Kedua telapak tangan Bu Fatma terbuka lebar, satu per satu jemarinya pun ditekuk seperti sedang menghitung angka. Seratus juta itu jumlah yang begitu fantastis dan ia sangat tidak sabar untuk menerima uang itu segera.Kemudian ia pun berpikir sejenak membayangkan tentang rumah yang ditinggali Radit. Lokasinya memang sedikit ke pinggir kota, tapi termasuk kawasan menengah atas. Menurut kabar yang didengar, harga tanahnya per meter saja sekitar 8 juta. Kalau tidak salah, luas tanah Radit 140 meter, dijual harga tanah saja sudah lebih dari satu miliar. Bagaimana jika ditambah dengan harga bangunannya. Ah setidaknya nanti Naura akan mendapatkan lebih dari lima ratus juta.Ah lima ratus juta, itu angka yang tidak sedikit. Jika uang itu sudah di tangan pastinya ia akan menjadi seorang jutawan yang sangat disegani, terutama bagi kumpulan ibu-ibu arisannya.Bu Fatma memang bergabung dengan kelompok arisan dengan istri pensiunan pegawai pemerintah. Sayangnya Bu Fatma bukan berasal dari golong
Bu Fatma tampak berpapasan dengan suaminya saat hendak masuk ke dalam kamar. "Ya ampun Bapak bikin kaget aja," seru Bu Fatma dengan sedikit terlonjak dan memegangi dada. "Lah kenapa Bu, seperti dikejar setan aja," sindir Pak Rustam, suaminya. "Nggak kok Pak.” Wanita tambun ini kembali memperhatikan penampilan suaminya. Kali ini sang suami mengenakan kemeja dan celana kain yang sudah disterika licin. “Bapak mau pergi kemana? Kok kelihatannya rapi banget?” "Diajak Pak Bambang nawarin tanah, lumayan kalau laku, bapak dapat bagian." "Oh iya Pak, ati-ati. Mudah-mudahan lancar." Pak Rustam pun mengulurkan tangannya untuk disambut istrinya. Seperti biasa wanita tambun itu pun mencium punggung tangan suaminya, tapi tak pernah mau kalau dikecup keningnya. Padahal kegiatan yang terlihat sepele ini justru mempererat hubungan antara suami dan istri. Namun Bu Fatma selalu menolak dengan alasan sudah tua nggak pantas begituan. Tak berapa lama, Pak Rustam pun pergi meninggalkan rumah men
Sejak Mila mengusirnya hari itu dari rumah Kos. Ridwan pun mulai tidak tenang dalam mengerjakan pekerjaannya.Ia seperti kehilangan konsentrasi dan semangat bekerja. Perangainya berubah sejak saat itu. Seringkali Ridwan kedapatan melamun di tempatnya bekerja. Bahkan yang lebih parah, pernah dalam satu hari seorang pelanggan harus berteriak untuk meminta bantuannya mengisi bahan bakar. Tentu saja karena Ridwan melamun sampai tidak tahu ada customer yang datang. Untung saja pelanggannya saat itu tidak mengajukan komplain atau memviralkan perilakunya. Jika itu terjadi ia bisa kehilangan pekerjaan. Sepertinya Mila benar-benar merubah kehidupannya. Mila telah memenuhi otak dan hatinya sejak belakangan ini. Dia bukan pertama kali menyukai seorang perempuan, tapi sudah berulang kali. Namun baru kali ini ia merasakan hal yang berbeda.Ia benar-benar tidak siap untuk kehilangan seseorang yang belum sempat ia miliki. Belum juga menjalin hubungan spesial dengan Mila, tapi ia sudah merasak
Pemandangan di hadapan Mila benar-benar membuatnya tidak tahan. Bayi mungil yang sekarang ada dalam gendongan Bu Wuri seolah memanggilnya dan memintanya untuk digendong. Mila tampak berusaha untuk menahan diri, tapi semakin lama ia semakin tidak tahan untuk tidak menggendong Kinan. Naluri keibuannya terus mendorongnya untuk menunjukkan kasih sayang sebagai seorang ibu. Jujur saja Mila sangat merindukan bayi mungilnya yang sudah tiga bulan ia tinggalkan bersama Pak Radit. Tanpa sadar Mila pun berdiri lalu membungkuk mencoba untuk mengambil bayi yang berada dalam dekapan Bu Wuri. Sayangnya, saat tangan Mila sudah mendekati Kinan dan raut wajah bayi mungil itu pun begitu cerah, Bu Wuri pun berdiri dan membuat jangkauan tangan Mila semakin jauh pada bayinya. Wanita berkaca mata itu seakan tidak ingin kalau Mila menyentuh Kinan. Radit yang melihat hal ini pun langsung tak enak hati dan ingin bicara pada ibunya. Namun sayang, wanita paruh baya itu langsung berkata pada Radit, “Radit,
