"Ngapain dia disitu?" GumamkuAku terlonjak kaget, saat melihat teman lelakinya melayangkan tangan tepat mengenai pipi Adik iparku.Tak puas hanya disitu, teman lelaki Mila menuding-nuding wajah Mila tanpa perasaan. Bocah tengik itu terlihat sangat kesal dengan Mila.Semua mata yang ada didekat mereka menatap aneh, bahkan ada yang menatap iba pada Mila. Aku segera menyenderkan barang belanjaan disamping grobak bakso, lalu berjalan mendekati mereka."Udah jangan ganggu gua lagi!" teriak bocah tengik itu lalu pergi begitu saja. Mila menangis sesegukan sambil menutup wajahnya."Mil ... Mila," panggilku pelan. Mila langsung mendongkak, terkejut melihat kehadiranku."M-bak Nurma," lirihnya dengan wajah menegang."Kamu kenapa nangis?" Aku semakin mendekat. "Bocah tengil itu siapa, kenapa dia nampar kamu?" cecarku. Mila menundukkan wajah, tanpa aku duga dia langsung menubruk tubuhku dan memeluk erat."Huhu ..." Mila terisak pilu, tubuhnya terguncang dengan hebat."Cup, cup." aku mengusap pun
Repleks aku dan Mila mengurai pelukan, wajah Mila terlihat pucat dan tegang, dan aku yakin wajahku pun tak jauh berbeda dengan Mila."Kamu ngapain disini, Mil?" Jantungku melompat- lompat saat Mas Andri jalan semakin dekat.Padahal aku tidak melakukan kesalahan, mengapa aku yang gugup dan takut. Bagaimana dengan Mila?Ekor mataku melirik pada Mila, yang membeku ditempatnya."Ditanyain kok malah pada bengong gitu sih," Mas Andri menjatuhkan tubuh diatas ranjang, menyapa Arya yang sedang memainkan air liurnya."Ehh, jagoan Ayah." Mas Andri mencium gemas pipi anaknya."Kamu udah lama disini, Mil?" tanya Mas Andri tanpa menoleh.Aku meyikut lengan Mila, karna dia masih saja terdiam."Mm ... ba-ru aja, Mas." jawab Mila pelan, wajahnya menunduk tangannya sibuk menghapus jejak air mata dipipinya."Ka-mu udah lama, Mas?"Aish ... pertanyaan bodoh macam apa ini."Lama apanya?" jawab Mas Andri tanpa menoleh."Mas ..." aku terdiam, bingung mau berkata apa."Mas, tadi denger obrolan aku sama Mila
Pov Ibu.Sudah satu minggu Maya pergi dari rumah, ada rasa sepi yang menyelusup kedalam sanubari. Aku dan Maya begitu kompak, Maya anak penurut dan perhatian kepadaku.Satu minggu berlalu, selama itu pula sikap Mas Toso menjadi dingin padaku. Dia menganggap aku Ibu yang tak becus mengurus anak."Heok ... hoek!" suara Mila terdengar dari kamar mandi. Akhir-akhir ini dia juga terlihat pucat dan cenderung murung."Kita berobat ke bidan ya, Mil. Ibu perhatiin kamu sering muntah-muntah. Pasti kamu telat makan ya, jadi magh nya kambuh," tawarku saat Mila ingin menarik kursi yang ada disampingku.Mila menggeleng lemas, menjatuhkan tubuh diatas kursi menopang wajah dengan kedua tangan."Kamu minum obat magh kalau perut mulai terasa sakit, jangan telat makan. Tuh badan makin kurus aja," ucapku sambil mengamati tubuhnya.Tanpa kata, Mila bangkit dari kursi, berjalan menuju kamarnya.Ck ... dasar bocah. Diajak berobat kok susahnya minta ampun.Suara salam Mas Toso terdengar dari luar rumah, gega
Belum sempat aku memakai baju, pintu kosan sudah terbuka lebar. Jantungku berhenti berdetak, saat melihat beberapa orang masuk kedalam kamar."Astaga!" seru seseorang, saat melihat keadaan aku dan Bang Firman. Untung saja Bang Firman sudah memakai celana kolornya."Ini dia pasangan mesumnya!" tuding laki-laki setengah baya kearahku. Tubuhku mengigil ketakutan, melangkah mundur merapatkan selimut untuk menutupi tubuhku."Ini dia pelaku maksiat dikampung kita, gaes!" seseorang masuk sambil mengarahkan gawai kewajahku dan Bang Firman. Aku langsung menutupi wajah dengan tangan, badan ini bergetar, menggigil ketakutan."Kita viralkan, pasangan mesum ini. Biar kapok!" serunya lantang.Wajah Bang Firman sudah sepucat mayat, keringat dingin membasahi sekujur tubuh.Hawa dingin menyelusup diatas kepala hingga menembus pori-pori, jantungku melompat-lompat ingin keluar dari tempatnya.Mati aku, mati!"Seret mereka keluar!!" titah laki-laki berkumis tebal memakai peci putih. Aku menggeleng kuat,
