Aroma wangi masakan menyeruak ke dalam hidung bangir Senja pagi ini. Aroma itu semakin kuat saat gadis itu menuju dapur tempat asal muasal bau harum yang membuat perutnya keroncongan. Maklum selama ini, Senja tidak pernah sarapan di rumah. Dia lebih sering sarapan di kampus, karena tidak pernah merasa nyaman jika berlama-lama tinggal di rumah suaminya itu.
Mata Senja menatap takjub saat seseorang sedang bergelut dengan peralatan masak dengan sangat lihai. Bahkan kini, gadis itu hanya berdiri mematung, menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya saat ini. "Ngapain berdiri di situ!" Kata Langit yang sontak saja membuyarkan lamunan Senja. "Hm, a..aku cuma mau pamit, mau berangkat kuliah, Mas," ujar Senja. Walaupun jujur saja, perutnya saat ini sedang berontak minta di isi. Namun karena gengsinya yang terlalu kuat, Senja memutuskan untuk segera pergi kuliah demi menghindari suaminya itu dan memilih sarapan di kantin kampusnya. "Sepagi ini?" Tanya Langit heran. Padahal ini masih pukul enam pagi. "Lebih baik kamu duduk dulu. Kita sarapan sama-sama." "Tapi Mas, aku harus--" Belum sempat Senja menyelesaikan ucapannya, Langit tiba-tiba meraih tangan Senja dan mengarahkan gadis itu untuk duduk di sampingnya. "Kamu jangan membantah! Ini masih pagi, masih bisa 'kan hanya untuk sekedar sarapan? Bagaimana bisa kamu fokus belajar, kalau kondisi perut kamu kosong." Senja seperti terhipnotis. Gadis itu hanya bisa mengikuti apa yang dikatakan suaminya. Bahkan kini, sang suami dengan cekatan, menuangkan nasi goreng buatannya ke dalam piring yang ada dihadapan Senja. "Selama sebulan ini, saya sengaja membeli bahan-bahan makanan, biar kamu nggak usah capek-capek belanja ke pasar atau tukang sayur. Saya pikir, kamu memasaknya. Tapi ternyata, bahan-bahan makanannya masih ada. Kecuali mie instan yang saya lihat sudah hampir habis." Gadis itu hanya bisa terdiam. Bukannya Senja tidak mau masak, hanya saja dia takut jika hasil masakannya tidak dimakan suaminya. Maklum, interaksi mereka sebagai pasangan suami istri tidak berjalan dengan baik. Sehingga Senja ragu jika melakukan aktivitas seperti istri-istri pada umumnya. "Aku sebenarnya ingin memasak, apalagi selama ini sebelum menikah memasak adalah hobi ku. Tapi karena aku nggak tahu selera makanan kamu seperti apa, jadi aku takut masakan aku mubazir Mas, karena kamu nggak mau memakannya." "Ya minimal kamu masak untuk diri kamu sendiri, Senja," ucap Langit seraya menikmati nasi goreng hasil racikannya. "Tapi jika kamu masak untuk saya, saya akan mencoba memakannya, walaupun saya belum tahu, apakah masakan kamu sesuai lidah saya atau tidak. Dan saya pastikan, sekalipun tidak sesuai dengan selera saya masakan kamu tidak akan mubazir. Mulai sekarang kamu bisa 'kan memasak untuk saya?" "Mas yakin mau memakannya?" Ragu Senja. "Saya 'kan sudah bilang tadi, sekalipun masakan kamu tidak sesuai dengan selera saya, saya pastikan masakan kamu akan masuk ke mulut saya." Wajah Senja berbinar kala sang suami mengatakan itu padanya. Seolah ada harapan untuknya bisa merubah pandangannya tentang pernikahan yang dijalaninya saat ini. Semoga ini awal pernikahan bahagia yang diimpikannya sejak lama. Dan tentunya bisa berharap jika sang suami akan berubah sikap