Mag-log inEldwin lebih dulu masuk ke dalam rumah, meninggalkan begitu saja pintu di belakangnya terbuka. Membiarkan Anna yang masih berdiri di depan pintu tanpa berani masuk. Tapi, seorang asisten rumah menyadari kedatangan Anna lantas menyapa dan meminta Anna masuk.
“Mau bibi buatkan minum atau langsung ke kamar, sepertinya, Mbak Anna kelihatan lelah.” Meskipun belum saling mengenal, wanita baya itu mengetahui nama Anna. Mungkin Mala sudah memberitahu sebelumnya. “Iya Bi.” “Kalau begitu nanti bibi antarkan tehnya ke kamar.” Rumah Mala cukup besar dan luas, beda jauh dari rumah milik Anna di kampung. Namun, tampaknya rumah itu terasa begitu lengang. Karena rumah besar itu hanya dihuni beberapa orang saja. Anna tak henti mengagumi rumah besar itu, juga mengagumi kamarnya yang cukup luas di lantai dua. Anna berpikir cukup lama, haruskah dia merapikan pakaian miliknya di lemari? Sedangkan dia mungkin tidak akan tinggal di rumah itu begitu dirinya mendapatkan pekerjaan. Akhirnya Anna memutuskan membiarkan saja di dalam koper sampai dia mendapat kepastian dari Mala tentang pekerjaan barunya. •• Malam hari Anna berkumpul dengan keluarga Mala di ruang makan. Menghadapi hidangan yang begitu banyak tersaji di atas meja. Semuanya ada di ruangan itu termasuk Eldwin dan Wijaya. Sebelum memulai menikmati makanan itu, Anna kembali ingin memastikan pekerjaan apa yang akan diberikan Mala untuk dirinya. “Mengenai pekerjaan untukku apa, Mbak sudah mendapatkannya?” Tanya Anna. “Kau baru saja sampai sudah buru-buru menanyakan pekerjaan. Apa kau tidak ingin jalan-jalan terlebih dahulu di kota ini?” tanya Mala. "Tidak, Mbak, aku akan lebih tenang kalau sudah tahu apa pekerjaanku.” Jawaban jujur Anna. Melihat perkataan Anna yang cukup serius dan begitu mendapatkan persetujuan Wijaya, Mala mulai berbicara. Eldwin Dan Wijaya Masih menikmati makanan mereka dengan cukup santai. “Jadi, aku dan Mas Wijaya sudah membicarakan soal pekerjaanmu. Kau akan di tempatkan di restoran sebagai asisten manajer untuk membantuku, “ jelas Mala. Sebelum Anna menanggapi soal pekerjaannya, Eldwin berbicara menyela. “Mama yakin akan mempekerjakannya? Dia orang baru dan pastinya belum punya pengalaman kerja di sana, Mam.“ dari ucapan Eldwin, Anna merasa pemuda itu terkesan meremehkan dirinya. “Kenapa harus khawatir kan ada Mama,” jawaban santai Mala. “Mama sangat percaya Anna ini mampu, mama akan mengajarinya sampai bisa. Dan lagi kau juga tidak mau kan ikut membantu mama di sana, padahal mama ingin suatu saat nanti mama sudah tua kau bisa meneruskan usaha itu.” “El, masih ingin fokus kuliah, Mam, tidak ingin terganggu dengan urusan pekerjaan.” “Kalau begitu berhentilah meremehkan orang lain.” Perbedaan kecil itu sebenarnya membuat Anna merasa tak nyaman. Tapi Mala sangat mempercayai dirinya maka dia akan berusaha menjaga kepercayaan itu.” “Jadi kapan aku mulai bekerja, Mbak? sebelumnya aku berpikir aku akan mendapatkan pekerjaan di tempat lain.” “Besok juga bisa.” “Tidak mungkin, aku harus mencari kontrakan terlebih dahulu untuk tinggal.” “Kontrakan? Untuk apa? Kau tidak perlu repot-repot mencari tempat tinggal, kau bisa di sini, rumah besar ini masih ada beberapa kamar yang jarang dipakai.” “Aku tidak setuju, Mam.” Lagi-lagi Eldwin berbeda pendapatnya. “Kau punya alasan?” Eldwin termenung beberapa saat. Tiba-tiba ingatannya kembali pada tiga tahun yang lalu di malam pernikahan Anna. “Tidak, aku hanya tidak suka saja ada orang asing di dalam