Ketika langkah kaki sudah terbentur jalan buntu, satu-satunya jalan keluar hanyalah balik arah. Dan ini yang akan di rencanakan Marina. Memulai lagi hubungan yang tak lagi sama seperti dulu. Selama ini Andra selalu mendengarkan apa kata ibunya, dengan mendekati wanita itu, pasti Andra akan kembali luluh."Mas, nggak ke kantor lagi hari ini?" tanya Marina setelah Andra masuk kamar, baru kembali dari mengantar anak-anak ke sekolah. "Tidak. Kenapa?""Nggak ada apa-apa." Padahal jika Andra tidak di rumah, Marina akan menemui ibu mertuanya hari ini juga. Lebih cepat akan lebih baik, sebelum Andra kembali lagi ke tempat kerjanya.Marina kembali menyusun pakaiannya di dalam koper. Walaupun masih tiga hari lagi Andra akan kembali, dirinya sudah bersiap lebih awal karena akan ikut serta. Dia tidak akan memberi celah pada Andra untuk kembali dekat dengan istri keduanya. Andra hanya memperhatikan apa yang dilakukan Marina. Dia tidak mempermasalahkan istrinya ikut. Juga tidak takut kalau kehadi
Andra kembali menyalakan layar ponselnya. Di hubunginya Tony. "Halo, Assalamu'alaikum." Suara Mesi di seberang."Wa'alaikumsalam, Tony ada?""Ada, masih di kamar mandi. Apa nanti saja Mas Andra telepon lagi?""Jangan ditutup dulu. Aku mau nanya sama kamu, bagaimana keadaan terakhir Naya waktu itu?""Dia ... dia minta agar aku menyampaikan permintaan maafnya pada Mas dan Mbak Marina. Itu saja yang sempat diucapkan sebelum dia nggak sadarkan diri dalam perjalanan. Tapi maaf, aku belum bisa menyampaikan ini pada kalian. Situasinya belum memungkinkan, aku khawatir saja malah di maki-maki sama Mbak Marina.""Ya, tidak apa-apa. Aku minta maaf karena melibatkan kamu dalam urusan ini.""Nggak apa-apa, Mas. Selama ini aku dan Mas Tony nggak mencampuri juga urusan kalian. Kami hanya berteman baik pada siapa saja. Siapalah kami ini jika harus menghakimi permasalahan orang lain. Walaupun kita berteman. Mungkin jika aku nggak mengalah ikut Mas Tony. Bisa saja hal yang sama akan terjadi. Berdoa sa
"Assalamu'alaikum." Marina mengucap salam dari ambang pintu."Wa'alaikumsalam," jawab Bu Safitri yang sibuk menata masakan di atas meja. Wanita itu menoleh pada sumber suara. Beliau melihat menantunya tersenyum sambil melepaskan wedges-nya."Marina, masuk, Nak. Mana Andra dan anak-anak." Bu Safitri menerima uluran tangan menantunya sambil memandang ke luar. Tidak ada siapa-siapa di sana.Wanita itu kemudian mengajak menantunya duduk di meja makan yang masih satu ruangan dengan dapur bersih. Di ambilnya teko dan menjerang air untuk membuatkan teh buat menantunya."Ma, nggak usah repot-repot bikin teh.""Nggak apa-apa."Bu Safitri tetap membuatkan teh untuk Marina. Di ambilnya cangkir keramik dengan hiasan bunga mawar di permukaannya. Bau wangi teh aroma melati menguap dari cangkir cantik itu. Wanita penuh wibawa juga menyuguhkan irisan buah semangka dan pir di piring. "Ayo, di minum. Buahnya baru saja Mama potong tadi." Cangkir di taruh di meja depan Marina.Marina meraih gagang cangki
Wanita itu ingat bagaimana Inaya melayani dan bersikap pada Andra. Itu saja sudah menjadi sihir ampuh tanpa butuh ke dukun untuk minta mantra. Bu Safitri juga menasehati agar Marina lebih rajin berdoa biar diberikan jalan terbaik untuk mencari jalan keluar dalam menghadapi kemelut rumah tangga mereka. Menantu yang di nasehati hanya mengangguk.Marina segera pamitan setelah di rasa cukup bicara dengan mertuanya. Hasilnya tidak sesuai harapan. Bu Safitri mengantarkan sang menantu hingga wanita itu pergi dengan mobilnya.Urusan hati tidak bisa di campuri. Bu Safitri tidak bisa menyuruh Andra untuk memilih. Beliau hanya memberikan nasehat dan pandangan, setiap punya kesempatan berbincang dengan sang putra. Beliau juga ingat kata-kata Izam yang bicara dengan istrinya kemarin. Waktu itu beliau sedang memangku cucunya yang masih bayi. Sementara putrinya sedang menemani suaminya makan siang."Inaya itu orangnya gimana, Mas?""Baik menurutku, Dek. Sopan, sabar, dan ramah. Dia telaten ngerawat
