Aku masih harus menunggu azan maghrib berkumandang. Menunaikan sholat tiga rokaat, barulah bisa bergerak menuntaskan misi hari ini. Mencari Syilla.
Suasana Pasar Jumat di Lebak Bulus masih persis seperti kemarin petang saat Nelwan mengantarku mencari Sylla. Intuisiku bicara bahwa Sylla berada di sini sejak siang tadi begitu kabur dari sekolah. Kukelilingi tempat yang sama seperti kemarin, mencoba menyeruak kerumunan orang dan mengamati para pengamen yang bergerombol di sana. Tidak ada. Tak kutemukan muridku yang berambut pendek itu.
Saat raga mulai letih, tiba-tiba mataku memergoki sesosok pengamen—masih muda dan tampak kumal—yang seingatku kemarin dia memberikan gitar kepada Sylla. Ketika dia melihat ke arahku, tak kusia-siakan kesempatan itu.
"Maaf, Mas, saya mencari Syilla. Apa dia ke sini?"
"Oh, tadi dia naik bus jurusan Bekasi, Mas,” sahut pengamen itu sambil membetulkan senar gitarnya yang mengendur.
"Mas t
Aku tertegun melihatnya beraksi di depan para penumpang, di atas bus yang melaju. Syilla, indah suaramu! Tuhan memberimu anugerah luar biasa, dan kaumanfaatkan itu untuk memperjuangkan sekolahmu. Aku nyaris kehilangan kata-kata yang mewakilkan kekagumanku padamu.Sebuah lagu yang cukup populer berlirik bahasa Inggris selesai dia nyanyikan atas permintaan seorang penumpang di barisan depan. Aku berdiri perlahan dari duduk, dan berjalan merambat ke arahnya. Memergoki keberadaanku di dalam bus, Syilla terlihat ingin menghindar dari kejaranku. Sayang sekali gerakannya masih terlalu lamban, karena dengan sigap aku lebih dulu meraih gitar dalam genggamannya.Apa mau Bapak sebenarnya? Mungkin itu yang ingin dia ungkapkan melalui tatap tajam matanya saat gitar itu berpindah ke tanganku."Kasih Bapak kesempatan berduet denganmu. Satu lagu.” Ucapku, kubalas tatap tajamnya dengan senyum. “Jika gagal, Bapak tak akan mengganggumu lagi. Tapi kalau Bapak b
Syilla menolak kutemani hingga larut malam. Selain lebih nyaman bersama teman-teman pengamennya itu, mungkin dia canggung ada aku di dekatnya. Karenanya aku memutuskan pulang setelah menyempatkan diri sholat Maghrib di perjalanan.Perasaan tak enak mengusikku begitu sampai di rumah indekos. Tidak biasanya umi Elis duduk di teras depan selepas maghrib begini, apalagi dengan wajah murung seperti itu. Dia seperti sengaja menunggu kepulanganku.“Assalaamualaikum, Umi,” sapaku sekaligus bersalam.Melihatku sudah ada di dekatnya, umi Elis bergegas bangkit. Benar, tidak seperti biasanya dia segelisah ini. “Waalaikum salaam. Alhamdulillaah kamu pulang. Tolong Elis, Bram!”“Elis kenapa, Umi?” “Sebelum maghrib tadi Elis nelepon dari kampus, katanya dia mendadak demam dan nggak kuat bawa motor. Umi sudah berkali-kali telepon Abi, bilang mau jemput ke sana t
“Lis," panggilku, begitu mengkhawatirkan keadaannya. “Kamu mau cerita sama Aa?”Elis tampak menggigit bibirnya, mungkin agar air matanya tidak terus-menerus tumpah. “Elis merasa berdosa, A. Elis malu ngomongin hal ini ke Aa,”“Dosa? Kamu ini sebenarnya mau ngomong apa, Lis?”“Iya, A, Elis takut pada apa yang udah Elis alami.” Gadis itu menutup wajahnya dengan kedua tangan.Makin cemaslah aku dibuatnya. Ada apa ini? “Sebaiknya kamu cerita sama Aa, Lis. Nggak baik dipendam sendiri!”"Elis … Elis lagi suka sama seseorang, A. Mungkin malah Elis bener-bener suka banget sama dia.” Ungkapnya, mengejutkanku. “Elis merasa berdosa karena perasaan ini nggak pada waktunya dan bukan pada tempatnya. Rasa bersalah ini yang menyita pikiran Elis, Aa. Elis takut. Elis bingung harus gimana.”Gadis di sebelahku seolah sedang membongkar isi hatinya dengan jujur dan apa ada