rumah ini, “ ungkapnya kemudian. Usai memberikan alasannya, Eldwin beranjak meninggalkan ruang makan yang belum selesai. Mala dan Wijaya tak berusaha untuk mencegah. Lagi pula selama ini Eldwin jarang berada di rumah dan selalu pergi dengan teman-temannya sampai malam. Setelah pembicaraan yang panjang malam itu dengan Mala, Anna memutuskan untuk tinggal di rumah itu sampai dirinya bisa mengumpulkan uang untuk mencari kontrakan. Sayangnya apa yang telah mereka rencanakan tidak berjalan dengan mulus. Satu hari sebelum Anna mulai dengan pekerjaannya, Bi Rum menyampaikan kabar yang kurang baik. Dia harus berhenti dari pekerjaannya untuk beberapa bulan guna merawat suaminya yang mengalami stroke. Mala tak mampu mencegah apa lagi melarangnya. Keadaan itu sungguh di luar perkiraannya. Membuat wanita itu kini harus sibuk membuka lowongan pekerjaan di rumahnya. Melihat stiker yang terpasang di depan gerbang rumahnya, Anna terpikirkan akan sesuatu. Dia menemui Mala untuk menyampaikan maksudnya. “Untuk apa, Mbak, repot-repot mencari asisten rumah baru, aku tinggal di rumah ini, Mbak, dan aku bisa mengerjakan pekerjaan rumah juga.” “Jangan, Na! kau datang ke sini untuk bekerja bukan menjadi asisten rumah.” “Apa salahnya, hanya beberapa bulan saja.” “Jika ibumu tahu aku bisa dimarahi Na, pokoknya jangan! Kau akan tetap di restoran.” “Tapi, sudah beberapa hari Mbak menyeleksi para pelamar dan tidak ada yang berkenan di hati, Mbak, jadi biar aku saja yang mengambil pekerjaan ini. Mbak sudah mengenalku sejak lama.” Mala menatap Anna dengan cukup lama sembari memikirkan perkataan Anna. Apa yang dikatakan Anna memang benar, tidak mudah untuk dirinya menerima asisten baru di rumah. Dan melihat keseriusan Anna, Mala pun menyetujuinya. “Baiklah, aku menyetujuinya. Tapi, hanya sampai Bi Rum kembali dan aku menemukan asisten yang cocok. Nanti aku akan memberikan gaji yang lebih untukmu. Tapi, jika kamu ingin berhenti kau katakan saja.” Kesepakatan pun diambil. Mulai saat itu Anna bekerja sebagai asisten rumah. Meskipun demikian Mala dan keluarganya tak pernah memperlakukan Anna seperti asisten rumah. Terkadang pekerjaan rumah Mala dan Wijaya ikut mengerjakannya. Saat keluar rumah dan pergi-pergi pun Anna selalu diajak bersama. Kebaikan keluarga itu membuat Anna tak pernah mengeluh sedikit pun, kecuali sikap dingin Eldwin yang tak pernah berubah terhadap dirinya. Dan sampai beberapa bulan Anna tidak mengerti alasan sikap pemuda itu. Hingga suatu hari Anna tak sengaja mendengar percakapan Eldwin dengan teman-temannya. “Aku penasaran dengan asisten baru yang selalu kau ceritakan itu, El, seperti apa dia sampai kau terlihat uring-uringan dan jarang berkumpul sekarang? “ “Kau akan tahu nanti saat dia keluar. Kehadirannya di sini membuatku tak tenang.” “Kenapa?” “Dia janda muda dan cantik, aku khawatir dia akan menggoda papa dan membuat papa selingkuh di belakang mama.” “Apa kau memiliki bukti sampai kau curiga seperti itu?” “Tidak ada, tapi papa terlalu baik dengannya yang membuat aku tidak suka.” “Jadi kau juga tidak percaya dengan papamu sendiri?” Eldwin tak memberikan jawaban. Pada saat itu muncul Anna membawakan beberapa minuman dan suguhan untuk teman-teman Eldwin. Dan menawarkannya pada mereka dengan sikap ramah. “Terima kasih, Kak,” ucap salah satu remaja berambut cepak dengan tatapan tak berhenti pada Anna. Anna berlalu. Melihat kejadian itu, Eldwin sampai melempar bantal padanya untuk membuat temannya sadar dari