Matahari belum juga terbit, langit masih menampakkan semburat kuning kemerahan. Naura pun berdiri di depan pintu rumah dan membuka kunci rumah secara perlahan. Saat di dalam rumah ia pun mencincing sepatunya agar tak menimbulkan suara. Tentunya ia takut kalau ayahnya sudah bangun, karena seperti biasa saat subuh ayahnya akan pergi ke masjid untuk sholat. Jika sampai ayahnya memergoki dirinya baru pulang, sudah pasti akan didamprat habis-habisan. Namun baru saja beberapa langkah, tiba-tiba lampu ruang tamu pun menyala dan ia mendapati ayahnya sudah berdiri di samping dinding dan posisi tangannya masih memegang saklar. Naura melihat ayahnya memandangnya dengan tatapan yang tajam dan penuh kemarahan. Saat itulah Naura sadar kalau dia tidak baik-baik saja. “Kamu masih ingat punya rumah di sini?” tanya Pak Rustam dengan suara yang tegas. Seketika wajah Naura pun pucat, ia langsung menunduk dan tak berani menatap ayahnya. “Mmm maaf Yah, Naura lembur, dan ini baru selesai.” Pak Rust
.Meihat Naura yang langsung naik ke atas, Bu Fatma pun bergegas untuk menyusulnya. Ini tidak bisa dibiarkan, putri kesayangannya itu tidak boleh hidup sengsara setelah bercerai. Saat masih menjadi istri Radit kehidupannya cukup susah, sempat menjadi tulang punggung beberapa bulan. Belum lagi tekanan batin dari sekitar yang menyakitkan bagi Naura. “Naura sayang, kamu nggak bisa diam saja menanggapi hal ini!” seru Bu Fatma dari celah pintu yang belum tertutup. Naura mendengkus kesal, “Apa lagi sih Bu! Naura kan sudah bilang kalau itu nggak mungkin. Udah deh Bu, Naura capek!” Namun Bu Fatma tak peduli. Wanita ini justru terus bersikeras agar Naura menuntut pembagian harta gono-gini. “Naura! Dengarkan perkataan ibu nak, kamu harus menuntut hakmu. Kami harus mendapatkan pembagian dari rumah Radit.” Wanita tambun itu berhenti sejenak dan berkata lagi, “Naura, ibu sempat bertemu Radit di sidang kedua perceraian kalian. Dia mengatakan rumah itu akan dijual, dan kamu harus mendapatkan sete
Ini hari pertama Mila bekerja di rumah Radit sebagai pengasuh Bu Wuri. Saat ini Mila menyambut hari dengan gembira di hatinya.Sejenak ia melirik ranjang di sampingnya. Bayi Kinanthi masih tertidur pulas. Mila pun segera bangun dan meletakkan bantal guling di samping Mila agar bayinya tidak jatuh.Ia pun langsung mengecup kening Kinanthi dan bergegas meninggalkannya. Ia harus mandi dan memulai pekerjaan awalnya sebelum bayi Kinanthi terbangun.Mila tahu pekerjaannya kali ini tidak mudah, tetapi gajinya sepadan. Ditambah lagi, dia memiliki seorang gadis kecil untuk diurus. Belum lagi lingkungan pekerjaan yang lama sangat tak kondusif untuknya.Seperti yang diinginkan oleh Radit, di sini ia harus menjadi pengasuh untuk ibunya, menyiapkan makanan untuknya dan juga memastikan agar obat ibu diminum. Mila juga harus menemani Bu Wuri dalam kesehariannya. Sedikit melelahkan dan ribet juga di saat bersamaan mengurus seorang bayi dan seorang wanita lanjut usia. Namun bagaimana lagi ia membutuhk
Pagi tadi Fajar tampak mengemudikan mobilnya dengan kecepatan lebih tinggi dari biasanya. Ia sudah janji untuk menjemput Naura pagi ini seperti biasa. Gara-gara semalam mereka terlalu lelah memadu kasih, tapi ini sungguh nikmat.Fajar yang sudah tiba di depan rumah Naura pun menunggu di luar rumah sesuai instruksi dari Naura. Sejenak ia melirik arloji di tangannya, Fajar sudah terlambat lima menit, dan dia tidak ingin membuat Naura menunggu.Fajar merogoh saku dan mengambil telepon genggam, berniat untuk menelepon Naura. Namun baru saja memberi kabar, perempuan pujaannya sudah berjalan ke arahnya. Wajah Naura terlihat lelah dan mengantuk, tapi masih saja menawan."Kamu udah siap, Sayang?” sapa Fajar sambil memandangi Naura.Naura pun menjawab, “Maaf ya, aku bikn kamu nunggu lama. Ayok kita berangkat sekarang aja sebelum terlambat!"Fajar menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Aku nggak menunggu lama. Sampai kapanpun aku selalu siap menunggumu."Fajar membuka pintu penumpang mobilnya