kepadanya, jauh lebih baik. "Baiklah Mas. Mulai nanti malam, aku yang siapin makan malam untuk kita," ucap Senja berbinar-binar. "Mas pulang jam berapa?" "Lihat nanti saja. Saya pastikan malam ini saya akan makan di rumah. Mau nyicipin masakan kamu." "Baiklah,"pungkas Senja. Setelah memakan waktu lima belas menit, Senja telah selesai menghabiskan sarapannya. Kemudian gadis itu beranjak dari tempat duduknya untuk pergi menimba ilmu sebagai mahasiswa. "Makasih sarapannya ya Mas. Lain kali aku yang akan membuatkannya untuk kamu. Aku pamit dulu." Senja mengulurkan tangannya untuk berpamitan dengan sang suami. "Sebentar saya ambil kunci mobil saya dulu." Bukannya meraih tangan sang istri, Langit justru pergi meninggalkan Senja yang sudah siap berangkat ke kampus. "Mas mau kemana bawa kunci mobil segala?" Tanya Senja saat sang suami sudah ada dihadapannya. "Mau berangkat ngajar?" Tanyanya lagi. "Nggak, Saya mau mengantarkan kamu kuliah. Memangnya kenapa? "Mas nggak ngajar hari ini?" Tanya Senja heran karena sejak menikah, belum pernah Langit menawarkan diri untuk mengantarkannya ke kampus. "Saya ada jadwal siang, jadi masih ada waktu untuk bisa mengantarkan kamu dulu ke kampus." "Nggak usah Mas, aku bisa bawa mobil aku sendiri. Mobilnya 'kan udah nggak kenapa-kenapa." "Kamu nolak niat baik saya, Senja?" Kesal Langit. "Bukan begitu Mas, aku hanya nggak mau ngerepotin kamu." Langit menarik nafas panjang. "Mulai saat ini, jangan pernah menolak niat baik saya. Sekalipun hubungan kita tidak senormal pasangan lain, setidaknya saya ingin menjalankan peran saya sebagai suami kamu Senja. Menjalankan kewajiban saya dan memberikan hak kamu sebagai istri saya. Walaupun kita tidak tahu kedepannya seperti apa, tapi saya berharap kita bisa menjalaninya seperti pasangan suami istri lainnya. Bisa 'kan?" Jelas Langit. Senja hanya bisa terpaku dengan perlakuan Langit saat ini. Seperti mimpi, Senja masih tidak percaya dengan sikap suaminya yang berubah drastis. Lantas, apakah ini awal kebahagiaan untuk pernikahannya bersama Langit? Senja sedang khusyu menikmati suasana jalan lewat jendela kaca mobil sang suami. Gadis itu belum pernah merasakan perasaan senyaman ini ketika bersama orang yang hampir sebulan lebih menyandang status sebagai suaminya. Apakah kenyamanan ini akan terus dirasakannya ataukah hanya sesaat? "Kamu kenapa? Kok diam saja? Nggak nyaman saya antar ke kampus? Bukankah dulu, kamu berharap saya melakukan ini?" Suara bariton suaminya membuyarkan lamunan Senja. Gadis itu kemudian mengalihkan pandangannya ke arah sang suami yang sedang berada di belakang kemudi mobilnya. "Nggak kenapa-kenapa Mas. Aku senang sekali kamu mau mengantarkan aku ke kampus. Aku diam karena aku sedang menikmati perubahan kamu yang cukup membuat aku terkejut." Baru kali ini, Senja melihat senyuman Langit begitu tulus dan manis. Padahal dulu, saat mereka belum menikah, senyuman bahkan tawa Langit begitu sering ditampakkan laki-laki itu kepadanya. Dan semuanya sirna saat mereka dipersatukan oleh takdir yang tidak diinginkan oleh mereka berdua. Sungguh, Senja bahagia bisa kembali melihat senyuman yang pernah hilang di wajah suami tampannya itu. "Saya hanya ingin kamu merasa nyaman hidup bersama saya sekalipun kita belum