.""Tapi jangan malam-malam begini, Pak. Mengganggu warga yang lain. Lebih diselesaikan besok pagi saja," ucap Mas Ridho. Namun rasa marah membuat masukan Mas Ridho tak dianggap. "Aku bakar rumah kamu, Bu Susi!" teriak Pak Ru
"Ada apa sih, Bun?" tanya Mas Ridho ketika pintu kukunci rapat. "Ayo masuk, Yah!" Aku tarik tangannya masuk ke kamar. "Ada apa sih, Bun?""Jangan buka pintu kalau ada yang ketuk, Yah?""Kenapa?"Aku menghela napas, apa dia tak mendengar teriakan algojo itu. Tandanya akan ada demit yang datang kemari. "Ada setan duit. Pokoknya jangan pernah dibuka. Mengerti!" Mas Ridho mengangguk meski terlihat tak begitu mengerti maksudku. "Ganti baju dulu, Yah. Habis itu kita makan.""Siap, Bos!" Mas Ridho segera melepas koko lalu menggantinya dengan kaos berwarna biru. Aku menatap piring di atas meja. Tumis brokoli masih berada di wajan karena iklan yang tiba-tiba datang. Kuharap makan siang kami tak terganggu dengan ketukan pintu. Tok! Tok! Menghembuskan napas kasar, baru aku pikirkan tapi pengganggu itu sudah datang kemari. "Bun, ada yang ketuk pintu itu," ucap Mas Ridho lalu menjatuhkan bobot di kursi makan. Ruang keluarga dan ruang makan tidak memiliki dinding pembatas. Hanya rak buku
Nada dering ponsel menyita perhatianku. Aku ambil benda pipih yang tergeletak di atas meja. Sebuah panggilan dari nomor tak dikenal. "Dengan Ibu Salma?" tanya seorang wanita dari seberang. "Iya, saya sendiri.""Hasil laboratorium tes makanan ibu sudah keluar. Bisa diambil sekarang, Bu.""Terima kasih, nanti saya ke sana, Mbak.""Siapa, Bun?" tanya Mas Ridho yang sedari tadi memperhatikanku. "Hasil tes makanan sudah keluar, Yah. Disuruh ambil.""Habis dzuhur kita ambil, Bun. Sekalian beli perabot untuk restoran."Tepat pukul satu kami berangkat dari rumah. Mobil berjalan perlahan meninggalkan halaman. Sempat kulirik rumah tetangga sebelah. Pintu rumah tertutup rapat. Semenjak kejadian itu Bu Susi bak hilang ditelan tumi. Dia memilih berada di dalam rumah, begitu pun Tyo. Komplek terasa damai tanpa ucapan Bu Susi yang tidak berfaedah. Tepat pukul dua kami sampai di laboratorium. Segera aku keluar lalu mengambil hasilnya. Aku sangat penasaran dengan hasil yang tertera di kertas ini.
"Ma-maafkan saya bapak-bapak, saya benar-benar tidak sengaja. Saya tidak tahu kalau banyak itu sudah tidak layak untuk dimakan," ucap Bu Susi ketakutan. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Dia sangat ketakutan. "Halah,alasan saja. Pokoknya Bu Susi harus tanggung jawab, saya minta ganti rugi." Bu Susi memegangi kepalanya. "Maaf saya tidak punya uang bapak-bapak. Saya akan menggantinya tapi nanti jika saya memiliki uang." "Tidak bisa begitu dong, Bu. Katanya kaya tapi uang ganti rugi tidak mau ganti. Kaya apanya begitu?"Bagaimana mau membayar jika kemarin dua lelaki bertubuh kekar menagih hutang kemari. Salah sendiri hidup dengan topeng. Topengnya hilang, bingung sendiri, kan. Beberapa lelaki terus saja mendesak Bu Susi. Hingga satu persatu penonton meninggalkan halaman rumahnya. "Ayo pulang, Yah."Kami kembali melangkah menuju rumah. Biarlah mereka mengurusi sendiri. Lebih baik melanjutkan makan siang yang sempat tertunda. "Bu Susi pingsan!" teriak seseorang saat kami berada
