Wajah Lili terlihat pucat dan penuh kegelisahan. Tangannya meremas ujung bajunya sendiri, matanya menerawang jauh ke depan, saran Devi yang baru saja terucap membuat Lili takut."Li, kamu harus jujur pada Zian. Dia suamimu. Kamu tidak bisa terus-terusan hidup dalam kebohongan seperti ini," saran Devi lagi dengan suara pelan namun tegas.Lili menggeleng pelan. "Aku tidak bisa, Vi. Aku... aku takut." ucap lili"Takut? Kenapa takut?" Devi memiringkan kepala, menatap tajam sahabatnya. "Kamu takut Zian bakal ceraiin kamu, kan?" tanya Devi bisa menebak pikiran sang sahabat, karena selama Lili hidup, pria yang dicintainya hanya Zian.Lili hanya diam, lalu menganggukkan kepala pelan. Air matanya mulai menggenang di sudut mata."Kamu tahu, Li, ini semua adalah konsekuensi dari apa yang udah kamu perbuat.""Aku tahu," suara Lili nyaris seperti bisikan, dipenuhi penyesalan. "Aku tahu aku salah. Tapi aku juga tahu satu hal, Vi. Aku tidak bisa hidup tanpa Zian. Dia cinta pertamaku. Satu-satunya l
"Maafkan apa yang Mama katakan padamu, sayang." Zian menghampiri Lili yang sudah masuk ke dalam kamar setelah sang mama pulang. Suaranya lembut, penuh rasa bersalah. Ia duduk di tepi ranjang, menatap istrinya yang terlihat murung.Lili yang begitu sedih karena perkataan Mama mertuanya yang tidak pernah berubah padanya, kini menatap Zian dengan mata yang masih basah, namun bibirnya mencoba membentuk senyum lalu Ia mengangguk pelan. "Aku tahu Mama memang belum bisa menerimamu sepenuhnya. Tapi... aku yakin suatu saat Mama akan berubah. Kamu yang sabar ya." Kata Zian."Iya, sayang." ucap Lili."Terima kasih sayang," Zian yang sudah duduk di pinggiran tempat tidur tepat di samping Lili, kini memeluknya dari samping. "Dan aku akan selalu berada di samping kamu selamanya." lanjut Zian lagi.Lili mengangguk sekali lagi, lalu bersandar pada bahu Zian. Ada kehangatan dalam pelukan Zian, namun kehangatan itu justru mengiris hati Lili. Ia tidak pantas mendapatkan kasih sayang ini. Tidak setelah
Setelah mengantar Lio sampai teras rumahnya, Zian kembali masuk ke dalam rumah, dan menghampiri Lili sang Isrti yang kini sudah duduk di ruang tengah."Sayang, ada yang ingin aku bicarakan denganmu." Zian duduk tepat di samping sang Isrti. "Maaf jika aku memaksa kamu bekerja dengan Lio."Lili menatap pada suaminya tersebut. "Sejujurnya aku hanya ingin balas budi padanya.""Balas budi?" tanya Lili penasaran."Ya sayang, sebenarnya aku punya hutang dengan Lio, dan kedatangan dia kesini begitu baik. Dia membebaskan utangku." Zian jujur pada sang istri tentang hal tersebut. "Sebenarnya aku hanya ingin balas budi padanya, dengan cara kamu bekerja dengannya, sayang." Zian kini meraih kedua tangan istrinya tersebut. "Aku mohon padamu sayang, bekerjalah dengan Lio." Pinta Zian lagi, masih melihat keraguan dalam diri sang istri untuk bekerja sebagai sekretaris Lio.Lili terdiam, masih teringat bagaimana ancaman Lio, ketika dirinya menolak menjadi sekretarisnya, dan Lili kini menganggukkan kep
Lili masih diam mematung, tidak menanggapi ucapan dari Zian. Pikirannya kacau, jantungnya berdetak tidak beraturan, dan tubuhnya terasa dingin meski berada di dalam ruangan yang hangat. Ia tidak akan bekerja dengan Lio sebagai sekretarisnya, tidak! Itu tidak mungkin. Tidak setelah apa yang terjadi semalam dengan Li. Tidak setelah dirinya melanggar semua batas sebagai istri dari Zian.Zian, suaminya yang begitu percaya padanya. Pria yang mencintainya, kini meminjamkan kepercayaannya kepada Lio, sahabat karibnya sendiri. Dan sekarang, Zian meminta, bahkan memaksa dirinya bekerja dengan Lio. Hatinya menolak. Jiwanya memberontak. Tapi situasinya rumit.Lili akhirnya membuka mulut, dengan suara yang masih bergetar. "Aku tidak mau bekerja dengannya, sayang," tolak Lili mentah-mentah.Zian mengernyitkan dahi, tidak mengerti. "Kenapa?""Aku bisa mencari pekerjaan lain," jawab Lili cepat, menghindari tatapan suaminya.Namun Zian malah menggeleng keras. "Dan aku tidak mengizinkan kamu bekerja d
Sejak kemarin, Zian benar-benar merasa seperti manusia paling beruntung di dunia. Semua masalah yang selama ini menyesakkan dadanya satu per satu terselesaikan, seolah semesta sedang berbaik hati padanya. Hutang-hutang yang menumpuk akibat usahanya bangkrut akhirnya lunas. Sang istri, Lili, tiba-tiba mendapatkan pinjaman dalam jumlah fantastis dari pihak yang tak pernah ia sangka, dan itu cukup untuk membangun kembali usaha yang nyaris membuatnya jatuh ke jurang kemiskinan. Dan pagi ini, berkah itu belum juga berhenti mengalir.Lio, sahabat lama yang sempat menjauh sejak Zian terjerat masalah keuangan, datang pagi-pagi ke rumahnya. Bukan dengan tangan kosong, tapi membawa berita yang mengejutkan sekaligus membahagiakan."Aku udah pikirin ini matang-matang, Zi. Dan kamu tidak perlu bayar utangmu ke aku," kata Lio dengan nada santai, duduk berhadapan dengan Zian di ruang tamu rumah sahabatnya tersebut.Zian menatap Lio lekat-lekat, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. "Ter
Deg. Jantung Lili seolah berhenti berdetak saat mendengar pertanyaan sang suami. Suasana ruang tengah yang tadinya tenang mendadak terasa menyesakkan. Lili bisa merasakan darahnya berdesir, tubuhnya membeku, dan telapak tangannya mulai berkeringat dingin."Sayang, kenapa tidak di jawab?" tanya Zian melihat ekspresi wajah sang istri. Zian mengerutkan kening sambil menatap Lili dengan bingung. Ia lalu mendekat, mengendus lembut bagian pundak istrinya. "Ini... kayak parfum cowok. Kamu pakai parfum pria?" tanya Zian lagi.Lili hampir tersedak oleh udara yang ia hirup. Aroma parfum Lio masih melekat samar di bajunya, sebuah kesalahan fatal yang tak ia sadari, harusnya ia membersihkan diri sebelum pulang.Dan sekarang, Zian, suaminya yang begitu mencitainya berdiri di hadapannya dengan wajah penuh tanya.Panik. Itu satu-satunya perasaan yang Lili rasakan. Ia menunduk, mencoba menenangkan degup jantungnya, memaksa otaknya bekerja cepat mencari alasan."Anu, itu… Sayang," katanya terbata, sua