Awan hitam, menggantung di langit malam, kian menambah gelap suasana malam yang begitu sepi. Dalam temaram cahaya lampu penerangan jalan desa, seorang gadis berusia 19 tahun, Arneya Devanka yang baru saja pulang dari tempatnya bekerja di sebuah mini market, tampak mengayuh sepedanya di tengah jalan berbatu nan berkabut. Jarum jam baru menunjukkan pukul 9 malam, akan tetapi jalan setapak yang bagian kanan dan kirinya adalah kebun teh itu tampak begitu sunyi.
Di jalan yang gelap itu, tidak ada satu orang pun yang dia temui. Memang, malam ini jauh lebih sepi dan dingin, dari biasanya. Sejak siang, hujan turun begitu deras, dan sekarang gerimis pun sudah kembali menyapa, membuat hawa terasa begitu dingin. Orang-orang pasti lebih memilih untuk tidak keluar rumah dan mengistirahatkan tubuhnya dalam peraduan."Astaga, sudah gerimis? Aku harus cepat sebelum hujan turun," gumamnya, seraya mempercepat kayuhan sepedanya. Akan tetapi, rintik gerimis itu kini sudah berubah menjadi tetesan hujan yang mulai membasahi tubuh mungilnya, angin yang menerpa pun terasa kian kencang. Tubuh itu mulai terlihat mengigil."Oh tidak, sudah mulai hujan, bagaimana ini?" Netra gadis itu, akhirnya tertuju pada sebuah gubug kecil yang ada di tengah kebun teh, tempat para pekerja beristirahat."Ah, sebaiknya aku berteduh dulu, memang gubug itu keliatannya serem, tapi aku nggak punya pilihan lain, daripada kehujanan terus sakit."Sejak kecil, Neya memang sedikit kurang bersahabat dengan cuaca dingin, kondisi tubuhnya langsung menurun jika kedinginan. Dan Neya, tak mau mengambil resiko, jika dia sakit, dia tidak bisa bekerja dan berdampak pengurangan gaji dari bos-nya. Gadis itu pun memilih untuk berteduh sebentar, setidaknya sampai hujannya tidak terlalu lebat. Neya menyenderkan sepedanya, lalu duduk di sebuah bangku panjang di depan gubug tersebut.Neya mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kebun teh, ada sedikit rasa takut dalam hatinya, kesunyian malam yang dia rasakan, memang sudah berganti dengan suara rinai hujan yang beradu dengan suara gemuruh kilat dan petir yang sesekali menggelegar, dalam pekatnya suasana malam."Menyeramkan sekali, semoga tidak ada hantu di sini."Baru saja Neya selesai bergumam, tiba-tiba ada sebuah tangan kekar yang mendekap perut dan mulutnya."Empttt ... to-tolong!"Meski kesulitan untuk berbicara akibat dekapan kuat di mulutnya, sekuat tenaga Neya terus meronta. Tak kehilangan akal, gadis itu pun menggigit tangan sosok yang mendekapnya."Argh, sial! Kenapa kau menggigitku?"""Tolong lepaskan saya! Anda mau apa Pak, Mas, Bang eh Om, kenapa saya diseret-seret masuk ke gubuk ini?""Diam jangan berontak terus!" balas laki-laki yang saat ini mendekap tubuh Neya."Saya mau diapain Om? Lepasin saya!""Diam kataku!" bentak laki-laki itu kembali dengan suara baritonnya."Lepasin saya, tolong! Tolong!" teriak Neya berharap ada yang mendengar jeritannya. Sekuat tenaga dia memberontak, akan tetapi tetap kalah tenaga dari laki-laki yang mendekap tubuhnya itu.Detik berikutnya, tubuh Neya sudah terhempas ke kasur usang pada tempat tidur kayu yang ada di dalam gubug. Memang, di dalam gubug tersebut, ada sebuah kasur yang biasa digunakan para pekerja kebun untuk beristirahat."Aduh, sakit!" teriak Neya saat tubuhnya terhempas. Akan tetapi, belum usai rasa terkejut dan sakitnya itu, tiba-tiba lelaki yang mendekapnya, sudah mendidih tubuh mungil itu."Sekarang layani aku!""A-apa maksud anda? Tolong lepaskan sa ...." Belum selesai Neya berbicara, laki-laki