Embun bersandar pada kepala ranjang sembari memangku laptop memeriksa pekerjaannya. Sejak tadi siang Embun tidak keluar kamar, ia juga tidak peduli apakah Jasmine mau makan atau tidak. "Aku perlu egois juga demi kewarasan diriku sendiri," gumam Embun.Terdengar suara pintu kamar di ketuk, Embun menoleh sekilas lalu kembali memfokuskan diri pada laptop. Dia tidak peduli pada suaminya di luar sana, melihat lelaki itu hanya akan membuat hatinya sakit. Biarlah ia mengurung diri."Embun!""Embun, buka pintunya.""Paling hanya ingin menyakitiku," gumam Embun sambil jari-jarinya menari di atas keyboard."Embun, sudah waktunya makan malam. Kau belum makan sejak siang," teriak Lintang dari balik pintu, tetapi Embun tidak peduli. Ia sengaja melakukan itu agar sang suami tahu jika ia kecewa dengan keputusan lelaki itu. "Embun, nanti kamu sakit.""Apa pedulimu, Mas. Setiap hari juga aku sakit," batin Embun sambil terus berkutat dengan laptop."Embun, plis buka pintunya dulu.""Bagaimana, Mas? A
Tiga bulan berlalu …Sejak kejadian malam itu, Embun harus menerima bahwa kini hati suaminya benar-benar telah terbagi. Pahit memang, tetapi ia harus menelan kenyataan itu.Embun menghela napas kasar memikirkan jalan hidupnya. Ia menatap wajah yang semakin tirus di cermin, terlihat seperti orang yang mengidap penyakit.Selama dua bulan ini ia melakukan apa yang Lintang inginkan, Embun berharap sang suami mengingat pengorbanannya satu hari nanti. Ia sudah merelakan batin dan perasaannya tersiksa demi kebahagiaan lelaki itu.Hari ini Embun akan pergi ke toko, sudah dua bulan ia tidak menengok tempat usahanya. Semalam ia sudah meminta izin kepada Lintang dan Lintang mengizinkan. Setelah itu ia akan kembali seperti tahanan atau seperti pembantu untuk Jasmine. Embun tersenyum getir. Entah, dia baik atau bodoh.*****"Kau sudah siap, Jasmine?" ujar Lintang mendekat ke arah sang istri yang sedang merias diri."Sebentar, Mas. Aku belum selesai."Lintang menghembus napas kasar lalu duduk di t
Lintang menyusul istri tuanya, sementara Jasmine menunggu di kasir sambil tersenyum menyeringai. "Tidak akan kubiarkan kau hidup tenang barang sebentar saja," batinnya.Lintang menerobos masuk ke dalam ruangan Embun. "Embun, kenapa kau seperti ini?" tanyanya."Harusnya aku yang bertanya mengapa istri mudamu itu berlaku seperti ini padaku?" Embun menyilangkan tangan di dada. Tidak ada lagi rasa segan terhadap lelaki itu."Dia sedang hamil, wajar dia bersikap seperti itu.""Kalau dia membunuhku, itu wajar?""Jangan berbicara yang aneh-aneh. Jasmine tidak akan mungkin melakukan itu, dia tidak sejahat yang kau pikirkan."Embun terbahak menutupi luka hati yang semakin dalam, entahlah, lelaki di depannya ini hanya sekadar tidak peka atau bodoh."Maaf, Mas, untuk kali ini aku tidak akan mengabulkan permintaan Jasmine. Di rumah aku yang memasakkan makanan untuk kalian, masa di sini aku juga harus membuatkan kue. Jangan keterlaluan! Aku lelah.""Itu karena kau terlalu perhitungan makanya teras
Hari yang ditunggu pun tiba, selepas shalat Jum'at kediaman Lintang ramai oleh para tamu undangan. Acara syukuran itu diadakan di hari yang agung dan disambut suka cita oleh semua orang.Jasmine memandang pantulan dirinya di cermin, nampak cantik dalam balutan gamis putih dan jilbab yang senada. Ia tersenyum sambil tangannya sesekali mengelus perut yang sudah agak membesar. Terdengar suara langkah seseorang masuk ke dalam kamar, Jasmine pun menoleh. "Mas, Lintang."Lelaki itu mendekat lalu memeluk Jasmine dari belakang. Pasangan tersebut melihat pantulan mereka di cermin sambi satul tangan Lintang mengusap perut sang istri."Kamu sangat cantik," puji Lintang. Jasmine hanya tersipu malu, pipinya memerah.Jasmine menyayangkan disaat seperti itu Embun tidak melihatnya, padahal dia sangat ingin istri pertama suaminya menyaksikan kemesraan mereka. Dia sangat senang melihat Embun menderita, baginya penderitaan Embun adalah kebahagian."Ayo! Sebentar lagi acaranya dimulai," ajak Lintang.
