Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja.
Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau MaJulia berontak, sekuat tenaga menepis tangan kiri Carlon dan mendorong pria itu. Carlon terjengkang, tapi dia pun begitu. Para pengawal pribadinya Carlon langsung beranjak menghampiri Carlon. Tatapan mereka pada Julia kini penuh permusuhan. Sadar kalau situasinya saat ini sangat buru, Julia cepat-cepat mengeluarkan ponsel dari saku jasnya dan mengetik pesan chat. Tapi belum juga selesai dia mengetik, Carlon bangkit berdiri dan berjalan ke arahnya. Tak punya pilihan, Julia mengirim pesan yang belum selesai itu kepada Martin. Dia harap Martin akan memahami apa yang dia maksudkan. Saat ini hanya suaminya itulah yang bisa menolongnya. Trang! "Ah!" Carlon menendang ponsel di tangan Julia hingga ponsel itu terlempar jauh. Julia sendiri kini memegangi tangannya yang kesakitan. "Dasar wanita tak tahu diri! Harusnya kau sadari posisimu! Aku bisa saja menghancurkan perusahaan keluargamu kalau aku mau! Kau tak tahu si
Kotak persegi berisi lingerie merah terang itu terkena sapuan tangan Julia dan terlempar dari meja. Kotak itu kini terbalik. Si lingerie merah tergeletak di sampingnya. "Kenapa kau? Otakmu baik-baik saja?" ledek Angelica. "Kalau kau tak mau melakukannya, ya sudah, kau hubungi Kakek saja, bilang kalau kau tak sangup menjalankan tugas darinya ini. Sesimpel itu," lanjutnya. Julia menatap Angelica dengan marah, mendapati sepupunya itu tersenyum miring dan mengangkat sebelah alis. "Nih! Carlon Rooney menunggumu di sini. Sebaiknya kau ke sana cepat-cepat atau suasana hatinya akan telanjur buruk," ucap Angelica, menaruh selembar kertas memo di meja kerja Julia, lalu balik badan dan pergi. Julia mengambil kertas memo itu, membaca apa yang tertulis di sana: [Klub Ballein. Ruang nomor 888.] Mata Julia membulat. Dia harus menemui pria bernama Carlon itu di kelab malam, siang-siang begini? Bagaimana kalau Ma
Besok harinya, di ruang rawat inapnya Jesina... "Aku pergi dulu, ya. Aku mau menengok ibuku," kata Martin kepada Julia. Julia menoleh padanya dan mengangguk, tidak tampak keberatan sama sekali. Tapi lain halnya dengan Fanny. Dia mendelik pada Martin dan berkata dengan ketusnya, "Dasar bodoh kau, Martin. Masih saja kau urus wanita sekarat itu. Kenapa sih dia tak cepat-cepat mati saja? Tiap bulannya Julia menggelontorkan uang hasil kerja kerasnya untuk menanggung biaya perawatannya. Buang-buang duit saja!" "Mama, jangan bicara seperti itu! Bagaimanapun beliau ibu mertuaku," tegur Julia. Martin menarik napas agak panjang, berusaha menahan amarahnya karena dia menghargai Julia. Dia pun keluar dari ruangan itu, meninggalkan rumah sakit. Sekitar setengah jam kemudian, dia tiba pasar tempat ibunya biasanya berjualan sayur. Di depannya ada kios-kios kecil dari kayu berjejer. Salah satunya adalah kios sayur ibunya. Sungguh miris bagi Martin melihat sosok ibunya saat
Saat dia mengecek siapa yang meneleponnya, sorot matanya langsung berubah. Di antara kedua matanya terbentuk dua garis vertikal. "Halo, Om Edwin?" [Billy! Kau ini dungu atau apa, hah? Bisa-bisanya kau mengusir calon pewaris tahta Lozara Group! Cepat bersujud meminta maaf pada beliau atau kau kupecat!] Billy terbelalak dan ternganga. Calon pewaris tahta Lozara Group? Itukah yang baru saja dikatakan pamannya itu? "Om, aku tak mengerti. Siapa yang Om maksud dengan calon pe—" [Orang yang saat ini kau hadapi, bodoh! Martin Linardy. Tuan Muda Keluarga Linardy. Apa kau sebodoh itu sampai-sampai kau tak memahami apa yang kukatakan? Kau mau membuat Keluarga Rooney bangkrut, hah?!] Mata Billy yang telah membesar itu semakin membesar. Mulutnya terbuka lebih lebar. Dagunya seperti akan jatuh ke lantai. [Cepat bersujud minta maaf pada beliau! Dan kabulkan apa pun itu yang beliau minta darimu! Jangan kau tempatkan perusa
Martin mengernyitkan kening. Apakah dia salah dengar? Tapi sepertinya tidak. Orang bernama Billy di hadapannya ini baru saja mengusirnya. "Apakah ada yang kurang jelas dengan kata-kataku tadi? Mungkin kau salah menafsirkan sesuatu," kata Martin, mencoba berpikir positif terhadap Billy. Billy malah tersenyum mencemooh, lalu berkata, "Silakan keluar dan tinggalkan tempat ini. Aku tak punya waktu untuk mengurusi ocehanmu." Tak ada bentakan atau apa, tapi jelas sekali terasa kalau cara bicara Billy pada Martin telah berubah. Kini tak ada lagi rasa hormat atau sopan santun. Billy telah memosisikan lawan bicaranya sebagai orang yang statusnya jauh berada di bawahnya. Saat Billy hendak beranjak dari tempatnya, Martin menyambar lengannya dan menahannya, menatapnya penuh tanya. "Aku memintamu melakukan sesuatu yang bisa kau lakukan sebagai CEO PT Alat Kesehatan Makmur cabang Hagasa. Mungkin memang terkesan aneh sebab ini dadakan sekali,
Mama! Apa yang Mama lakukan? Kenapa tiba-tiba menampar Martin? Dia baru saja mengantarku pulang loh, Ma!" protes Julia. "Diam kau, Julia!" bentak Fanny. "Kau juga bodoh! Kenapa kau mau-mau saja dihasut si benalu ini! Sudah sampah, miskin lagi! Dia tak tahu apa-apa soal bisnis. Dia menghasutmu untuk menerimanya, kamu benar-benar terima lagi! Memang kita mampu menjalin hubungan dengan PT Alat Kesehatan Makmur. Dia itu sedang menjebakmu, kamu tahu, tidak?!" "Mama!" "Aku bilang diam!" Ibu dan anak itu saling membentak satu sama lain, sama-sama tak mau kalah. Martin tak nyaman melihatnya. Dia pun menyentuh bahu Julia dan menggeleng, memintanya menahan amarahnya. Kemudian Martin menatap Julia, berkata, "Mama harus percaya pada Julia. Dia pasti men—" "Tutup mulutmu! Masuk sana ke kamarmu! Aku tak mau mendengar apa pun darimu!" potong Fanny. Martin menghela napas. Susah sekali membuat ibu mertuanya ini mengerti aka