itu sudah membungkam bibirnya dengan ciumannya. Tentu saja, Neya memberontak, akan tetapi laki-laki itu sudah memegang kedua tangan mungil Neya dengan tangan besarnya."Tolong!" isak Neya saat laki-laki itu melepaskan ciumannya, dan turun ke leher jenjang Neya."Tolong!" Neya belum menyerah, meskipun dia sudah menangis ketakutan, sebisa mungkin dia tetap berteriak di sela-sela lolosan mulutnya dari sergapan buas laki-laki itu yang terus melumat bibirnya. Entah bagaimana kejadiannya, mungkin karena Neya terlalu fokus untuk bisa meloloskan diri, gadis itu tidak sadar jika ternyata kemeja yang dia kenakan sudah koyak oleh laki-laki tersebut, hanya tersisa pakaian dalam yang melekat di tubuh putih mulusnya."Tolong Mas, Pak, Om, ampuni saya, saya nggak mau begini, lagi pula saya juga nggak kenal sama anda," pinta Neya dengan pilu, di sela isak tangisnya. Akan tetapi, lelaki itu tidak peduli dengan ocehan Neya, dia tetap fokus mencumbu seluruh tubuh Neya yang terus memberontak.Saat ini, seluruh tubuh Neya sudah terekspose sempurna di depan mata laki-laki itu yang terlihat lapar. Dia sempat tertegun sejenak saat melihat kemolekan tubuh wanita yang ada di bawah kungkungannya. Dan di saat itu juga, Neya mengambil kesempatan untuk meludahi laki-laki tersebut."Cuih!" Neya menatap tajam laki-laki itu penuh amarah. Namun, sikap Neya tersebut, malah justru semakin membuat laki-laki itu kesal dan kian brutal menyerang Neya yang sudah kelelahan akibat terus memberontak. Saat dia mencium kembali bibirnya, wanita itu masih bisa menggigit lidah laki-laki tersebut. Akan tetapi, laki-laki itu tak kurang akal, dia malah mencumbu tubuh Neya di bagian yang lain dengan bibirnya."Tolong! Tolong!" Neya tak menyia-nyiakan kesempatan berteriak, dia masih berharap ada yang bisa menolongnya, dari jerat laki-laki tak dikenal yang saat ini mulai menguasai tubuhnya. Meskipun dia pun sadar, jika hal itu kemungkinanya sangatlah kecil, di luar hujan turun dengan derasnya, tidak mungkin ada warga yang berkeliaran di sekitar area perkebunan, sungguh sangat mustahil baginya untuk mendapatkan pertolongan.Hingga tiba-tiba, satu gerakan dari laki-laki itu menghentikan teriakan Neya, manakala bagian bawah tubuhnya merasakan rasa sakit yang luar biasa. Di saat itulah, Neya diam, dia sudah tidak memberontak lagi dan laki-laki yang tengah bermain di atasnya itu tampak tersenyum menyeringai seraya menatapnya dengan tatapan penuh kemenangan. Sedangkan Neya, saat ini hanya bisa diam termenung, seketika itu juga dia merasa jika hidup dan masa depannya sudah hancur karena laki-laki tak bermoral itu telah merenggut kesuciannya.Seolah sudah hilang dari kewarasannya, Neya saat ini hanya diam sampai laki-laki itu selesai dengan aktivitasnya, bahkan Neya tidak menangis sama sekali, yang dia rasakan hanya sakit yang menjalar di seluruh tubuhnya, hingga menusuk ke relung hati terdalamnya. Dia sama sekali tak sudi melihat wajah laki-laki yang sudah merenggut kesuciannya itu, dan juga tidak ingin menyimpan wajah itu dalam memori otaknya. Semua yang ada pada laki-laki itu terasa begitu menjijikan, apalagi saat mendengar leguhan panjangnya ketika dia mendapat pelepasan, ingin rasanya Neya menulikan telinganya, tapi tak bisa. Yang tersisa, hanya rasa sesak di dada.Laki-laki itu tampak merebahkan tubuhnya di samping Neya, dia terlihat kelelahan setelah mendapatkan kepuasan, sekaligus juga meredam berontakan Neya di sela aktivitas bejadnya pada wanita itu.Sedangkan Neya, yang mulai kembali