Hampir jam 21.00 kami sampai di rumah Elis. Setelah pamit pada uminya aku pun pulang ke rumah sebelah, ke tempat indekosku bersama Fajrin. Campur aduk rasanya kondisiku malam ini. Capek, pusing, panas, sekaligus gelisah tak berkesudahan. Pikiranku pun kemana-mana.Cinta? Topik yang lebih sering tidak menariknya bagiku. Entah kenapa tiba-tiba aku memikirkan yang satu ini. Siapa sih laki-laki yang disayangi Elis? Ada apa ini? Kenapa juga aku harus merisaukan laki-laki yang Elis sukai? Lalu kenapa aku tiba-tiba mempertanyakan perasaanku terhadap Elis? Benar-benar aneh!Pikiranku melayang pada hal-hal yang menimpa teman-teman di kampus. Mereka seringkali dibutakan dan sering dirugikan oleh urusan cinta. Seperti nila yang merusak susu sebelanga. Inikah yang mereka alami? Kalau aku terus larut terbawa perasaan ini, siapkah aku jadi korbannya? Mampukah fokus utamaku tetap pada kuliah dan mengajar, dengan membuang jauh-jauh pikiran galau tak karuan seperti ini? Urusan dengan m
Sinar matahari menjelang sore yang hangat menyeruak dari celah-celah pepohonan di sekolah. Kontras dengan suasana semalam, siang ini terlihat cerah dan indah saat kutemukan beberapa wajah penuh senyum hangat di kelas XI IPA.Walaupun tak ada semangat seperti hari-hari lalu, rutinitas mengajar tetap kumulai dengan mengecek absensi siswa. Kejutan besar rupanya menungguku sejak tadi. Kulihat Marsel tersenyum melihat kedatanganku. Sylla pun hadir dan sudah duduk manis di bangkunya. Wajahnya segar, tidak lesu seperti biasanya.“Oke, untuk hari ini silakan bergabung dengan kelompok kalian.” Kataku di depan kelas, mengawali pelajaran. “Seperti yang sudah kita ketahui, pementasan seni teater sekolah sudah semakin dekat. So, selama dua jam ke depan let’s open your mind, segarkan ingatan pada teori artikulasi, pelafalan, penghayatan, dan blocking minggu lalu. Hari ini juga kita akan mulai berlatih blocking
Dalam perjalanan pulang, pikiranku masih galau tak menentu. Satu-dua masalah seolah berloncatan tiada henti di depan mata. Konsentrasi mengajarku pecah! Kenapa hari ini seolah jadi hari yang paling buruk bagiku? Ya Allaah, kenapa aku tak bisa berhenti memikirkan Elis dan surat kaleng berisi ungkapan cinta yang diterima Fajrin? Kenapa ini seperti misteri besar yang harus segera kuselesaikan? Gelisah dan lelah kian menyerbuku begitu sampai tujuan. Kutuju pintu depan dengan langkah lemas. Di tanganku terjinjing tas yang juga berisi dus handphone baruku. “Pak Bram!” Mataku yang lelah terbuka lebar seketika. Aku hafal suara itu. “Nayya? Ngapain di rumahku?”
Kutinggalkan jalan raya, kembali ke rumah setelah kendaraan umum itu menghilang di tikungan. Ya, sekalut apa pun Nayya aku tahu dia akan selalu baik-baik saja, lalu bagaimana dengan Elis? Aku tak bisa melupakan ekspresi Elis saat tanpa sengaja memergoki Nayya tengah memelukku. Seakan terbayang di depan mata saat Elis berlalu begitu saja, tak mau mendengarku dan membanting pintu kuat-kuat di depan mataku. Aku sangat mencemaskan Elis. Aku takut sikap Elis berubah padaku setelah ini.Apa yang terjadi padaku sebenarnya? Bukankah sepantasnya aku lebih memikirkan masalah yang sedang dialami Nayya daripada memikirkan Elis?Apakah aku mencintai Elis, dan Elis juga mencintaiku? Seharusnya Elis tidak perlu mengambek seperti itu jika dia tidak menaruh hati padaku. Kalau benar Elis menginginkan aku, kenapa dia malah mengaku sedang mengagumi laki-laki lain? Kenapa dia malah mengirim surat ungkapan kekaguman pada Fajrin? Sampai pagi tadi aku makin yakin bahwa surat itu memang dari E
Aku memilih terus berpura-pura tidur ketika Fajrin akhirnya pulang setelah lewat jam 20.00 malam itu. Lama benar dua orang itu pergi! Aku mendengar dengan jelas ketika Fajrin sudah masuk ke kamar dan meletakkan sesuatu di atas meja tulisku, sepertinya makanan karena aroma yang tercium dari sana masih sangat kukenali. Ini harum aroma martabak kesukaan Elis!Dalam remang mataku yang tidak benar-benar terpejam, kulihat Fajrin duduk melepas sepatunya sambil melihat ke arahku. “Bram,” Fajrin mulai mengajak bicara. Aku tidak akan menyahut. Aku akan terus diam seakan-akan tertidur pulas. “Ane tahu ente belum tidur! Tuh, ada amunisi dari Elis. Mau nggak? Kalau nggak mau ane abisin sekarang ya!”&nb