"Kita mau kemana, Yang?" tanya Bang Firman."Kita kerumah sakit, Bang. Luka Abang harus diobati, setelah sembuh Abang harus kasih pelajaran sama si gendut jelek itu." jawabku dengan gigi bergelutuk.Kurang ajar sekali dia mempermainkan aku."Si gendut dalang dibalik semua ini." sambungku, dengan nafas memburu."Mana mungkin? Dia tidak tahu tempat kosanmu, Yang." sahut Bang Firman.Aku langsung melambatkan laju motor dan berhenti dipinggir jalan. Geram sekali rasanya, Bang Firman masih membela istri gendutnya. Tubuhku bahkan masih menggigil trauma ketakutan akibat kejadian semalam."Ada nomer baru yang mengejek aku tentang aksi grebek itu. Siapa lagi kalau bukan istri Abang," sahutku jengkel.Bang Firman hanya diam, tak menjawab ucapanku. Aku langsung kembali tancap gas, mencari rumah sakit terdekat.Dua puluh menit perjalanan akhirnya kita sampai dirumah sakit, aku segera memarkirkan motor dan melangkah masuk sambil menuntun Bang Firman."Mana kartu berobat, Abang?" tanyaku."Didompet
Pov Ibu Sumi."Tolong ... tolong!!" aku menjerit sekuat tenaga meminta bantuan pada tetangga.Pak Ilham dan Bu Darsih yang mendengar teriakkanku langsung berlari memasuki halaman rumah."Kenapa, Bu Sum?""Tolong Mila, Pak. Tolong," aku langsung mencengkram tangan Pak Ilham, membawa masuk kedalam rumah."Mila kenapa?"Mas Toso yang membopong tubuh Mila, langsung dibantu keluar oleh Pak Ilham."Ya Tuhan. Si Mila kenapa, Bu Sum?" tanya Bu Darsih dengan wajah panik."Huhu ... ga tau, Bu." aku menangis sesegukan. Bu Darsih merangkul tubuhku, mencoba menenangkan."Bawa kerumah saya, saya antar pakai mobil." ucap Pak Ilham sambil membawa tubuh Mila kearah rumahnya."Eh ada apa?""Si Mila kenapa?""Itu mulutnya banyak busa, kenapa?"Para tetangga banyak yang berdatangan, mereka nampak penasaran melihat Mila yang dibopong masuk kedalam mobil."Masuk, Bu!" titah Mas Toso, aku langsung masuk kedalam mobil, memangku kepala Mila diatas paha."Hati-hati, Pak." ucap Bu Darsih pada Pak Ilham, suaminy
Lantunan ayat Suci alquran menggema disetiap sudut rumah, aku mematung menatap tubuh Mila yang sudah terbujur kaku. Memori tentang Mila berkelebatan didalam kepala, air mata kembali tumpah saat mengingat kebaikannya.Mila ... dia terkadang membela, disaat Ibu dan Maya memperlakukan buruk terhadapku. Aku masih tak menyangka, hidup Mila berakhir secepat ini.Mila, dia pasti sangat depresi dengan kehamilannya. Bocah tengik itu pasti tidak mau bertanggung jawab.Air mata tak berhenti mengalir, dada bergemuruh hebat mengingat kenangan baik terhadapnya.Dia bahkan pernah bercerita ingin menjadi Dokter ahli kandungan, saat membelai perutku yang masih membuncit hamil Arya. Mata terus memanas, wajah takut dan sedih Mila saat dirumah kembali membayangiku."Milaa," bibirku tergerak begitu saja, menyebut namanya.Perih, sakit dan sedih. Aku tidak terima, Mila meninggal seperti ini.Hati terus beristigfar, mencoba menguatkan hati dan perasaanku sendiri.Satu persatu keluarga suami berdatangan, mer
Jadi ini bocah ingusan yang sudah merusak dan membunuh Mila. Aku tidak akan tinggal diam, Mas Andri harus tahu kebenarannya dan menghajar bocah tengik ini.Aku langsung keluar kamar, bermaksud ingin memberikan gawai Mila pada Mas Andri. Namun aku mengurungkan niat, melihat banyaknya keluarga yang berkumpul tengah berduka cita, aku rasa saat ini bukanlah waktu yang tepat untuk membongkar masalah pelik ini.Aku kembali masuk kedalam kamar, merapihkan barang yang berserakan. Lalu menaruh gawai Mila didalam laci kecil meja belajarnya."Dek, Emak nelpon." Wajah Mas Andri menyembul dari balik pintu, tangannya menyodorkan gawai kearahku."Iya, Mas." sahutku lalu meraih gawainya."Halo, Mak?""Nur ... lu masih lama?" suara Emak langsung menyapa telinga."Masih kayanya, Mak. Nanti habis pulang dari makam. Nurma langsung pulang," jawabku."Iya, ini si Arya Emak kasih susu botol kaya ogah-ogahan minumnya. Tadi Emak kasih pisang sedikit biar ga rewel," jelas Emak."Ya sudah, Ga apa-apa Mak. Nanti