sepenuhnya menjalankan pernikahan ini dengan baik. Minimal, apa yang saya lakukan, bisa membuat kamu bisa mengerti kondisi saya yang belum bisa membuka hati saya untuk kamu. Saya mohon, kamu bersabar untuk itu. Saya sedang berusaha sekarang, untuk bisa menjadikan kamu istri saya seutuhnya. Kamu mau 'kan menunggu saat itu tiba?" Tatapan Senja yang penuh arti untuk Langit menyiratkan bahwa gadis itu sedang terharu saat ini. Bibirnya tiba-tiba kelu, karena bahagia yang sangat membuncah di hatinya. Apakah ini mimpi?Flash on.Langit masih belum berani berbicara dengan Senja. Setelah kejadian dua hari yang lalu. Ya, mereka akhirnya memutuskan untuk membatalkan liburan yang dijadwalkan selama tiga hari. Keesokan paginya, mereka pun langsung pulang dengan hati yang berkecamuk. Senja disini yang paling tersakiti, karena ternyata, sang suami lebih memilih menyerah untuk pernikahan mereka saat ini.Laki-laki itu benar-benar merasa sangat bersalah. Namun, berbarengan dengan perasaan lega, karena apa yang menjadi bebannya selama ini, telah bisa dirinya ungkapkan.Hari ini, Langit masih mendapatkan cutinya sehari lagi dengan menyiapkan sarapan untuk istrinya. Laki-laki itupun menata hasil masakannya di meja makan, berharap jika perasaan sang istri akan jauh lebih baik. Ini juga sebagai bentuk permintaan maafnya, karena sudah merusak liburan yang mungkin diharapkan akan menjadi liburan yang indah untuk istrinya itu."Untuk sementara, aku mau menginap di rumah Bunda," ucap Senja sambil melengos begitu saja
Langit membuang pecinya secara sembarangan. Hari ini, laki-laki itu telah sah menjadi suami Senja. Ya, setelah kejadian itu, seminggu kemudian Langit melamar Senja. Itu semua dia lakukan, karena selain desakan warga komplek mereka, ini juga karena desakan Mama Dona, Mama dari Langit. Satu hari setelah kejadian, Langit menceritakan apa yang dialaminya. Bukannya terkejut, Sang Mama justru merasa sangat bahagia, karena akhirnya sang anak bisa menikah kembali, setelah sekian lama menduda. Bukan tanpa alasan Mama Dona sudah sangat lelah melihat Langit terus saja meratapi apa yang sudah menimpanya.Tentu saja, akhirnya pernikahan itu terselenggara meskipun hanya dihadiri keluarga inti mereka saja."Mas mau mandi?" Tanya Senja saat gadis itu sudah ada di kamarnya setelah tadi sempat ngobrol bersama sahabatnya, Dewi. "Kok malah diem aja sih?" Tanya Senja lagi. Gadis itu kemudian duduk di meja rias, untuk membuka aksesoris yang digunakannya saat acara akad nikah."Ini semua gara-gara kamu ya
"Cepat jelaskan sama Ayah, apa yang kamu lakukan di kamar Langit, Senja! Dan kenapa kamu bisa ada di sana? Bukannya kamu bilang mau ke toko buku? 'kan tadi izinnya gitu sama Bunda, kok malah jadi ke rumah Nak Langit?"Bunda Ayu memegang tangan suaminya untuk menenangkan laki-laki yang sangat dicintainya. Bunda Ayu merasa tidak tega melihat sang anak yang sedang diinterogasi oleh ayahnya sendiri. Wajar saja Bunda Ayu seperti itu, selama ini, beliau belum pernah melihat suaminya semarah ini kepada anak bungsunya itu."Iya maaf Ayah, Bunda. Memang niatnya mau ke toko buku, Cuman tadi pas liat mobil Mas Langit masih terparkir di garasi rumahnya, Senja berubah pikiran. Senja pikir, Mas Langit pasti punya buku yang Senja maksud, secara Mas Langit Dosen Fakultas Ekonomi."Senja menarik nafas panjang. Dadanya berdegup kencang karena melihat amarah dari wajah sang Ayah."Teruskan!" Titah sang Ayah."Sesudah itu, Senja ketuk-ketuk pintu beberapa kali, tapi nggak ada yang jawab. Sampai tiba-tiba