Aku tajamkan indera pendengaran. Namun lelaki itu tak lagi mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya langkah kaki yang terdengar menjauh. Aku tak tahu karena tirai menghalangi pandanganku. Namun aku yakin suara itu benar-benar dia, lelaki yang pergi dan menghilang. "Lihat apa, Bun?" Aku tersentak kemudian menolah ke kanan, tepat menghadap Mas Ridho. "Gak apa-apa, Yah. Bosan, pengen pulang."Aku terpaksa berbohong, bukan untuk menutupi. Hanya ingin kenangan pahit terkubur dalam tanpa seorang pun yang tahu, termasuk suamiku. "Sudah bisa jalan?" Mas Ridho membantuku bangun dari brankar. "Bisa tapi pelan-pelan, Yah."Mas Ridho mengangguk, dengan hati-hati ia membantuku berjalan. Aku menatap sekeliling, mencari sosok lelaki pemilik suara itu. Namun hingga sampai di mobil lelaki itu tak kutemukan. Ah, mungkin aku hanya salah orang. Tak mungkin dia berada di sini. Bukankah ia ada di pulau seberang? "Bunda mikirin apa, sih? Dari tadi nengok sana nengok sini. Bunda cari apa?" "Bukan apa-apa,
Beberapa saat kami berbincang hingga Gio, putra Bu Aini datang meminta uang. Dengan berat hari wanita itu meninggalkan rumahku. Aku duduk di teras sambil menulis cerita di aplikasi online. Sudah dua hari aku tak menulis karena kondisi tubuh yang tidak memungkinkan. Bahkan beberapa pembaca mengirim pesan agar segera melanjutkan cerita yang berhenti di saat-saat menegangkan. Tangan menari di keyboard dengan bayangan kejadian menari di kepala. Menulis seperti menonton sebuah kejadian lalu dituangkan dalam sebuah tulisan. Sebuah mobil berhenti mengalihkan fokusku. Aku menoleh ke arah sumber suara. Namun terhalang oleh tembok pembatas rumah kami. Kembali aku menatap layar laptop merangkai kata agar enak dibaca. Menulis bukan sekedar merangkai kata. Namun menuangkan rasa dalam kata. Tak lama mobil itu pergi dari depan rumah Bu Susi. Kali ini aku tak menoleh ke arah sumber suara. Lelah dan bosan mulai menyapa, belum lagi kesehatan yang belum sepenuhnya kembali. Aku beranjak, melangkah
"Papa!" teriak Bu Susi sambil melangkah mendekat. "Jangan teriak-teriak, Ma. Pusing Papa dengernya.""Apa? Pusing? Kamu tidak salah bicara, kan?" Bu Susi menatap tajam lelaki di sampingnya. Tatapan yang membuatku menggelengkan kepala berkali-kali. Semarah-marahnya aku dengan Mas Ridho tak sekali pun aku membentaknya. Apa lagi bertengkar di depan umum. Itu sangat memalukan. "Bu Susi dan Pak Adit tolong selesaikan masalah kalian cr di rumah. Maaf, saya masih ada perlu."Aku memutar badan. Enggan meladeni pasangan yang tak memiliki urat malu. Apa mereka tak melihat beberapa pasang mata sudah mengawasi tempat ini? Mereka mencari bahan untuk menggosip. Seperti yang Bu Susi biasa lakukan terhadapku. "Berhenti!""Susi hentikan! Jangan memperkeruh suasana. Aku kemari hanya untuk berterima kasih karena meminta air panas beberapa hari lalu." Seketika kuputar tubuh 180 derajat. Mas Adit menarik tangan Bu Susi agar berhenti melangkah. Namun usahanya sia-sia, wanita itu menepis tangan suaminy
"Bu Salma jadi pelayan di sini?" tanya Bu Aini dengan raut kebingungan. Berbeda dengan Trio wek-wek yang menatap sinis. "Iya, Bu. Silakan duduk," ucapku ramah. Sekuat tenaga kutahan emosi yang hampir meledak. Sekali-kali mengalah tak masalah, kan? Aku tak ingin citra restoran ini buruk karena ulah Bu Susi dan kawan-kawannya. Mereka tak akan percaya jika aku pemilik restoran ini. Bu Aini dan ketiga wanita bar-bar itu duduk di kursi. Mereka terlihat bingung mau memilih menu apa. Daftar menu makanan berulang kali di balik. Namun belum ada satu menu yang mereka pesan. "Mau pesan apa ibu-ibu?" tanyaku karena sudah mematung beberapa menit di sini. "Sabar dong Bu Salma. Ingat, ya, pembeli adalah raja. Kami di sini raja, sedang kamu hanya pelayan. Jadi jangan banyak protes atau kulaporkan kepada pemilik restoran ini agar Bu Salma dipecat!" ucap Bu Tini jumawa. Aku kepalkan tangan di samping, manahan emosi hampir meledak. Aku ingin lihat bagaimana reaksi mereka jika tahu akulah pemilik r