Ditengah perjalanan tiba-tiba mobil Eros mogok. Lelaki itu segera turun dan membuka kap mobil, tangannya mengotak-atik di sana."Ma! Tolong ambilkan air," titah Eros. Jenar pun meraih air mineral yang tersedia di kabin mobil, sebelum turun dia melirik sang putri yang terlelap di kursi belakang. "Kasihan anak Mama."Jenar menyipitkan mata dengan sebelah tangan beranda di atas kepala menghalangi sinar matahari menyengat wajah langsung. "Aduh, panas sekali," gumam Jenar.Eros meraih botol mineral yang diberikan oleh sang istri, Jenar pun ingin cepat-cepat masuk ke dalam mobil."Ada air lagi, Ma?"Jenar menghentikan langkah. "Tidak ada, Mas. Cuma itu satu-satunya." Eros berdiri tegap sambil matanya melayangkan pandangan ke sekeliling."Di sana ada minimarket, kau bisa membelikannya?" tunjuk Eros."Iya, Mas." Jenar masuk ke dalam mobil mengambil dompet, setelahnya dia melenggang menuju mimimarket."Mama …!" teriak Embun tidak lama setelah kepergian Jenar."Iya, Sayang." Eros berjalan mende
"Kamu tidak apa-apa?" "Aku tidak apa-apa." Embun mencoba berdiri. Saat terpeleset satu tangannya berhasil menangkap pembatas tangga sehingga dia tidak menggelinding ke bawah.Embun kembali menapaki anak tangga pelan-pelan dengan langkah agak pincang. Sementara itu, Jasmine yang melihat dari sofa tertawa pelan sambil menyayangkan istri pertama suaminya tidak terjadi sesuatu yang serius."Kau sungguh tidak apa-apa?" Lintang masih berdiri di tempatnya."Iya," sahut Embun singkat. Setelah itu, Lintang pun turun dan kembali ke sofa."Tidak ada niatmu menyusulku, Mas. Berikan sedikit perhatian atau hanya sekadar mengusap kaki yang terasa sakit ini," gumam Embun sambil berjalan menuju tempat tidur. "Hah! Kenapa aku selalu lupa kalau aku ini tidak penting," ujarnya sambil meluruskan kaki dan bersandar di kepala ranjang. "Mas," rengek Jasmine, "aku tiba-tiba pingin makan nasi goreng," lanjutnya."Bukannya tadi kita sudah makan?""Lapar lagi." Jasmine mengembangkan senyum menampakkan barisan
"Terima kasih karena sudah mencintaiku.""Kamu kenapa, Sayang." Tangan Eros terulur mengacak rambut Jenar. "Aneh sekali hari ini.""Tidak, Mas. Aku hanya ingin mengungkapkan isi hatiku saja," sahutnya, "aku bersyukur pada Tuhan karena telah mengirimkan lelaki sebaik kamu untuk menemani di sisa umurku.""Aku juga bersyukur memiliki istri sebaik kamu, kamu juga telah memberikan banyak kebahagiaan untukku. Terima kasih bidadariku."Jenar tersanjung mendengar kalimat itu, bibirnya otomatis tertarik membentuk sebuah senyuman. Namun, tetap saja tidak bisa menyingkirkan rasa gelisahnya."Aku tidak sebaik yang kau kira, Mas," batin Jenar sedih. Merasa bersalah karena telah membohongi lelaki sebaik Eros selama ini."Mas …," ucap Jenar ragu-ragu."Iya, Sayang.""Andai suatu hari nanti aku membuat kesalahan besar, apa Mas bisa memaafkanku?""Tergantung kesalahannya, bisa dimaafkan atau tidak," jawab Eros santai. "Kesalahan yang tidak bisa dimaafkan yang seperti apa?""Salah satunya selingkuh,"
Jenar pergi ke sebuah supermarket bersama salah satu PRTnya untuk belanja bulanan. Wanita itu memang tidak pernah melepaskan PRTnya untuk berbelanja sendiri, dia ingin memastikan sendiri bahan makanan yang dipilih berkualitas. Jenar dan sang PRT turun dari mobil dan melenggang menuju ke dalam supermarket. Namun, langkah Jenar terhenti ketika mendengar seseorang berbicara padanya. "Bu, Jenar … kita bertemu lagi." Jenar terkejut mendengar suara yang cukup familiar itu. Saat menoleh jantungnya serasa ingin melompat ke luar. Namun, dia berusaha terlihat tenang. Jenar pun menyuruh sang PRT menunggu di dalam. "Jafar! Buat apa kau di sini? Kau mengikutiku?" ucap Jenar pelan. Namun, sarkas. Lelaki yang bernama Jafar itu terkekeh membuat Jenar bergidik ngeri. "Tuhan yang telah mempertemukan kita di sini." "Maaf saya tidak ada waktu untuk meladeni Anda, saya sibuk, permisi!" Jenar berlalu dari hadapan Jafar. "Tunggu!" Jafar mencekal lengan Jenar dan menyeretnya ke tempat yang agak sepi. "