Semakin hari interaksi Langit dan Senja semakin sering mereka lakukan. Jika waktu luang, Langit sering menyempatkan diri untuk mengobrol dengan Pak Andika. Dan setelahnya, laki-laki itu selalu menyempatkan berbincang juga dengan Senja pula. Senja pun sudah merasa, jika Langit sudah benar-benar menjadi sahabatnya. Karena semakin hari, Langit semakin terbuka untuk sekedar ngobrol masalah pribadi kepada Senja. "Tumben nggak nemuin pacar kamu, Dek?" Tanya Bintang, kakak satu-satunya Senja. Senja menggeser tubuhnya saat sang Kakak kini ikut duduk di sampingnya. "Maksud Abang Mas Langit?" "Iya siapa lagi kalau bukan dia," ucap Bintang seraya mengambil cemilan yang ada ditangan Senja. "Mas Langit lagi bahas sesuatu yang penting sama Ayah. Jadi Adek nggak mau ganggu obrolan mereka. Lagian Adek 'kan sudah bilang sama Abang...Adek itu nggak pacaran sama Mas Langit." "Yakin? Kok Abang nggak percaya kalian nggak pacaran. Secara, Mas Langit sering banget datang ke rumah kita. kalau nggak pac
Flashback."Mas Langit?""Assalamualaikum, Pak Dika-nya ada?""Walaikumsalam. Mas Langit mau ketemu Ayah?" Tanya Senja seolah tidak mendengar apa yang menjadi alasan tetangganya itu datang ke rumahnya. Langit menganggukkan kepalanya. Laki-laki itu tidak berniat menjawab pertanyaan gadis yang ada dihadapannya itu, karena tadi sudah sangat jelas jika dia ingin bertemu dengan ketua Rt di kompleks perumahan tempat tinggalnya."Maaf Mas, sejak tadi pagi, Ayah sudah berangkat ke kantor. Bagaimana kalau nanti sore atau malam saja, Mas Langit datang lagi kemari," usul Senja."Baiklah kalau begitu. Ngomong-ngomong kamu sudah rapi pagi-pagi begini, mau kemana?" Tanya Langit agak heran, karena belum pernah lihat Senja berpakaian formal seperti saat ini."Oh, saya mau kuliah Mas. Kenapa?""Kalau begitu Kebetulan saya juga mau ngajar pagi ini. Mau sekalian saya antar kamu kuliah?.""Beneran Mas? Mau...mau, Alhamdulillah," ucap Senja senang. "Tapi ngerepotin nggak?""Nggak lah, saya yang ngajak ka
"RASYA…!!!"Langit terbangun dari tidurnya dengan nafas memburu. Mimpi yang baru saja dialaminya membuatnya frustasi. Kenapa Rasya kembali hadir di mimpinya? Argh…Langit sangat kesal saat ini, karena harus mengingat kembali wanita yang masih ada di hatinya sampai saat ini.Namun, Langit sadar saat dia melihat Senja sedang berdiri mematung dengan air mata yang mengalir di pipinya. Ini pasti karena dirinya yang tanpa sengaja menyebut nama Rasya di saat gadis itu percaya, jika Langit akan berusaha membuka hatinya.Refleks, Langit menghampiri Senja dan langsung memeluk tubuh mungil istrinya itu. Ini semua diluar kendalinya, dan dia pun menyesal. Ini pertama kalinya, laki-laki itu memeluk sang istri, setelah enam bulan lebih menjalani pernikahannya."Maaf, maafkan saya, Senja," ucap Langit sambil mempererat pelukannya.Bukannya menghentikan tangisannya, Senja justru semakin terisak. Sungguh, senja merasakan sakit di bagian dadanya, saat sang suami menyebut wanita lain dihadapannya."Makany