lamunannya. “Kau seperti tidak pernah melihat perempuan saja, jaga pandanganmu itu.” “Ah, kakakmu itu memang sungguh cantik, Eldwin, kenapa kau tidak pernah mengenalkannya padaku?” senyum-senyum remaja itu dan ucapannya sesaat membuat Eldwin merasa muak. “Dia itu tidak punya saudara, mungkin yang tadi itu sepupunya,” ucap teman Eldwin yang lain. Melihat kebodohan teman-temannya menilai Anna, Eldwin menjadi kesal. Dia beranjak dan hendak pergi tapi dicegah kedua temanya. “Kau mau ke mana? Jangan lupa kenalkan saudaramu itu.” “Dia bukan saudaraku, dia itu asisten rumah yang aku bilang tadi.” Kedua teman Eldwin ternganga saling berpandangan. Saling bertanya satu sama lain. Namun, Eldwin malah pergi meninggalkan mereka. Eldwin pergi ke dapur untuk mengambil minuman dingin. Ketika tangannya meraih Handle lemari pendingin dia mengurungkan niatnya. Dia mundur beberapa langkah menyembunyikan diri dari balik tembok melihat Wijaya dan Anna tengah bersama di dapur, padahal saat itu Mala belum kembali dari restoran.Anna tak mencegah saat Anggar pergi. Andai saja dirinya bisa memutar waktu, dia tidak akan mengizinkan Eldwin berangkat hari itu."Astagfirullah," ucap Anna. Mendadak dia menyesal telah mengatakan hal yang tak bersyukur seperti itu."Kalian, pergilah! aku ingin sendiri," pinta Anna."Aku tidak bisa meninggalkan, Ibu dalam keadaan seperti ini, biar aku temani di sini?""Tidak perlu!" tukas Anna.Begitu mendengar nada tegas dari wanita itu, Viona dan Fariz tak berani membantah perintah Anna.Begitu Fariz dan Viona Meninggalkan ruangannya, Anna melirik pada ponsel dia atas meja, lalu pada jam di tangannya. Ia ingin sekali menghubungi Eldwin. Namun, keinginan itu saat ini hanya harapan kosong. Pesawat itu menghilang dan ditemukan sudah hancur.'Apa takdirku memang harus menjanda seumur hidup?' batin Anna. Air mata kembali berlinang membasahi wajahnya.Dia teringat kejadian tadi pagi sebelum Eldwin pergi. Saat dirinya begitu berat melepaskan keberangkatan Eldwin hari itu, dan fira
Di sepanjang perjalanan pulang, Anna terus saja senyum-senyum sendiri yang tak dimengerti Anggar. Pemuda itu melihat aneh sikap Anna usai kembali dari puskesmas. Seharusnya jika Anna sakit, dia tak sebahagia itu. Dia juga terus saja mengusap-usap perutnya. Mungkin lapar, itulah yang dipikirkan Anggar.”Cepat jalannya, Pak!” pinta Anggar pada sopir di sampingnya.”Siap, Mas,” jawab sopir.Mobil melaju lebih cepat. Tapi, bagi Anna yang tengah melamun, hanyut dalam pikirannya sendiri dia tidak merasakan itu.Anna sedang memikirkan dan membayangkan saat dirinya dan Eldwin duduk di taman dalam keadaan perut membesar. Eldwin mengusap perutnya dengan lembut dan tersenyum bahagia. Sesekali memberiku kecupan di sana.”Mbak, sudah sampai,” tegur Anggar seketika membuyarkan lamunan Anna.Anna beranjak turun dan keluar dari mobil dengan wajah merona. Meninggalkan Anggar yang masih menatapnya heran.Hari itu raut wajah Anna terlihat semringah. Tapi, juga tetap tegas dan galak saat be
Malam hari akhirnya mereka tiba di rumah. Keadaan di rumah sudah sepi, hanya Bi Rum yang masih terjaga menjaga pintu dan Anggar yang duduk di sofa menonton televisi."Kalian sudah pulang?" tanya Anggar. Menoleh sekilas pada Anna dan Eldwin saat mereka melewati ruang keluarga."Iya, Ngga. Aku langsung ke kamar ya? Dan kau Jangan tidur malam-malam!" Anna mengingatkan.Begitu Anna dan Eldwin sudah tak terlihat di anak tangga, Anggar langsung mematikan televisi dan pergi ke kamarnya.••Esok harinya Eldwin bersiap untuk berangkat. Dia menghampiri Anna yang tengah merapikan tempat tidur, lalu menyodorkan sebuah amplop coklat padanya."Ini tak seberapa, Anna. Tapi, ini gaji pertamaku untukmu. Setelah nanti berhasil mendapatkan lisensi, mungkin penghasilannya akan lebih besar," ucap Eldwin.Anna menghentikan aktivitasnya. Memandang pada amplop di tangan Eldwin, lalu beralih menatap pada pemuda itu yang memberikan isyarat padanya untuk menerimanya.Dengan ragu-ragu Anna m