pada kewarasannya, mulai meneteskan butiran kristal dari kedua sudut matanya. Hancur dan sakit, menyadari saat ini dirinya telah menjadi wanita yang kotor. Ingin rasanya dia beranjak pergi, akan tetapi tubuhnya begitu lemas, dan tak bertenaga, dia pun hanya bisa terisak, sampai merasa lelah dan tertidur.Keesokan HarinyaNeya perlahan membuka matanya, manakala sinar matahari mulai masuk melalui celah anyaman gubug tersebut. Tubuhnya masih terasa sakit, terutama di bagian inti tubuhnya."Ah ... ssshhh ... sakit!" rintih Neya saat mencoba bangkit. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh gubug, pakaiannya yang koyak masih berserakan di bawah ranjang, ada bercak darah di atas kasur usang yang kini dia duduki. Akan tetapi, dia tak mendapati laki-laki yang telah merenggut kesuciannya itu ada di dalam gubug. Laki-laki itu, telah meninggalkan dirinya, dalam rasa sakit dan hancur. Neya memang ingin laki-laki itu pergi meninggalkannya, dan tidak ingin ada yang tersisa darinya, termasuk benih dari lelaki itu.Tiga Bulan Kemudian ....Luna berdiri di balkon kamar. Netra coklatnya menatap lekat laki-laki yang saat ini tengah berdiri di depan pintu rumah, di bawah temaram cahaya lampu dalam pekatnya malam.Sudah tiga bulan lamanya, Luna tak mau bertemu, dan berbicara pada laki-laki itu. Sejak pertama kali dia sadarkan diri dari kecelakaan yang menimpanya, Luna begitu muak pada Dewa yang telah membuatnya kehilangan janin yang dia kandung.Sudah tiga bulan lamanya pula, Dewa selalu melakukan apapun untuk meminta maaf padanya. Namun, Luna tak peduli. Hatinya sudah begitu sakit, teramat amat sakit. Bahkan, rasa cinta yang menggebu kini telah pupus, berganti amarah yang bergejolak di dalam dada.Sebenarnya sudah dua minggu ini, Dewa tidak datang. Luna pikir, Dewa sudah menyerah, tapi sepertinya tidak. Malam ini, dia kembali datang, masih dengan raut wajah sendunya, dan Luna benci itu.Cahaya temaram lampu memantul di wajahnya yang pucat, menciptakan bayangan-bayangan yang berdansa di ruangan yang
"Neya, Elvan? Kalian di sini?""Iya Tante, kami mengambil hasil test kesehatan Papa yang tertinggal. Dewa, kamu kenapa?" balas Elvan beri menatap Dewa dengan tatapan penuh tanda tanya. Wajah Dewa tampak begitu sendu dan tidak bersahabat.Dewa pun mengangkat wajah, dan melihat Elvan dan Neya yang saat ini berdiri di depannya. Lelaki itu hanya diam, tak menjawab sama sekali. Hanya ada gurat sendu di wajahnya."Luna mengalami kecelakaan, dan bayi yang ada di kandungnya tidak bisa diselamatkan.""Astaga ...." Kedua pasangan suami istri itu, menatap Dewa iba. Elvan kemudian duduk di samping Dewa, dan menepuk bahunya."Semua orang pernah pernah berbuat salah. Kau bahkan pernah menjadi saksi mata kesalahan fatal yang kulakukan, bukan?"Dewa tak menjawab, tapi hati terdalamnya membenarkan perkataan Elvan. "Minta maaflah dengan kesungguhan hatimu. Jika Luna belum bisa memaafkanmu, teruslah berusaha sampai pintu maaf terbuka untukmu."Laki-laki itu pun mengangguk. "Terima kasih, Elvan."Beberap