Meski di landa penasaran dengan apa yang ingin di katakan oleh Tony, tapi Andra tetap profesional menjalani pekerjaannya. Rapat berjalan lancar. Tak ada basa-basi berlebihan dari para supplier yang datang siang itu. Mereka bercanda setelah usai meeting di jam yang menepati waktu makan siang."Aku sudah pesan makanan dari kantin agar di antar ke ruanganmu. Kita bicara di sana saja nanti," kata Tony saat mereka melangkah beriringan di lorong kantor. Ruangan meeting terletak di bangunan terpisah dengan ruangan Andra."Oke."Andra meminta Tony untuk duluan ke ruangannya, karena ada telepon masuk dari Marina."Halo.""Mas, pulang jam berapa nanti.""Jam empat dari kantor. Kamu sudah makan siang apa belum?""Baru saja selesai. Aku mau keluar jalan-jalan ya. Nggak jauh, kok. Depan tuh ada mall. Daripada di dalam kamar saja, aku suntuk ini.""Tidak usah jauh-jauh perginya. Kamu belum hafal kota ini.""Iya, aku tahu. Kalau begitu aku pergi dulu. Bye."Panggilan di akhiri Marina. Andra mematung
Angin sore berhembus sejuk ketika Andra memasuki halaman rumahnya. Pekarangan depan penuh daun kering berserakan. Juga rumput liar yang mulai menyerang tanaman bunga. Padahal baru juga sepuluh hari di tinggal. Tangan dingin yang rajin merawat tanaman dan membersihkan halaman, kini tidak diketahui keberadaannya.Andra masuk rumah. Menyalakan sebagian lampu, biar jika ditinggal nanti rumahnya tak lagi gelap gulita. Ada aroma khas perempuan itu terhidu di penciumannya. Kamarnya masih rapi seperti saat terakhir mereka pergi dari sana. Segera Andra berwudhu untuk menunaikan Salat Asar.Di bukanya almari. Harum pewangi baju menyapa hidungnya. Tatapannya menyapu baju-baju Inaya yang masih utuh dan tersusun rapi.Segera diambilnya beberapa pakaian kerja dan baju santai untuk di bawa ke hotel tempatnya dan Marina menginap sementara ini. Barang-barang itu di susun dalam koper kecil. Ada laptop dan beberapa berkas kerja. Setelah di rasa cukup dengan apa yang perlu di bawa, Andra melangkah gontai
Pak Karsa berdiri dan menyalami Andra, yang kemudian duduk di bangku depannya. Seorang ibu setengah baya menghampiri untuk menanyakan Andra pesan minum apa. Teh hangat jadi pilihan pria itu."Seseorang yang saya suruh nyari Bu Naya menemukan tempat tinggal mereka, Pak. Tiga jam perjalanan dari sini. Mereka tinggal di pesisir selatan, di perbukitan dan tidak jauh dari pantai. Tapi orang saya tidak berani mendekat, ada beberapa orang yang mengawasi di sana.""Mengawasi?" Andra kaget. Apakah perkiraannya selama ini benar?"Iya, Pak. Saya kurang tahu pastinya bagaimana. Tapi ada beberapa orang yang mengawasi di sana. Tempat itu area bedengan yang memiliki banyak pekerja, semua warga desa sana."Andra diam mencerna ucapan Pak Karsa. Benarkah orang-orang itu suruhan mertuanya yang ingin menyingkirkan Inaya. Persis seperti yang dilakukan pada perempuan itu delapan tahun yang lalu. Sengaja dibuat tertekan hingga akhirnya depresi dan berakhir di rumah sakit jiwa. Entah bagaimana nasibnya sekar
Di kejauhan tampak bukit menghijau dan lembah ngarai. Terlihat juga beberapa orang yang sedang mengisi polibag dengan tanah yang sudah di campur pupuk kompos. Tidak jauh dari orang-orang itu, ada bangunan usang yang temboknya sudah mengelupas dan terlihat batu-bata merah yang lapuk. Atapnya terlihat banyak genteng yang tersingkap.Langkah mereka terhenti saat dua orang laki-laki datang menghampiri. Wajah garang mereka terlihat sangat tidak bersahabat. "Siapa kalian?" tanya seorang laki-laki bertubuh besar. Matanya tajam menyelidik pada Andra. Seperti sedang mengingat sesuatu. Lantas dia berbisik pada rekan di sebelahnya.Dengan tenang Andra menjawab. "Kami ingin melihat tanaman di bedengan sini. Dan berniat membeli beberapa ribu tanaman jati."Dua laki-laki itu saling berbisik. Seperti yang telah di pesan oleh bosnya. Jika bertemu Andra lebih baik jangan terlibat keributan."Semua tanaman di sini sudah di pesan. Dan kami tidak menerima pesanan lagi. Maaf, sebaiknya kalian pergi saja."