Eldwin mengejarnya dan membopong tubuh Anna yang berontak masuk ke dalam rumah. Siangnya ketika matahari mulai meninggi mereka berenang. Airnya dingin. Tapi, menyegarkan. Sinar matahari cukup memberikan kehangatannya.Melihat Anna hanya berenang sebentar kemudian terlihat sudah beristirahat dan duduk di tepi air, Eldwin menghampirinya."Kenapa? Sudah lelah?" Tanya Eldwin."Benar, hari ini rasanya mudah lelah sekali, mungkin karena semalam kurang beristirahat." Anna menjawabnya dengan suara lirih, seakan sedang menahan sesuatu."Kalau begitu kita sudahi saja."Melihat wajah Anna yang pucat. Eldwin bergegas melompat naik ke daratan. Kemudian membopong tubuh Anna dan membawanya masuk ke dalam rumah.Anna menolak ketika Eldwin ingin membaringkan tubuhnya di sofa, sementara dia masih merasa tubuhnya lengket akibat air laut. Eldwin akhirnya membawanya ke kamar mandi. Mendudukkannya di bathub lalu menyiapkan air hangat untuknya."Aku akan mandi sendiri," kata Anna begitu Eldwin selesai meny
Eldwin menatap Anna yang tengah makan rujak buah dengan lahapnya. Meskipun sepertinya pedas dan asam. Tapi, seakan rasa itu yang membuatnya makan dengan begitu lahap. Eldwin sampai berulang kali menelan ludah setiap kali melihat Anna makan mangga dengan sambal.Setelah menghabiskan tiga buah mangga setengah matang itu dan satu bengkuang, kini Anna tengah menikmati sup ikan dengan daun kemangi yang masih kebul-kebul.“Pelan-pelan, Anna, tunggu sup itu dingin. Atau mau aku suapi?” Tanya Eldwin.Anna menggeleng pelan, kemudian melanjutkan makannya.Mereka duduk di halaman rumah, beralaskan tikar seperti permintaannya Anna juga. Joe dan Reza masih berada di sana, juga ikut memperhatikan saat Anna makan.Joe memegangi perutnya yang sudah keroncongan semenjak mereka kembali. Tapi, Eldwin masih belum mengizinkan mereka ikut makan. Menunggu Anna selesai dengan makannya. Joe sampai berulang kali menjilat bibirnya setiap kali melihat Anna makan. Melirik pada mangkok sup itu yang hanya ad
"Aku menyukaimu, Kak Arga. Aku sangat menyukaimu.”“Jangan Viona, kau masih terlalu kecil untukku.”“Kecil apanya, Kak?” Viona mendekatkan wajahnya. Memandangi Arga dengan begitu lekat, membuat Arga gugup tak karuan. Bibir gadis itu yang merah, hidungnya yang kecil mancung dan sepasang matanya yang agak sipit itu begitu jelas terlihat. Yang lebih membuat Arga tak kuat saat sesuatu yang lembut yang menekan dadanya, seakan Viona sengaja menggesekkannya menunjukkan sesuatu itu tidak kecil.“Ini maksudmu?” Tanya Viona.“Bukan,” Arga menggeleng pelan.“Kalau begitu pasti ini.” Tiba-tiba Viona memanyunkan bibirnya dan,“Usiamu yang kecil!!” Teriak Arga. Terbangun dari tidurnya.Semua pengunjung yang datang ke restoran terkejut melihat teriakan Arga yang ketiduran di kursi di dekat pintu masuk. Candra yang berdiri dia sebelahnya sampai tersentak kaget dengan teriakannya.Arga mengusap dadanya, mengatur nafasnya yang naik turun seperti mimpi dikejar hantu.“Jadi ini hanya mimpi,” ucapnya de