"Kami harus segera melakukan operasi, lebih baik Tuan segera mengurus persyaratan administrasinya," sambung dokter tersebut. Dewa pun mengangguk lemah sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba menata hati dan kembali pada kewarasannya."Tolong selamatkan istri saya ....""Saya akan berusaha semaksimal mungkin, Tuan."Setelah itu, Luna dikeluarkan dari bilik ruang emergency. Mereka membawanya ke ruang operasi, sedangkan Dewa menunggu di luar ruangan tersebut.Dewa menunggu dengan gelisah. Saat ini, laki-laki itu tampak berjalan mondar-mandir. Sesekali dia mengucapkan doa. Hingga tiba-tiba terdengar suara seorang wanita yang memanggilnya."Dewa ...!" Laki-laki itu pun menoleh, melihat Santi, ibunya yang saat ini sedang berjalan cepat ke arahnya. Dewa memang memberi kabar pada Santi, jika Luna mengalami kecelakaan. Hanya pada Santi saja, karena dia pikir satu-satunya orang yang dia percaya adalah ibu kandungnya sendiri."Bagaimana keadaan Luna?""Untuk saat ini, aku nggak tau, Ma
Mata Dewa mengerjap tatkala mendengar dering ponsel yang berbunyi. Dengan malas, laki-laki itu pun menghela napas, lalu duduk dan mengangkat panggilan tersebut.[Ya halo.] Sejenak, Dewa mengedarkan pandangan dan melihat apartemennya kini tampak begitu rapi. Namun, dia tak memedulikan itu, karena di ujung sambungan telpon, suara wanita yang menelponnya terdengar asing.[Halo, dengan Tuan Dewa?][Ya, benar.][Begini, Tuan. Apa benar Nyonya Luna adalah istri Anda?][Ya, ada apa?][Saya mendapatkan nomer Anda dari ponsel Nyonya Luna. Tadi siang, dia mengalami kecelakaan di Jalan Pahlawan. Sekarang, dia berada di Rumah Sakit Harapan Indah, dan kondisinya saat ini kritis.]Seketika ponsel yang dipegang Dewa pun terlepas begitu saja. Bahkan, tak menghiraukan wanita yang masih berbicara di ujung sambungan telpon. Laki-laki itu justru sibuk dengan pikirannya sendiri."A-apa? Luna ada di Jakarta?" gumam Dewa sembari meneguk saliva dengan kasar."Argh sial ... apa tadi dia bilang? Kecelakaan?Rum
Satu Bulan Kemudian ....Singapura 11.00 am ...Luna tampak menyunggingkan senyum manis saat keluar dari sebuah gedung, tapi tiba-tiba saja tubuhnya terasa begitu lunglai. Kepalanya juga terasa berat hingga semuanya menjadi gelap.Entah berapa lama matanya terpejam dalam keadaan tidak sadarkan diri, Luna pun tak tahu. Yang dia tahu saat membuka kelopak matanya, Luna sudah terbaring di atas brankar di dalam sebuah ruangan dengan cat keseluruhan berwarna putih. Detik itu juga, Luna menyadari jika saat ini dia sedang berada di rumah sakit. Saat tengah bergelut untuk kembali pada kesadarannya, tiba-tiba sebuah suara berbariton rendah terdengar di samping Luna."Kau sudah bangun?" sapa suara itu. Luna pun menoleh, dan melihat seorang laki-laki yang wajahnya tidak asing.Melihat Luna yang tampak menautkan kedua alisnya, laki-laki tersebut pun menyadari jika wanita itu pasti terkejut dengan kehadirannya."Maaf, tadi kau pingsan, dan kebetulan aku berada di tempat yang sama denganmu. Jadi, ak
Elvan mamasuki sebuah kamar, dan di balkon kamar itu tampak seorang wanita berdiri, menatap halaman mansion dengan tatapan sendu. Dia mengamati setiap sudut mansion sembari mengingat semua kenangannya. Karena mungkin, setelah ini dia tidak akan kembali lagi. 'Jika aku masih bisa menyelipkan kata mungkin, bukankah itu artinya aku masih berharap? Padahal aku sudah tidak sepantasnya berharap apapun,' batin Aileen. Dia kemudian menghela napasnya kasar, seolah ingin menghilangkan rasa sesak di dada."Apa kau sudah siap?" Suara bariton rendah Elvan membuat wanita itu menoleh. Lalu, membalikkan tubuh dan mengangguk."Kita pergi sekarang!" ajak Elvan. Laki-laki itu kemudian memegang koper yang ada di samping tempat tidur. Namun, sebelum dia melangkah tiba-tiba Aileen mencekal tangan Elvan."Tunggu dulu, Mas. Kasih waktu aku buat bicara sebentar sama kamu."Elvan mengernyit. "Bicara tentang apa, Aileen? Bukankah kau sudah berjanji untuk tidak ikut campur kehidupan kami lagi."Aileen menunduk.